Cara Belajar Dharma

Cara Mendengarkan Dharma


Sekali lagi kita mendapatkan keberuntungan yang luar biasa untuk dapat menikmati ajaran Mahayana dari Buddha. Kita tidak memiliki cukup waktu, dan oleh karenanya merupakan hal yang penting untuk tidak membuang waktu sedikit pun. Untuk memastikan bahwa tidak ada waktu yang terbuang, kita harus memenuhi dua kondisi yang mengacu pada kutipan Kadampa: “Terdapat dua aktivitas penting, satu pada awalnya, dan satu lagi pada akhirnya.” Sebagai kondisi pertama, kita harus mengembangkan motivasi yang bajik dalam diri sebelum melakukan aktivitas apa pun. Kondisi kedua adalah mengenai cara mendengar ajaran dengan baik dan benar.

Mari kita mulai dengan kondisi yang kedua, yaitu bagaimana cara mendengar ajaran dengan baik dan benar. Yang terpenting adalah tidak mendengar ajaran hanya untuk pengetahuan semata, tanpa membuat hubungan apa pun antara diri kita dan apa yang dikatakan. Contohnya adalah: “Ya, aku telah mendengar ini sebelumnya”; “Aku telah membaca ini dalam sebuah buku”; atau “Seorang guru yang lain telah menjelaskan hal yang mirip.” Dalam kasus-kasus seperti ini, ajaran tidak akan membawa manfaat apa pun.

Buddha mengajar lebih dari 2.500 tahun yang lalu, dan banyak orang telah mengulang ajaran beliau sejak saat itu. Oleh karenanya, tidak ada apa pun yang baru untuk didengarkan. Jika kita mendengar ajaran dengan harapan untuk mendengar sesuatu yang baru, bertemu dengan guru yang tidak pernah kita temui sebelumnya, bertanya-tanya apakah guru tersebut akan menjelaskan topik berbeda yang belum pernah kita dengar – jika kita memiliki salah satu dari harapan tersebut, kita kemungkinan besar akan merasa kecewa, dan aktivitas mendengar ajaran tidak akan mendapatkan manfaat apa pun.

Bagaimana sikap yang tepat dalam mendengar ajaran? Selama guru menjelaskan sebuah topik, kita perlu membandingkan maksud dari ucapan guru dengan cara berpikir kita, serta meneliti apakah pemikiran kita sejalan dengan apa yang diajarkan. Saat kita melakukannya, kita perlu mencatat perbedaan dari keduanya. Dengan kata lain, kita harus meneliti apakah cara berpikir kita sudah sesuai dengan apa yang Buddha ajarkan. Jika kita melihat ada banyak perbedaan di antara keduanya, maka kita harus memberi perhatian lebih dan sadar bahwa cara berpikir kita masih keliru dan perlu diubah.

Sebagai contoh, jika kita adalah seorang yang sangat mudah marah, sedangkan Buddha berkata bahwa amarah adalah sesuatu yang merusak atau merugikan diri sendiri, maka kita perlu berpikir, “Ya, aku telah berbuat salah. Aku harus benar-benar melakukan sesuatu terhadap amarah ini karena ia berbahaya bagiku.” Kita lantas memikirkan alasan-alasan mengapa amarah dikatakan berbahaya oleh Buddha, dan dengan cara ini kita bekerja untuk memperbaiki dan meningkatkan diri sendiri.

Ketika kita memeriksa diri sendiri dan dengan jujur menemukan bahwa kita adalah orang yang tidak gampang marah, atau yang mampu mengendalikan amarah, maka semua akan baik-baik saja. Namun, ketika guru menjelaskan tentang amarah dan kita malah menganggap bahwa beliau sedang membicarakan orang lain, atau jika kita berpikir, “Oh ya! Guru membicarakan orang ini dan  itu,” maka sudah pasti kita tidak akan mendapatkan manfaat dari ajaran yang diberikan.

Mengapa demikian? Karena tujuan mendengar ajaran bukanlah untuk mengkritik orang lain ataupun mengetahui kesalahan mereka. Kita mendengar ajaran hanya untuk satu tujuan: mengakhiri semua kesalahan kita dan, pada akhirnya, penderitaan kita. Itulah mengapa Buddha menjelaskan bahwa ketika mendengar ajaran, kita harus mengusung 6 pemikiran dan meninggalkan 3 sikap merugikan yang bagaikan cacat sebuah wadah.

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di  Kadam Tashi Choe Ling, Kuala Lumpur, Malaysia pada 2007
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Catur Brahmawihara, Praktik Meditasi Empat Kemuliaan Tanpa Batas”

Banyak di antara Anda semua yang ada di sini sudah sering mendengarkan Dharma, bahkan ada yang sudah mendengarkan Dharma selama puluhan tahun, berarti Anda selama puluhan tahun sudah  mendengarkan begitu banyak ajaran Dharma. Bukan hanya dalam waktu sepuluh dua puluh, bisa jadi bahkan bisa saja tiga puluh tahun, empat puluh tahun Anda mendengarkan Dharma, mengikuti retret-retret Dharma seperti ini. Bagi Anda yang sudah mengikuti banyak ajaran Dharma, Anda harus memeriksa diri sendiri seberapa sering ketika Anda mendengarkan Dharma ini, Anda memunculkan enam jenis ingatan ini di dalam batin Anda dan seberapa sering Anda gagal membangkitkan ingatan ini. Dari sekian banyak ajaran Dharma yang Anda dengarkan selama puluhan tahun tersebut, Anda harus bisa mengenali seberapa banyak dari aktifitas mendengarkan Dharma itu dimana Anda tidak  embangkitkan enam ingatan ini.

Ketika Anda mendengarkan ajaran Dharma dan membangkitkan enam ingatan ini di dalam batin Anda, berarti ketika itu aktifitas mendengarkan Dharma itu sudah merupakan aktifitas mendengarkan Dharma yang baik dan benar dan itu sangat baik sekali. Akan tetapi, sebaliknya ketika Anda mendengarkan ajaran Dharma tapi tidak membangkitkan enam jenis ingatan ini, seiring dengan Anda mendengarkan ajaran Dharma tersebut, barangkali ketika itu Anda seperti seorang anak kecil yang pergi ke sekolah dan di dalam ruangan kelas, anak kecil tersebut mendengarkan gurunya berkata-kata atau seorang  mahasiswa yang pergi ke universitas untuk mengikuti kuliah dan dia pergi ke sana hanya untuk mendengarkan, setelah itu sudah begitu saja, dia tidak membangkitkan motivasi ingatan apapun. Dan kalau begitu caranya Anda mendengarkan Dharma, itu bukan cara yang benar.

Ketika Anda mendengarkan Dharma dan Anda tidak membangkitkan enam jenis ingatan yang benar ini, apa yang sebenarnya terjadi ketika itu? Yang terjadi ada dua kemungkinan: barangkali ketika itu Anda tidak tahu apa yang dimaksud dengan enam jenis ingatan termasuk aspek mendengarkan Dharma yang baik. Jadi, kalau ini kasusnya berarti Anda harus mempelajari enam ingatan tersebut dan kemudian membangkitkannya. Atau kemungkinan yang kedua adalah Anda sebenarnya sudah tahu apa saja enam jenis ingatan tersebut, tapi Anda tidak memperhatikannya dengan baik-baik, Anda mengabaikannya. Barangkali ketika Anda mendengarkan Dharma, karena sudah banyak mendengarkan Dharma, Anda merasa sudah lebih tahu sehingga tidak perlu lagi membangkitkan enam jenis ingatan tersebut. Ketika itu berarti Anda sudah dalam kondisi yang ceroboh dan ketika itu aktivitas mendengarkan Dharmanya bukan merupakan aktifitas yang benar dan baik. Kalau Anda mendengarkan Dharma bukan dengan cara yang benar, ketika Anda mendengarkan Dharma itu, Anda tidak akan mendapatkan manfaat dan tidak menumbuhkan kualitas apapun.

1. Kita adalah Orang Sakit

Dari enam itu, yang pertama adalah melihat diri kita sebagai orang yang sakit atau sebagai pasien. Poin pertama ini adalah yang paling penting. Mengapa dikatakan paling penting? Kalau kita membangkitkan ingatan yang pertama ini, maka sisa lima ingatan berikutnya itu akan muncul. Tanpa munculnya poin pertama ini, kita tidak memikirkan sisa limanya, yaitu melihat Dharma sebagai obat, melihat praktik Dharma sebagai aktifitas yang menyembuhkan kita dan seterusnya.

Jadi, kembali lagi enam jenis ingatan adalah pertama-tama sekali kita harus menyadari kita sebagai orang sakit atau pasien.  Barangkali Anda di sini berpikir melihat diri sendiri sebagai orang sakit itu tidak mesti berarti sakit fisik. Kita belum tentu sakit fisik, tapi yang kita derita adalah sakit mental. Sakit mental itu apa? Yaitu sakit klesha, dimana sakit klesha itu ada enam klesha utama dan ada dua puluh enam klesha sekunder dan tiga racun mental atau enam klesha utama dan klesha-klesha inilah yang sekarang kita idap dan harus kita sembuhkan.

2. Dharma adalah Obat

Kita di sini, masing-masing dari Anda di sini secara pribadi, berikut semua makhluk di dalam samsara, boleh dibilang kita semua betul-betul sedang sakit. Apa sakit kita? Kita sakit klesha. Bayangkan kalau kita betul-betul melihat diri kita sebagai orang yang sakit dan betul-betul merasa kita sakit klesha, dan itu betul-betul dirasakan, betul-betul dihayati bahwasanya kita memang sakit klesha. Pada saat kita mendengarkan Dharma, maka cara kita mendengarkan Dharma itu tujuannya adalah supaya kita bisa sembuh. Dengan kata lain, kita ingin sembuh dari sakit klesha yang kita derita tersebut. Jadi ketika kita mendengarkan Dharma kita bisa berpikir saya mendengarkan Dharma ini untuk mengurangi klesha saya, untuk mengatasi klesha saya. Jika dengan pemikiran seperti itu kita mendengarkan, cara mendengarkan kita akan berubah dengan sangat drastis.

Dengan kata lain, untuk memperjelas apa yang sudah disampaikan tadi, kalau kita mendengarkan  Dharma tapi tidak melihat diri sendiri sebagai orang yang sakit, tidak menyadari kita sakit klesha, maka ketika kita mendengarkan Dharma kita tidak berpikir atau tidak membangkitkan keinginan untuk bisa sembuh dari sakit yang kita derita tersebut, artinya ketika kita mendengarkan Dharma, kita tidak berpikir tujuannya untuk mengatasi sakit klesha. Kalau demikian kasusnya, artinya kita mendengarkan tapi tidak berpikir mengatasi sakit klesha kita berarti mendengarkan kita hanya semata-mata mendengarkan saja dan mendengarkan itu bukan merupakan tindakan yang memiliki tujuan untuk mengatasi klesha.

Akibatnya apa? Akibatnya adalah ketika kita mendengarkan Dharma, yang kita lakukan misalnya adalah dengan tujuan untuk mempelajari hal-hal baru yang belum pernah kita ketahui sebelumnya dan sampai di situ saja aktifitas mendengarkan Dharma yang kita lakukan. Itu tidak akan memberikan manfaat lebih jauh. Sebagai contoh memberikan manfaat untuk mengurangi klesha, memperlemah klesha. Aktivitas mendengarkan Dharmanya tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas-kualitas kita, memperbaiki sikap kita dan seterusnya. Hanya sekedar mendengarkan hal yang baru saja.

Kalau kondisinya seperti itu, berarti seperti ibarat seorang pasien yang pergi mengunjungi seorang dokter, berkonsultasi kepada seorang dokter, dan kemudian menebus resep dari dokter tersebut. Dia pulang ke rumah membawa setumpuk obat tapi obatnya tidak diminum. Kondisinya persis seperti itu. Akibatnya seperti apa? Tentu saja kita tahu, orang yang tidak minum obat, dia tidak akan sembuh dari penyakitnya.

Ada begitu banyak manfaat-manfaat yang bisa kita dapatkan kalau kita bisa melihat diri kita sebagai orang sakit. Mengapa? Karena kalau kita melihat diri kita sebagai orang sakit berarti kita akan berpikir saya sakitnya apa, saya sakit klesha. Saya sakit klesha, kleshanya apa. Dan ketika kita berpikir seperti itu, kita tidak ingin sakit klesha. Dan kalau kita berpikir kita sedang sakit klesha, secara alami kita akan berpikir “Saya tidak ingin berperilaku buruk, saya ingin memperbaiki diri saya, dan saya merasa tidak nyaman dengan diri saya sendiri.” Dan, ketika klesha itu muncul dan kita menyadari klesha itu muncul, kita merasa tidak nyaman dengan diri kita sendiri dan kita merasa kok penyakitnya tambah parah. Makin lama makin parah. Dan ketika itu kita bisa menyadari betapa kita masih sakit dan sakitnya itu  menimbulkan penderitaan bagi diri kita sendiri.

Kalau kita tidak berpikir sebagai orang yang sakit berarti kita tidak menyadarinya dan itu lebih  berbahaya sebenarnya karena kita tidak menyadari kita sedang sakit dan dibiarkan begitu saja. Jadi kembali lagi, kalau kita bisa melihat diri kita sedang sakit klesha dan kita bisa mengenali klesha itu sebenarnya sakit atau penyakit, maka ketika klesha itu muncul, kita mengamati satu klesha ini sudah muncul, ’Oh, ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, ini adalah sesuatu yang berbahaya bagi diri saya’, kita bisa mencegah, setidak-tidaknya berupaya untuk mencegah agar klesha itu tidak muncul begitu kuat. Kita bisa berupaya untuk meredam klesha itu jangan sampai timbul dengan kuat di dalam batin kita.

Kembali lagi, kenapa Buddha mengajarkan bahwasanya kita harus menganggap klesha sebagai penyakit? Karena memang klesha itu menimbulkan penderitaan bagi kita. Klesha itu sama dengan penyakit. Ketika kita sakit, itu kita menderita, tidak nyaman. Penyakit menimbulkan penderitaan atau ketidaknyamanan, sama halnya klesha ketika muncul menimbulkan penderitaan dan ketidaknyamanan bagi kita. Apa yang ditimbulkan oleh klesha terhadap kita? Semua penderitaan di dalam lingkaran keberadaan atau penderitaan samsara, termasuk di dalamnya adalah penderitaan di ketiga alam rendah dan penderitaan samsara secara keseluruhan.

Kalau kita bisa mengenali klesha sebagai penyakit dan tahu bahwa klesha menimbulkan penderitaan, kita akan merasa takut kepada klesha, sama seperti kita takut kepada sakit atau penyakit dan kita berupaya melindungi diri kita dari penyakit tersebut. Jadi, jelas sangat bermanfaat sekali kalau kita melihat diri kita sebagai orang yang sakit. Dengan kita menyadari diri sendiri sebagai orang yang sakit, berarti kita menyadari ada klesha di dalam batin kita dimana klesha ini menimbulkan penderitaan dan ketidaknyamanan. Kalau kita sudah sadari, baru kita bisa berupaya untuk menghindari. Kita harus betul-betul menyadari betapa kita sakit parah. Sama halnya ketika kita takut jatuh sakit, kita juga takut sakit klesha.

3. Guru adalah Dokter

Ketika kita jatuh sakit, kita buru-buru mencari dokter supaya kita bisa sembuh dari penyakit kita. Begitu pula hal yang sama harus diterapkan terhadap sakit klesha ini. Ketika kita tahu kita sakit klesha, kita harus cepat-cepat cari dokter dimana dokternya itu adalah Buddha. Dan kita harus cepat-cepat mencari dokter Buddha ini untuk mencari penyembuh terhadap sakit klesha yang kita alami. Ketika kita sudah betul-betul memahami kita sedang sakit klesha dan kita betul-betul ingin sembuh dari sakit klesha tersebut berarti kita mencari dokter dan obatnya, dimana obat dari klesha adalah Dharma dan kita betul-betul menganggap Dharma sebagai obat untuk menyembuhkan sakit kita.

4. Mempraktikkan Dharma

Dari situ kita masuk pada ingatan yang keempat, yaitu kita harus melihat praktik Dharma atau aplikasi dari ajaran Dharma itu untuk menyembuhkan diri kita dari sakit klesha yang kita alami. Yang pertama yaitu melihat diri sebagai sakit, yang kedua melihat Dharma sebagai obat, yang ketiga menganggap Buddha sebagai dokter, yang keempat adalah melihat praktik Dharma sebagai cara untuk sembuh dari sakit. Kenapa kita ketika jatuh sakit itu pergi ke dokter? Karena kita percaya pada dokternya, kita percaya pada obat yang diresepkan oleh dokter dan kita percaya bahwa ketika kita minum obat itu, kita akan sembuh dari penyakit tersebut. Kita percaya tiga hal ini semua dan kita tidak ragu-ragu dan kita minum obatnya dengan penuh keyakinan. Kita yakin ketika minum obat itu pasti akan sembuh. Hal yang sama bisa kita terapkan di sini.

Ketika kita sudah tahu bahwasanya kita sedang sakit dan Buddha adalah dokter yang bisa menyembuhkan sakit kita, dan Buddha memberikan resep obat berupa Dharma, maka kita harus yakin bahwa ketika kita meminum obat Dharma tersebut, kita pasti akan sembuh dari sakit klesha tersebut.

Jadi ingatan yang keempat adalah ingat ingatan akan praktik Dharma sebagai tindakan untuk sembuh dari penyakit yang kita erita. Sama halnya kita yakin pada instruksi dokter untuk minum obat, kita juga yakin pada instruksi yang diberikan oleh Buddha dan ketika kita melaksanakan instruksi tersebut, itu merupakan cara untuk sembuh dari sakit tersebut. Ingatan jenis yang keempat ini, adalah betul-betul menjalani nasehat dokter atau betul-betul menjalani instruksi Buddha atau instruksi Dharma. Dengan kata lain, kita betul-betul melaksanakan instruksi yang sudah diberikan oleh guru untuk kita jalankan.

5. Tathagatha adalah Makhluk Suci

Ingatan yang kelima adalah mengenali Buddha sebagai makhluk yang agung. Ada berbagai cara untuk menjelaskan poin yang kelima ini. Salah satu dari penjelasan ingatan poin kelima ini adalah kita harus bisa merenungkan kebaikan hati Buddha yang telah memberikan ajaran Dharma kepada kita, yaitu di sini secara langsung merujuk kepada Buddha Sakyamuni. Buddha Sakyamuni sudah berbaik hati mengajarkan Dharma kepada kita dan ketika kita merenungkan kebaikan hati tersebut, kita ingin membalas kebaikannya. Cara kita membalas kebaikan Buddha adalah dengan mempersembahkan praktik kita.

Apa maksudnya dengan kita mengingat atau kita membalas kebaikan Buddha? Kalau kia menyadari bahwa penyakit kita ini tak ada obatnya, artinya kita tidak bisa sembuh. Dengan kata lain kalau kita sakit klesha, klesha itu tidak bisa disembuhkan. Kalau kita tidak tahu bagaimana obat untuk menyembuhkan klesha, sama halnya orang yang jatuh sakit yang tidak bisa disembuhkan. Bayangkan ada satu penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan kita mengidap penyakit tersebut, kita tidak tahu obat apa yang bisa dimakan untuk menyembuhkan penyakit ini. Itu yang bisa kita terapkan ketika ita sakit klesha. Ketika sakit klesha kita betul-betul merasakan kita jatuh sakit yang tidak ada obatnya. Kemudian datanglah Buddha imana Buddha menawarkan sebuah penyembuh atau ajaran dimana ajaran ini kalau kita terapkan merupakan penyembuh bagi kita, merupakan obat bagi kita, yang tadinya kita anggap sebagai sakit yang tidak bisa disembuhkan dan kita merasa betul-betul bersyukur karena kita pada akhirnya mendapatkan obat yang bisa menyembuhkan. Kita mendapatkan ajaran berupa poin-poin kunci dimana kita mendapatkan penjelasan bagaimana pada akhirnya kita bisa bebas dari sakit yang tidak bisa disembuhkan ini, dimana sakit itu adalah sakit berputar-putar di dalam samsara. Kita sembuh dari penyakit ini, dan akhirnya mencapai pembebasan dan tujuan yang tertinggi.

 

6. Berharap Buddhadharma akan Bertahan Selama-lamanya

Ingatan yang keenam yang harus kita bangkitkan kapanpun kita mendengarkan ajaran Dharma adalah kita harus berdoa atau berharap semoga ajaran Dharma yang luar biasa ini bisa terus berlanjut di dunia ini untuk waktu yang sangat lama sekali. Kenapa kita berharap? Karena kita tahu berdasarkan pengalaman sendiri kita mendapatkan manfaat dari Dharma, dimana Dharma itu bisa menyembuhkan penyakit kita dan kita berada pada kondisi yang beruntung bisa bertemu dengan ajaran Buddha. Tapi di sisi yang lain ada begitu banyak makhluk di dalam samsara ini dan mereka belum tentu mendapatkan kesempatan untuk bertemu denganajaran Buddha. Di satu sisi, ketika kita mendengarkan ajaran Buddha, kita mengharap ajaran Buddha ini bisa berlanjut terus-menerus untuk waktu yang sangat lama, bisa lestari, bisa berlanjut untuk waktu yang lama semata-mata karena ajaran ini bermanfaat untuk banyak orang.

 

Keseluruhan enam jenis ingatan inilah yang harus kita angkitkan kapanpun kita mendengarkan Dharma. Kita harus membangkitkan keenam jenis ingatan ini baik sebelum ataupun selama kita mendengarkan Dharma. Sebelum kita mendengarkan harma kita membangkitkan semacam praktik pendahuluan yang harus dilakukan, enam jenis ingatan pendahuluan yang harus dilakukan sebelum kita mendengarkan Dharma. Kita harus berpikir bahwasanya Dharma merupakan penyembuh terhadap begitu banyak penyakit yang sudah kita derita, misalnya salah paham, pandangan keliru, dan lain sebagainya dan kita berpikir mendengarkan Dharma itu bisa menimbulkan banyak kualitas- kualitas baik, keyakinan, dan lain sebagainya.


Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Institute Ganden Ling, Veneux-les-Sablons, Perancis pada 26 Oktober – 05 November 2013
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Rasa Bakti Pada Guru Jld. 1”

1. Wadah terbalik

Jenis wadah pertama adalah wadah yang terbalik. Jika kita memiliki sebuah wadah yang terbalik, maka tidak peduli berapa banyak air yang kita tuang ke dalamnya, setetes pun takkan memasuki wadah tersebut. Wadah ini dapat dibandingkan dengan orang yang menghadiri sesi pengajaran tetapi tidak mendengar dengan baik, atau bahkan membiarkan pikiran mereka mengembara.

Pada tahap yang lebih halus, kita mungkin berisiko menjadi wadah terbalik. Kenapa? Kita mungkin mendengarkan apa yang dikatakan, tetapi pada saat yang bersamaan perhatian kita mungkin terpecah. Ketika mendengar ajaran, kita mungkin melihat siapa yang hadir di ruangan dan berpikir, “Oh, mereka berkata akan datang tetapi aku tidak melihat siapa pun,” atau, “Aku tidak mengira orang ini akan berada di sini,” atau, “Siapa orang baru ini?” atau, “Apa yang mereka kenakan hari ini?” Pikiran seperti ini sangat mudah muncul dalam diri kita, dan ini artinya kita memiliki dua perhatian ketika sedang mendengar ajaran. Ketika kita memiliki dua perhatian berbeda pada saat yang bersamaan, salah satu dari mereka disebut perhatian yang tidak fokus. Artinya, objeknya muncul di pikiran namun tidak begitu jelas. Contoh nyatanya adalah suara guru ketika mengajar yang menjadi samar dan sayup-sayup. Kita tidak fokus mendengar apa yang sedang diajarkan karena separuh perhatian kita berada di tempat lain. Inilah maksud dari sikap seperti wadah yang terbalik pada tingkat yang halus.

2. Wadah kotor

Jenis wadah kedua adalah wadah yang isinya kotor. Bahkan jika wadah ini berada dalam posisi yang benar untuk menampung sesuatu, apa yang kita tuang akan terkontaminasi oleh kotoran di dalam wadah. Wadah ini mirip dengan seseorang yang, meskipun tidak terdistraksi ketika mendengarkan Dharma, memiliki motivasi tidak bajik. Kontaminasi seperti apa yang dimaksud? Misalnya, mendengar ajaran dengan tujuan untuk menulis buku tentangnya, kemudian menghasilkan uang darinya. Atau, kita mungkin menghadiri sesi pengajaran agar punya bekal untuk memberikan ceramah dan menjadi terkenal, atau hanya sekadar untuk pamer pengetahuan kepada orang lain.

3. Wadah bocor

Jenis wadah ketiga adalah wadah rusak yang memiliki lubang. Apa maksudnya? Ini berarti mendengar ajaran dengan sikap yang baik tetapi tidak menaruh fokus penuh pada apa yang diajarkan. Jadi, ibarat sebuah wadah yang memiliki lubang di dalamnya, tidak peduli berapa banyak air yang kita tuang ke dalamnya, pada akhirnya tidak ada setetes pun yang tertampung. Kita semua harus hati-hati dengan sikap seperti ini. Kita mungkin mendengar dengan sikap yang baik, dengan motivasi yang bajik, tetapi kita sangat mudah melupakan apa yang telah kita dengar. Sangat memalukan sekali karena ini artinya kita tidak memiliki bekal untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kasus ini, bahkan jika kita ingin mempraktikkan apa yang telah kita dengar, kita tak tahu bagaimana cara melakukannya. Sangat mudah untuk memutuskan apakah ini adalah masalah kita atau bukan; kita bisa menimbang sebanyak apa Dharma yang telah kita dengar dan pelajari dan berapa banyak yang masih tersisa di pikiran kita saat ini.

Ada sebuah pepatah dari guru zaman dulu yang berbunyi, “Ketika mendengar ajaran, kita seharusnya mendengarkan dengan segenap perhatian.” Apa artinya? Pastinya kita tidak dapat mendengar ajaran dengan indra penglihatan. Tetapi, bukan ini yang dimaksud. Secara sederhana, artinya kita harus berkonsentrasi penuh pada apa yang kita dengar dan mendengarkan dengan segenap perhatian. Dengan kata lain, kita harus menggunakan kesadaran pendengaran dan mental kita sepenuhnya. Segala jenis kesadaran kita yang lain, seperti penglihatan dan penciuman, seharusnya tidak aktif. Semua daya upaya kita seharusnya hanya disalurkan untuk mengaktifkan kesadaran mental dan pendengaran kita.

Mengenai cara mendengar, kita harus mendengar ajaran dengan motivasi yang bajik. Motivasinya harus murni, dalam artian kita harus mendengar dengan niat tulus untuk meningkatkan kapasitas diri. Kita harus benar-benar sadar bahwa sekarang kita masih berada dalam keadaan yang beruntung: kita terlahir sebagai manusia dengan semua keadaan yang menguntungkan, tanpa semua keadaan yang merugikan. Apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup ini? Ketika kita merenungkan hal ini, maka jawabannya adalah: kebahagiaan. Kita ingin merasa bahagia terus-menerus; kita tidak pernah puas dengan kebahagiaan yang telah kita miliki. Di sisi lain, kita ingin menghindari segala jenis masalah, kesedihan dan penderitaan, bahkan yang paling sepele. Inilah yang kita inginkan, dan ini adalah cita-cita yang sangat wajar. Tetapi, kita harus menyadari bahwa sekarang kita berada di posisi yang ideal untuk mencapai apa yang kita inginkan. Sebagai contoh, seekor binatang juga memiliki cita-cita yang sama dengan kita. Mereka juga ingin sebahagia mungkin dan berharap untuk menghindari segala macam kesulitan. Mereka melakukan usaha-usaha terbaik untuk mencapai kebahagiaan, tapi apa yang dapat mereka lakukan untuk mencapainya? Mereka berburu makanan, mencari tempat berlindung, dan merawat anak mereka, tapi mereka memiliki kapasitas yang sangat kecil bila dibandingkan dengan kita. Di sisi lain, kita mampu melakukan berbagai hal agar keinginan kita terwujud. Nyatanya, karena potensi kita yang sangat besar, kita memiliki peluang untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan ini dan juga memastikan perolehan kelahiran kembali yang baik di kehidupan selanjutnya. Kita juga memiliki pilihan untuk mencapai kebebasan yang sempurna dari samsara yang menyedihkan. Inilah kenyataannya: kita dapat mencapai apa pun yang kita inginkan, apa pun yang kita pikirkan.

Selanjutnya, jika kita bertekad untuk mencapai Kebuddhaan, kondisi ini akan membuat kita tak hanya mampu memenuhi cita-cita pribadi, namun juga cita-cita makhluk lain. Kita sekarang harus berpikir bahwa bukan hanya diri kita saja yang ingin terbebas dari semua penderitaan dan mencapai kebahagiaan, karena semua makhluk juga pastinya mengangankan hal yang sama. Jadi, yang terbaik adalah menginginkan agar penderitaan kita dan semua makhluk berakhir, dan agar kita dan semua makhlu sama-sama mencapai kebahagiaan sejati. Demi kedua tujuan inilah kita ingin mencapai Kebuddhaan, dan inilah yang menjadi landasan bagi kita untuk mendengar ajaran. Aspirasi altruistik untuk mencapai pencerahan atau Kebuddhaan disebut bodhicita (batin pencerahan), dan kita harus menumbuhkannya di dalam diri kita sekarang juga, meskipun hanya pada tahap dibuat-buat. Jika kita kelak telah memiliki bodhicita yang spontan, tentu itu adalah yang terbaik. Namun saat ini, bodhicita yang dibuat-buat juga tak kalah pentingnya bagi perkembangan praktik kita.

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di  Kadam Tashi Choe Ling, Kuala Lumpur, Malaysia pada 2007
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Catur Brahmawihara, Praktik Meditasi Empat Kemuliaan Tanpa Batas”

Cara Mendengar dan Mengajar Dharma