Tahapan Jalan

Mencapai Pembebasan Samsara


Meraih Kebahagiaan Sejati

Kita semestinya sadar bahwa sebagai manusia, kita telah memiliki beberapa faktor dan kondisi yang mendukung dan sangat menguntungkan, serta mempunyai potensi yang luar biasa untuk mencapai kebahagiaan, baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang berikutnya, baik batin maupun jasmani. Sebenarnya terdapat suatu kemungkinan bila kita memiliki keinginan untuk terlahir kembali sebagai, misalnya orang Indonesia, kita bisa melakukannya dan hal itu adalah sangat mungkin. Begitu pula jika kita ingin terlahir sebagai orang Jerman, Prancis, Jepang, dan sebagainya, semua itu adalah sangat mungkin. Hal ini bukan lelucon, tapi bila kita mengetahui dan memahami cara atau sebab untuk mencapai hal tersebut, maka hal itu bisa saja terjadi. Jadi, dengan mengetahui dan menghimpun sebab-sebabnya, hal yang diinginkan itu akan terjadi.

Dengan mengetahui cara-cara untuk menghimpun sebab-sebab terlahir kembali sebagai manusia dengan semua faktor dan kondisi yang mendukung dan menguntungkan, maka kita dapat melakukan semua hal itu dan tentunya kita akan menerima hasil yang sesuai dengan sebabnya. Bahkan, kita bisa menentukan tempat kelahiran kita, jika kita tahu caranya. Semua hal itu bisa kita lakukan pula dalam kehidupan yang berikutnya, apabila kita sadar dan mampu menghimpun sebab-sebabnya, dan begitu seterusnya. Namun masalahnya, jika kita melakukan hal itu berulang-ulang kali, pasti kita akan selalu mengalami kelahiran, usia tua, sakit, dan mati. Saat ini, hal tersebut di luar kuasa kita untuk  menghindarinya dan kita dibatasi olehnya. Walaupun kita dapat mencapai kelahiran yang lebih tinggi, kita tidak dapat menghindari proses kehidupan yang selalu hadir tersebut. Penyebab semua hal ini adalah avidya atau ketidaktahuan yang mendasar. Di bawah pengaruh ketidaktahuan tersebut, kita melakukan karma baik dan karma buruk. Karma baik akan menghasilkan kehidupan yang lebih tinggi, sebaliknya karma buruk akan menghasilkan kehidupan yang lebih rendah. Namun semua itu, baik atau buruk, masih berada di dalam lingkaran samsara. Sebenarnya penyebab yang mendasari semua hal di atas adalah ketidaktahuan atau kesalahpahaman (persepsi) akan realita yang ada. Karena berawal dari persepsi yang salah, maka hasilnya akan negatif pula. Jadi, akar dari proses kelahiran yang tidak terkendalikan oleh kita adalah persepsi yang salah.

Jelas kita sekarang perlu mengetahui dan memeriksa bagaimana persepsi kita itu salah dan bagaimana pemahaman kita akan realita itu tidak tepat. Kesalahpahaman tentang realita tersebut terletak pada cara melihat ‘diri’ atau ‘aku’. Untuk memahami salah persepsi tentang eksistensi ‘aku’ ini, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa dan memahami di mana sebenarnya ‘aku’ itu berada.

Sebetulnya ‘aku’ itu ada. Aku pergi ke sana, aku sakit, aku sembuh dan seterusnya. Aku itu ada. Namun yang perlu diperiksa lebih jauh adalah bagaimana sebenarnya ‘aku’ itu ada. Menurut paham Buddhis, jika kita melihat diri kita maka itu terdiri dari (tubuh) jasmani dan batin. Hal ini bisa dirinci lagi menjadi terdiri dari lima himpunan atau lima skandha. Kita akan memeriksa lebih jauh lagi yaitu dengan merenungkan bahwa ‘aku’ yang ada ini sebenarnya bergantung pada tubuh jasmani dan batin, dan tidak bisa berdiri sendiri.

Apakah ‘aku’ itu sama dengan tubuh dan batin? Tentu tidak, karena kita tahu bahwa aku memiliki tubuh dan aku mempunyai batin, tapi aku bukan tubuhku dan aku bukan batinku. Kita tidak dapat mengatakan bahwa aku adalah tubuh dan aku adalah batin. Kita bisa katakan aku ini bukan tubuh dan aku ini bukan batin, tapi aku tidak akan eksis tanpa tubuh dan batin. Bila bicara tentang aku, sulit sekali  memisahkannya dari tubuh dan batin. Contohnya, bila aku mau ke sana, maka yang dimaksud adalah tubuh aku akan ke sana. Bila aku merasa nyaman, maka yang dimaksud adalah aspek dari batin kita merasa nyaman.

Sangat sulit untuk memisahkan aku dari tubuh dan batin, keterkaitannya sangat nyata. Umpamanya tangan kita terluka, kita akan mengatakan tanganku sakit. Akan tetapi kita tidak akan mengatakan tanganku sakit tapi aku tidak. Dari sini dapat dilihat bahwa antara ‘aku’ dan tubuh telah tercampur. Contoh lain, jika kita sakit kepala, maka kita akan mengatakannya aku sakit kepala. Dalambatin kita, semua itu sudah tercampur menjadi satu. Jadi dengan hal- hal demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi kita tentang ‘aku’, tubuh, dan batin sudah berbaur dan kait-mengkait (tercampur).

Jika tangan kita sakit maka kita akan mengatakan tanganku sakit atau aku sakit. Tetapi ini bukan berarti tangan aku adalah aku atau aku adalah tanganku. Kejadian tersebut sudah jelas menunjukkan bahwa ‘aku’ dan tubuh itu saling terkait dan bergantungan. Sama halnya dengan batin, contohnya kita sedang tidak sehat, kita mengatakan aku sedang sedih, berduka, dan seterusnya, tapi kita tidak mengatakan batinku sedang sedih. Di sini terlihat jelas bahwa aku dan batin saling bergantung pula. Jika kita coba memisahkan atau mengesampingkan tubuh dan batin kita, maka kita tidak mungkin mengalami kejadian demikian. Dengan adanya kombinasi tubuh dan batin tersebut barulah kita bisa berbicara tentang aku. Jelaslah aku tidak akan eksis tanpa tubuh dan batin. Jika kita memisahkan tubuh dan batin maka kita tidak dapat menemukan aku. Jadi eksistensi aku adalah saling bergantungan  dengan tubuh dan batin.

Inilah kenyataan bahwa eksistensi ‘aku’ bergantung pada tubuh dan batin. Karena ketidaktahuan, kita merasa dan berpikir bahwa kita memiliki suatu eksistensi yang terlepas dari tubuh dan batin. Akan tetapi, menilai ‘aku’ sebagai sesuatu yang independen, lepas dari tubuh dan batin saja, tidaklah cukup. Kita sebetulnya perlu melihat lebih jauh lagi melalui pengalaman hidup, bagaimana ‘aku’ itu tampak dan terjadi karena ketidaktahuan kita. Contohnya, ketika kita berada di atas atap dan hampir jatuh, pasti kita tidak berpikir bahwa ‘aku’ yang tergantung dari tubuh dan batin ini akan jatuh, tapi kita akan berpikir bahwa kita akan jatuh. Jadi seolah-olah ada ‘aku’ yang independen yang akan jatuh dan mengalami sesuatu. Contoh lain, misalkan kita sedang berkumpul dalam suatu keramaian, dan kemudian ada orang yang menghina kita. Lalu dalam pikiran kita akan muncul “Kurang ajar orang ini, beraninya ia  meremehkanku.” Jadi ‘aku’ yang dirasakan saat itu, seolah-olah ‘aku’ yang berdiri sendiri dan kita tidak berpikir bahwa ‘aku’ bergantung dari tubuh dan batin. Pada situasi tersebut, kita dapat merasakan ‘aku’ yang benar-benar independen. Kita menilai inilah ‘aku’ yang sebenarnya, inilah jati diri saya. Seolah-olah kita berpegang padanya dan melekat padanya. Itulah yang sebenarnya disebut ketidaktahuan mendasar yang menjadi penyebab lingkaran samsāra yang telah dijelaskan di atas.

Karena didasari oleh persepsi yang salah, maka kita menilai bahwa ‘aku’ itu berdiri sendiri, ‘aku’ adalah jati diri yang sebenarnya, atau dengan kata lain, didasari ketidaktahuan yang mendasar itulah maka dalam diri kita timbul suatu sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini juga yang menimbulkan suatu sikap yang menganggap bahwa diri kitalah yang paling penting. Karena kita hanya melihat bahwa diri sendirilah yang paling penting dan paling berharga, maka akan muncul suatu rasa kemelekatan yang sangat kuat terhadap diri sendiri. Berdasarkan kemelekatan ini, kita melakukan hal-hal (karma) yang negatif untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri.

Ditambah pula, jika kita melihat segala sesuatu yang ada di luar diri kita atau bukan milik kita dengan didasari kemelekatan terhadap diri sendiri, maka dalam diri kita akan muncul rasa tidak suka dan benci yang akan menghasilkan karma yang negatif pula.

Karena rasa mementingkan diri sendiri itulah maka timbul rasa kemelekatan terhadap diri dan rasa tak senang terhadap orang lain. Inilah yang menjadi akar dari semua faktor mental atau batin negatif, seperti dengki, cemburu, iri, dan sebagainya. Selanjutnya, faktor batin negatif inilah yang menjadi pemicu perbuatan-perbuatan negatif yang akan menimbulkan karma-karma negatif, yang pada akhirnya akan menyebabkan kita mengalami kelahiran kembali yang berulang-ulang, dan kita harus mengalami usia tua, sakit dan mati.

Singkatnya, ketidaktahuan yang mendasar akan menimbulkan rasa mementingkan diri sendiri, yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai faktor mental negatif. Faktor-faktor mental negatif tersebut akan memicu perbuatan negatif dan menghasilkan karma negatif, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kelahiran yang berulang kali, yang didalamnya termasuk mengalami proses penuaan, sakit dan mati. Selama berada di dalam proses itu, kita akan terus-menerus terlahir kembali di luar kuasa diri kita. Misalnya, pada saat tertentu kita terlahir di alam yang lebih baik karena kumpulan karma positif, namun kebahagiaan yang didapatkan tetap saja tidak kekal dan akan mengalami proses-proses tersebut, selama ketidaktahuan yang mendasar masih ada.

Bila kita mengharapkan suatu kebahagiaan yang lebih kekal, yang terhindar dari siklus (proses-proses) tadi, maka tentunya kita perlu menghapus atau mengatasi ketidaktahuan yang mendasar tersebut terlebih dahulu. Dengan kata lain, persepsi akan adanya aku yang independen yang berdiri sendiri inilah yang harus dihapusterlebih dahulu. Jika tidak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,akan timbul faktor-faktor mental negatif, selanjutnya karma-karma negatif, dan pada akhirnya timbul proses kelahiran yang berulang-ulang. Jadi, bilamana kita berhasil mengatasi ketidaktahuan yang mendasar tentang eksistensi ‘aku’, maka seketika itu pula kita akan langsung menghentikan produksi karma yang menyebabkan kelahiran kembali. Namun demikian, hal ini tidak akan terjadi jika hanya dipikirkan saja, tapi harus langsung dipahami, spontan, dan dirasakan secara nyata.

Jika kita berhasil mengatasi ketidaktahuan yang mendasar bahwa eksistensi ‘aku’ itu tidak independen atau dengan kata lain, jika kita memahami ketanpa-akuan (anatta), maka tidak ada lagi dasar bagi munculnya rasa mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, tidak ada lagi kemelekatan terhadap diri sendiri. Karena tidak danya kemelekatan, maka selanjutnya tidak ada lagi rasa benci dan tidak suka terhadap segala sesuatu yang menjadi pemicu terciptanya karma negatif. Dengan tidak adanya karma tersebut maka pada akhirnya terhentilah kelahiran yang berulang yang tak terkendali. Ini berarti kita telah bebas, dan pada saat itu kita tidak menciptakan karma lagi. Dengan kata lain, kita telah bebas dari kelahiran yang berulang (samsāra) termasuk proses yang berada didalamnya. Bebas dari penderitaan kelahiran, usia tua, sakit, dan mati. Itulah cara untuk membebaskan diri kita dari roda samsāra, yaitu dengan mengatasi ketidaktahuan yang mendasar tentang eksistensi ‘aku’. Keadaan terbebas ini dikenal dengan sebutan keadaan Arahat.

 

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Bali, Indonesia pada 2000
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Buddhisme & Kebahagiaan”

Apakah benar kita menderita?
Bagaimana cara untuk membangkitkan penolakan terhadap samsara?
Bagaimana cara melepaskan diri dari penderitaan samsara? Mempelajari 12 Mata Rantai adalah salah satu jawabannya.