12 Mata Rantai


Di antara semua ajaran Buddha, 12 Mata Rantai adalah ajaran yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan sebagai ajaran inti. Arya Nagarjuna menjelaskannya sebagai berikut: “Di dalam gudang ajaran Buddha, 12 Mata Rantai adalah harta karun yang paling berharga dari semuanya.” Seandainya seluruh ajaran Buddha disimpan dalam sebuah gudang, maka layaknya sebuah gudang, kita akan menemukan banyak barang. Ada barang yang lebih berharga ketimbang yang lainnya. Di sini, beliau menyamakan 12 Mata Rantai dengan barang paling berharga yang bisa kita temukan. Dan memang, sebenarnya semua aspek ajaran Buddha pada akhirnya akan dihubungkan kembali dengan ajaran 12 Mata Rantai ini. Seluruh ajaran Mahayana dipadatkan di dalamnya, begitu pula dengan seluruh ajaran Therawada.

Penjelasan 12 Mata Rantai kali ini akan didasarkan pada Lamrim Agung karya Je Tsongkhapa, dan berhubung rincian penjelasan yang terkandung dalam Lamrim Agung terlalu banyak, di sini saya hanya akan memberikan penjelasan yang dipadatkan. Dalam Lamrim Agung, topik 12 Mata Rantai bisa ditemukan di dalam bab tahapan jalan untuk ketiga jenis makhluk, khususnya di bagian tahapan jalan untuk makhluk motivasi atau kapasitas menengah.

Buddha mengajarkan bagaimana kita berputar-putar di dalam samsara dan bagaimana kita dapat membebaskan diri dari samsara dengan berbagai cara. Pada dasarnya, ada 2 jalan utama untuk membebaskan diri dari samsara. Yang pertama adalah 4 Kebenaran Arya, yang menjelaskan dengan tepat bagaimana kita terperangkap di dalam samsara dan bagaimana kita dapat membebaskan diri darinya. Yang kedua adalah 12 Mata Rantai. Sebagai tambahan, meski tadi telah disinggung bahwa 12 Mata Rantai tercakup dalam tahapan jalan untuk makhluk motivasi menengah, sesungguhnya kita dapat mengaitkan topik ini dengan keseluruhan tahapan jalan.

Ini dijelaskan oleh Geshe Puchungwa berdasarkan praktik pribadi beliau, yang tradisinya adalah mengajarkan Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan karya Guru Atisha dengan panjang lebar, yakni menjelaskan hubungan dari keseluruhan tahapan jalan dengan 12 Mata Rantai. Tradisi beliau adalah salah satu dari tiga silsilah aliran Kadampa, yang disebut Silsilah Instruksi. Silsilah instruksi adalah silsilah yang mengajarkan Pelita Sang Jalan melalui pengaitan dengan satu topik tertentu, misalnya 12 Mata Rantai.

1. Ketidaktahuan Akar

Mata rantai pertama adalah ketidaktahuan akar. Bagaimana cara menjelaskannya? Ini adalah faktor mental atau kondisi batin yang mencegah kita untuk memahami. Ia mempertahankan kita, secara harfiah, dalam kegelapan. Karena itu, kadang-kadang ia diterjemahkan sebagai penghalang batin atau kegelapan batin. Jenis pertama dari ketidaktahuan akar adalah ketidaktahuan atau tak mengetahui. Jenis kedua adalah kesalahpahaman, yakni pemahaman yang salah mengenai cara segala sesuatu mengada. Jadi, kedua jenis ketidaktahuan ini adalah mata rantai pertama dari 12 Mata Rantai.

Apa yang dimaksud dengan ketidaktahuan akar? Ini adalah kecenderungan untuk melihat bahwa kita memiliki eksistensi yang berdiri sendiri atau keberadaan sejati. Ini berlawanan langsung dengan kebijaksanaan yang merealisasikan kesunyataan.

Contohnya, ketika memikirkan Buddha, kebanyakan orang memiliki perasaan bahwa Buddha sangat berharga dan dekat. Namun, di saat bersamaan, kita mungkin tak punya pemahaman yang sangat jelas mengenai apa atau siapa itu Buddha. Ketika memikirkan Buddha, bisa jadi yang kita pikirkan adalah rupang Buddha. Mungkin itu hal pertama yang muncul dalam batin kita. Tentu saja Buddha bukan patung. Jenis ketidaktahuan ini, yakni kurangnya kesadaran atau pengenalan yang tepat mengenai apa atau siapa itu Buddha, merupakan contoh mata rantai pertama, ketidaktahuan akar.

Contoh lainnya adalah karma. Kita mungkin tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai karma. Kita berada dalam kegelapan terkait definisi karma. Kita bisa saja menerjemahkan karma sebagai sebuah aktivitas atau perbuatan, atau tindakan gabungan. Namun, apa pun terjemahan yang digunakan, kita mungkin masih belum memiliki pemahaman yang tepat mengenai apa itu karma. Misalnya, kita bisa saja menolak kemungkinan bahwa satu sebab tunggal bisa memunculkan berbagai jenis akibat, dan seterusnya.

Contoh lainnya adalah ketika kita menolak keberadaan sosok makhluk seperti Buddha dan sejenisnya, yang mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, ketidaktahuan akar digambarkan sebagai seorang perempuan tua dan buta yang memegang tongkat di tangannya.  Ia dibutakan oleh keyakinan bahwa dirinya eksis dengan sendirinya. Sosok perempuan tua (bukan perempuan muda) menyimbolkan bahwa kita telah mengalami ketidaktahuan akar ini sejak waktu yang tak bermula, dan oleh karenanya, telah menghimpun karma yang tak terhitung jumlahnya (bajik maupun tak bajik) untuk terus terlahir dan berdiam di dalam samsara.

2. Karma Pembentuk

Mata rantai kedua diterjemahkan dengan berbagai cara. Dalam satu teks, ia diterjemahkan sebagai aktivitas gabungan. Terjemahan lain menyebutnya sebagai karma pembentuk. Pada dasarnya, ia adalah karma. Tapi, sekali lagi, apa itu karma?

Kita berbicara mengenai karma baik dan buruk. Ada banyak jenis karma dan banyak cara untuk menggolongkan karma. Penggolongan menurut hakikatnya mungkin adalah metode penggolongan karma yang paling penting. Karma adalah faktor mental atau kondisi batin; kadang-kadang, ia diterjemahkan sebagai niat atau aktivitas mental. Namun, saya lebih memilih kata “niat”, yaitu faktor mental “niat”. Kalau kita menggolongkan karma menurut hakikat atau kualitasnya, maka ada karma baik, buruk, dan netral.

Contoh karma mental yang baik adalah kondisi batin yang berhubungan dengan kemurahan hati, kebaikan, keinginan untuk menolong pihak lain, dsb. Contoh karma mental yang buruk adalah kondisi batin yang berkaitan dengan keinginan untuk membunuh, mencuri, memecah-belah, amarah, dsb.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, karma pembentuk digambarkan sebagai pembuat tembikar. Ini cukup mudah dipahami, karena pembuat tembikar membuat segala jenis kerajinan dan peralatan, ibarat segala jenis karma (baik, buruk, dan netral) yang melempar kita ke dalam samsara.

3. Kesadaran

Mata rantai ketiga adalah kesadaran. Secara umum, di dalam Buddhadharma, ada 6 jenis kesadaran, yakni kesadaran penglihatan, pendengaran, dst. Enam jenis kesadaran ini adalah batin yang terkait dengan 5 jenis persepsi indera dan 1 persepsi atau kesadaran mental. Dalam konteks 12 Mata Rantai, kesadaran hanya merujuk pada kesadaran keenam ini, yaitu kesadaran mental.

Secara ringkas kita telah mempelajari 3 mata rantai pertama dari 12 Mata Rantai, yaitu ketidaktahuan akar, karma pembentuk, dan kesadaran. Bagaimana ketiganya bekerja secara bersamaan?

Jangan lupa bahwa apa yang dijelaskan dalam 3 mata rantai ini adalah ihwal tata cara kita terus diarahkan untuk berputar dalam samsara. Karena kita masih memiliki ketidaktahuan, kita dihalangi untuk melihat dan menyadari kenyataan apa adanya, serta diarahkan untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga terus menciptakan karma. Karma yang diciptakan bisa bersifat baik ataupun buruk. Dalam konteks 12 Mata Rantai, berhubung karma muncul dari ketidaktahuan akar, maka karma apa pun yang diciptakan (baik ataupun buruk) adalah karma pelempar yang menyebabkan kita terlahir di dalam samsara berulang-ulang (baik alam rendah maupun alam tinggi). Seperti yang telah kita lihat, karma pertama-tama merupakan kondisi batin, sebuah faktor mental niat. Namun, ia tidak selalu berada dalam kondisi seperti itu. Pada titik tertentu, karma akan berubah dari kondisi mental menjadi apa yang kita sebut sebagai jejak atau potensi karma. Karena jejak ini tertanam dalam batin kita, ia pun dikatakan berada dalam dan berhubungan dengan kesadaran kita, yakni mata rantai ketiga.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kesadaran digambarkan sebagai seekor monyet. Kenapa demikian? Bayangkan bila seekor monyet berada di dalam sebuah rumah dengan 6 jendela. Dalam keadaan apa pun, entah apakah jendela terbuka atau tertutup, monyet yang lincah dan dinamis akan menelusuri seisi rumah dan melihat keluar lewat 6 jendela, yakni 6 indra kita. Meski terdapat 6 jendela, hanya ada seekor monyet yang melihat melalui mereka. Dengan cara yang sama, kesadaran yang bergantung pada indra mata akan melihat bentuk, dan kesadaran yang bergantung pada indra telinga akan mendengar suara, dst.

Tiga mata rantai pertama ini disebut sebagai mata rantai pelempar atau mata rantai yang memproyeksikan, karena merekalah yang melempar kita ke kehidupan yang baru di dalam samsara. Istilah yang tepat bagi ketiganya adalah 3 sebab pelempar atau 3 sebab yang memproyeksikan. Karena merupakan sebab, mereka menghasilkan akibat.

4. Nama dan Rupa

Apa yang dihasilkan oleh ketiga sebab pelempar adalah mata rantai keempat, yaitu nama dan rupa. Istilah pertama, nama, merujuk pada 4 dari 5 skandha yang menyusun diri kita, yaitu perasaan, identifikasi, faktor-faktor pembentuk, dan kesadaran. Istilah kedua, rupa, merujuk pada skandha kelima, yaitu bentuk (rupa). Jadi, mata rantai keempat ini merujuk pada panca- skandha yang menyusun diri kita, yang terbagi menjadi 4 fenomena mental dan 1 fenomena material.

Kapan mata rantai keempat terjadi atau muncul? Mari kita kembali ke awal. Anggaplah 3 mata rantai pertama terjadi dalam kehidupan nomor satu, kehidupan saat ini. Ketiganya adalah sebab-sebab pelempar. Mereka memproyeksikan mata rantai keempat, yaitu nama dan rupa, yang pada gilirannya menghasilkan sebab tersebut (nama dan rupa) dalam kehidupan yang akan datang. Kenapa? Karena nama dan rupa merujuk pada skandha yang baru. Oleh karenanya, mereka hanya bisa muncul pada kehidupan yang akan datang. Jadi, jika dalam kehidupan ini kita menghasilkan 3 mata rantai yang pertama, buah yang mereka hasilkan di kehidupan mendatang adalah skandha yang disebut nama dan rupa.

Kita tahu bahwa masa paling awal dari kehidupan terjadi di dalam rahim ibu kita, yaitu ketika sel sperma ayah dan sel telur ibu bertemu dan menghasilkan embrio. Ketika kesadaran memasuki embrio yang baru terbentuk, kita pun memiliki nama dan rupa (kesadaran, perasaan, bentuk, dst), atau mata rantai keempat. Mata rantai keempat akan terus bertahan melalui 5 tahap kehamilan yang menjelaskan masa perkembangan embrio.

Mengapa mata rantai ini menggunakan istilah ‘nama dan rupa’? Ini karena ada pengecualian. Makhluk di arupaloka tak memiliki skandha rupa, sehingga label ‘nama dan rupa’ tak berlaku bagi mereka.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, nama dan rupa digambarkan sebagai atap tempat berteduh dan perahu dengan penumpang di atasnya. Atap yang dimaksud tersusun dari ranting-ranting yang diikat menjadi satu, dan ini menyimbolkan bahwa nama dan rupa harus tersusun dari skandha-skandha yang digabungkan satu sama lain. Mustahil membayangkan salah satu dari skandha terpisah dari yang lainnya.

5. Indra

Mata rantai kelima merujuk pada janin yang telah cukup berkembang, sehingga indra seperti mata, telinga, hidung, dsb pun sudah terbentuk. Tingkat perkembangan tertentu dari janin dibutuhkan agar panca indra bisa terbentuk. Ini terjadi pada fase kehamilan minggu ke-19. Sebelum minggu ke-19, sebuah janin telah memiliki indra sentuhan (tubuh) dan kesadaran batin. Namun, indra mata, telinga, hidung dan lidah belum terlalu berkembang.

Hingga akhir minggu ke-18, sebuah janin akan memiliki nama dan rupa. Janin sudah memiliki mata rantai keempat, namun belum memiliki mata rantai kelima. Oleh karena itu, sampai minggu ke-18, janin hanya dianggap sebagai makhluk yang berpotensi menjadi manusia. Jadi, untuk 4½ bulan pertama, makhluk di dalam rahim ibu adalah “calon” manusia, dan belum bisa dianggap sebagai manusia sepenuhnya. Sejak minggu ke-19, barulah janin dianggap sebagai manusia sepenuhnya, karena pada waktu itu janin telah memiliki mata rantai kelima, yang terjadi ketika semua indra telah lengkap. Jadi, kita tidak membicarakan 6 indra dari seorang manusia yang sempurna, melainkan 6 indra dari janin di dalam rahim ibu.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, indra digambarkan sebagai sebuah rumah kosong dengan 6 jendela. Ketika dilihat dari luar, sulit untuk menerka apakah rumah itu kosong atau tidak, karena kita bisa saja berpikir bahwa ada orang yang tinggal di dalamnya. Dengan cara yang sama, ketika kita melihat janin dengan mata, hidung, telinga, dsb, semua indra ini belum dapat berfungsi dengan sempurna. Walaupun indra-indra ini terlihat ada pada janin, belum ada pertemuan antara objek persepsi dengan kesadaran batin dan kekuatan indra. Jadi, mereka diibaratkan seperti sebuah rumah kosong. Mereka tampak ada di sana, tapi kenyataannya mereka tak ada di sana. Demikianlah kondisinya sampai muncul mata rantai kontak.

6. Kontak

Setelah semua indra lengkap, barulah kita bisa mengalami berbagai jenis pengalaman melalui mata rantai keenam. Kontak berlangsung ketika sebuah objek, sebuah indra, dan sebuah kesadaran hadir bersamaan sehingga objek mampu dibedakan atau dikenali sebagai sesuatu yang menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kontak digambarkan sebagai dua orang yang saling merangkul dan berciuman. Ini kiranya cukup gamblang.

7. Perasaan

Kontak memungkinkan kita melabeli sebuah objek dengan perasaan: sebagai menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, perasaan digambarkan sebagai seseorang dengan panah tertancap di matanya. Jelas sekali bahwa kejadian ini akan menghasilkan sensasi yang kuat di dalam diri kita.

8. Hasrat

Dari ketiga jenis perasaan, muncul mata rantai kedelapan, yaitu hasrat. Terhadap objek yang membangkitkan perasaan menyenangkan, kita memunculkan hasrat untuk tak berpisah darinya. Sebaliknya, terhadap objek yang membangkitkan perasaan tak menyenangkan, kita memunculkan hasrat untuk berpisah darinya. Kita juga bisa mengidamkan perasaan netral. Ini lebih spesifik dan biasanya merujuk pada konsentrasi tingkat tinggi di alam dewa tertentu.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, hasrat digambarkan sebagai seseorang yang meminum minuman keras. Hakikat hasrat, selaku bentuk kemelekatan, adalah tak terpuaskan. Seorang peminum memiliki kesulitan untuk berhenti minum, dan ini kiranya cukup gamblang.

9. Sikap mencengkeram

Jika intensitas hasrat menjadi semakin kuat, ia akan memunculkan mata rantai kesembilan, yakni sikap mencengkeram. Hasrat dan sikap mencengkeram memperkuat, mematangkan, dan mengaktifkan mata rantai ketiga, yakni karma pelempar.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, sikap mencengkeram digambarkan sebagai seekor monyet yang mengambil buah dari pohon. Kita tahu bahwa seekor monyet yang sedang berada di atas pohon akan mencoba buah satu per satu. Proses ini akan berlangsung tanpa henti, seolah-olah si monyet takkan pernah terpuaskan. Dan memang, demikianlah cara kerja sikap mencengkeram.

10. Eksistensi

Mata rantai kesepuluh adalah eksistensi atau keberadaan. Eksistensi juga merupakan sebuah karma, namun karma yang telah diaktifkan atau dimatangkan oleh hasrat dan sikap mencengkeram, dan yang sudah berada dalam kondisi untuk menghasilkan akibatnya.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, eksistensi digambarkan sebagai seorang perempuan di bulan kehamilannya yang ke-9; artinya, ia sudah siap untuk melahirkan bayinya.

11. Kehidupan

Karma yang matang ini akan mengarah pada mata rantai kesebelas, yaitu kehidupan, atau awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kehidupan digambarkan sebagai seorang perempuan yang melahirkan.

12. Penuaan dan Kematian

Kehidupan, tak ayal lagi, akan mengarahkan kita pada mata rantai terakhir, yaitu penuaan dan kematian. Penuaan adalah kemerosotan yang kita alami sejak momen pertama kita dikandung di dalam rahim ibu. Kematian sendiri terjadi ketika sebuah kehidupan berakhir. Barangkali, akan lebih akurat untuk meyebutnya sebagai penuaan dan/atau kematian, karena beberapa orang tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi tua sebelum mereka mati.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, penuaan dan kematian digambarkan sebagai orang tua yang berjalan susah-payah dengan sebatang tongkat dan seseorang yang mengusung jenazah di punggungnya. Kadang kala, gambarnya adalah orang tua yang membawa mayat, sekadar untuk menyimbolkan penggabungan penuaan dan kematian.

Demikianlah ulasan singkat atas 12 Mata Rantai.  Intinya, 3 mata rantai pertama adalah sebab-sebab pelempar, 4 mata rantai berikutnya adalah akibat yang terjadi dari sebab-sebab pelempar tersebut. Kemudian, mata rantai kesepuluh merupakan karma yang dimatangkan oleh 2 mata rantai sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa agar 3 sebab pelempar bisa menghasilkan 4 akibat, dibutuhkan semacam “penolong”, karena 3 sebab pelempar sendiri tak dapat secara langsung menghasilkan 4 akibat. “Penolong” yang dimaksud adalah mata rantai ke-8, 9, dan 10. Secara bersamaan, mereka adalah sebab-sebab penghasil, dan 3 sebab penghasil ini harus ditambahkan ke 3 sebab pelempar untuk menghasilkan 4 akibat.

Begini prosesnya. Pada awalnya, melalui ketidaktahuan akar, kita menciptakan karma-karma pembentuk. Karma tersebut ditempatkan dalam kesadaran batin kita. Ini mewakili 3 mata rantai yang pertama. Agar karma bisa menghasilkan akibat berupa sebuah kehidupan yang baru dengan nama dan rupa dan seterusnya, ia harus dibuat menjadi matang. Karma tidak harus matang dengan segera. Ia bisa tetap berada bersama kita untuk waktu yang sangat lama hingga tiba waktunya untuk diaktifkan. Ketika ini terjadi, ia akan matang dan menghasilkan sebuah akibat berupa kehidupan yang baru.

Kita memiliki berbagai jenis karma di dalam diri kita, dengan sifat dasar yang berbeda-beda pula. Kita memiliki karma untuk terlahir sebagai manusia, sebagai binatang, sebagai dewa di alam yang lebih tinggi, dsb. Semuanya bergantung pada karma apa yang diaktifkan dan unsur pengaktifnya, yaitu sebab-sebab penghasil berupa hasrat, sikap mencengkeram, dan eksistensi.

Selama karma pelempar tidak diaktifkan oleh hasrat dan sikap mencengkeram, ia akan tetap bersama kita dan tak berbuah. Namun, ketika suatu hari sebuah karma tertentu terpilih dan diaktifkan oleh hasrat dan sikap mencengkeram, karma tersebut akan menjadi eksistensi. Ia kemudian akan menjadi karma yang matang dan menghasilkan akibatnya, yakni kehidupan serta penuaan dan kematian.

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche, Kadam Tashi Choeling, Malaysia pada 6 – 11 Februari 1998 &16 – 19 Desember 2010
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Pratityasamutpada”

Mencapai Pembebasan Samsara