Karma & Klesha
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali harus menghadapi masalah-masalah yang muncul dan tidak mendapatkan hal yang kita inginkan. Terkadang, kita menjadi frustrasi, sementara di sisi lain kita harus menghadapi kejadian yang tidak diinginkan sekaligus tidak menyenangkan. Sangat penting untuk mengetahui sumber dari masalah-masalah ini. Mungkin ada jawaban yang berbeda-beda, tetapi berdasarkan Buddhisme, pengalaman-pengalaman yang kita alami, baik ataupun buruk, muncul sebagai akibat dari berbagai karma yang telah kita perbuat. Dengan kata lain, masalah atau penderitaan yang kita alami adalah hasil dari karma buruk kita, sedangkan pengalaman menyenangkan yang kita alami adalah hasil dari karma baik kita.
Tapi kenyataannya, masalah-masalah yang kita hadapi bersumber dari sesuatu yang jauh lebih halus dan rumit daripada sekadar faktor karma. Sebagai contoh, penderitaan yang kita alami dari waktu ke waktu timbul ketika faktor eksternal dan internal datang bersamaan. Dari kedua faktor ini, faktor internal (yakni karma) adalah yang terpenting. Mengapa demikian? Karena ketika kondisi internal berupa karma buruk hadir di dalam batin, barulah kondisi eksternal akan dapat memengaruhi kita. Jadi, meskipun kita menemukan diri kita dalam kondisi yang menyakitkan atau membahayakan, ia takkan memengaruhi kita jika kita tidak memiliki karma untuk menderita karena kondisi itu. Dengan demikian, faktor internal lebih berpengaruh ketimbang situasi eksternal. Kalau begitu, dari mana karma berasal? Karma tidak muncul dengan sendirinya; kita mengumpulkan karma dalam berbagai kesempatan. Ketika klesha timbul di dalam batin, kita segera mengumpulkan karma buruk. Adalah klesha yang membuat kita berperilaku tidak bajik, yang akhirnya akan menghasilkan lebih banyak karma buruk bagi kita. Masalah yang seolah-olah paling mendesak adalah karma buruk, tetapi di balik karma buruk, sebenarnya ada klesha yang mendorong kita untuk menghasilkan karma buruk. Ada banyak jenis klesha, tetapi yang paling kentara adalah kemelekatan dan kebencian. Bagaimanapun, kedua klesha ini memiliki akarnya juga, dan itu adalah bentuk ketidaktahuan yang menganggap adanya “diri” atau “aku” yang sejati. Ini adalah ketidaktahuan yang disebut “sikap mencengkeram diri atau aku yang sejati”.
Apakah ini artinya diri kita tidak ada? Tentu saja diri kita ada; kita memiliki diri. Namun, karena ketidaktahuan, kita cenderung salah mengartikan keberadaan diri. Kita melihatnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Seperti yang saya katakan, kita memang ada. Tetapi, ketika kita mencoba untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya diri kita ada, hal tersebut tidak bisa dijelaskan dengan nyata. Namun, sosok yang kita sebut “aku” memang ada. Sebagai contoh, kita datang dan pergi dari satu tempat ke tempat lain, dan yang melakukan aktivitas ini tak pelak adalah “aku”. Tapi, sekarang kita harus bertanya pada diri sendiri, “Ketika aku mengatakan bahwa diriku sedang melakukan itu dan ini, di mana tepatnya ia berada, dan apa sesunguhnya yang benar-benar bisa kusebut “aku”? Apakah “aku” adalah tubuh? Apakah “aku” adalah batin atau hal lain?” Sebagai contoh, ketika kita berpikir, “Aku seorang laki-laki” atau “Aku seorang wanita,” apa sebenarnya yang kita maksud? Inilah yang harus kita tanyakan pada diri sendiri. Dan pada akhirnya, kita tidak dapat menemukan “aku” baik di tubuh ataupun batin kita. Kita bisa saja menghabiskan banyak waktu di depan cermin dan berkata pada diri sendiri, “Inilah diriku.” Akan tetapi, kita tetap takkan mengetahui di mana persisnya “aku” berada, atau apa yang sebenarnya dimaksud dengan “aku”.
Sepertinya, telah sangat jelas bahwa “aku” tidak sama dengan tubuh. Kita berkata “tubuhku” karena kita mengira tubuh ini adalah sesuatu yang kita miliki, yang berarti bahwa tubuh itu sendiri bukanlah diri kita. Hal yang sama juga berlaku pada batin ketika kita berkata “batinku”. Namun di sisi lain, jika kita mengesampingkan batin dan tubuh kita dan mencoba untuk menemukan sang “aku” yang hadir dengan sendirinya tanpa perhubungan dengan tubuh dan batin kita, maka ini juga sesuatu yang tak mungkin dilakukan.
Sesungguhnya, Buddha telah menjelaskan “aku” dalam berbagai cara. Beliau memberikan penjelasan tentang “aku” sesuai dengan kemampuan, kapasitas, dan kecenderungan dari berbagai murid. Di satu sisi, sangat sulit untuk mengatakan bahwa kita adalah tubuh kita, tetapi di sisi lain, ketika kita memiliki masalah fisik seperti tangan atau kepala yang sakit, kita berkata, “Aku tidak sehat” atau “Aku sedang sakit kepala”. Dan kita menghubungkan sakit tubuh dengan diri sendiri. Dengan kata lain, kita tidak mengatakan, “Kepalaku sakit, tetapi aku sendiri tidak sakit”. Oleh karena itu, terlihat jelas hubungan antara tubuh dan “aku”. Ketika sedang berjalan, kita berkata, “Aku sedang berjalan,” padahal sebenarnya tubuh kitalah yang berjalan. Kita tak pernah berkata, “Tubuhku sedang berjalan.” Hal yang sama berlaku pada batin kita. Sebagai contoh, ketika batin dipenuhi dengan kesedihan, kita berkata, “Aku sedih”, tetapi kita tak pernah berkata, “Batinku sedih, tetapi aku sendiri tidak sedih.”
Untuk menjelaskan “aku” berdasarkan penafsiran paling rinci yang pernah Buddha berikan, kita bisa merujuk pada pandangan Madhyamaka Prasangika: bahwa “aku” adalah sesuatu yang muncul atau mewujud dengan tubuh dan batin sebagai landasannya. “Aku” bergantung pada tubuh dan batin, sehingga “aku” akhirnya muncul di dalam batin. Penampakan sederhana dari “aku” sudah cukup agar “aku” hadir dan memiliki fungsi sebagai makhluk hidup. “Aku” yang demikian sangatlah bergantung pada tubuh dan batin. Jika kita mengesampingkan tubuh dan batin, “aku” tidak bisa hadir. Namun, selama ini kita tidak sadar bahwa “aku” sangat bergantung pada tubuh dan batin kita. Terlebih lagi, “aku” muncul di hadapan kita sebagai sesuatu yang hadir dengan sendirinya, tanpa bergantung pada tubuh dan batin kita. Dengan kata lain, “aku” akan muncul dan terlihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada apa pun. Kita cenderung memahami “aku” dengan cara demikian. Inilah pandangan tersembunyi yang kita bawa di dalam batin kita, yang pada gilirannya memunculkan pelabelan yang membeda-bedakan diri kita dan makhluk lain, misalnya “kita” vs. “mereka”, atau “diri sendiri” vs. “orang lain”.
Karena adanya perasaan keberadaan diri yang kuat atau kesadaran akan adanya “aku”, kita cenderung sangat mementingkan diri sendiri. Kita merasa bahwa diri kita adalah orang yang paling berharga, dan bahwa semua hal lain dan orang lain hanyalah tambahan bagi hidup kita. Akibatnya, kita pun mengabaikan orang lain. Akibat alamiah dari mengabaikan orang lain adalah perasaan kemelekatan yang sangat kuat terhadap diri sendiri dan ketidaksukaan atau bahkan kebencian terhadap orang lain. Dengan cara inilah kedua klesha utama, kemelekatan dan kebencian, timbul. Ketika semua klesha ini telah muncul di dalam batin, kita akan mengumpulkan karma buruk di bawah pengaruh mereka. Ketika kita melekat pada diri sendiri, sebagian besar karma yang kita perbuat akan menjadi karma buruk. Ketika kita menunjukkan perilaku tidak suka atau benci kepada orang lain, karma yang kita hasilkan adalah karma buruk. Dan secara alamiah, cepat atau lambat, kita akan mengalami akibat yang tak bisa dihindari dari karma yang telah kita perbuat, yaitu mengalami berbagai bentuk penderitaan. Inilah cara memahami bagaimana semua masalah dan penderitaan kita muncul.
Sekali lagi, jangan sampai kita salah mengerti. Bukan berarti “aku” dan “makhluk lain” tidak ada. Tentu saja diri kita dan makhluk lain ada. Tidak ada kesalahan sama sekali kalau kita memandang diri kita dan makhluk lain ada. Kesalahannya terletak di perasaan melekat pada diri sendiri dan perasaan benci pada orang lain. Perasaan melekat pada diri sendiri dan pada semua yang kita lihat sebagai berada di pihak kita (teman-teman, kerabat, dan sebagainya) tidaklah tepat. Sebenarnya, tidak ada alasan untuk melekat pada teman dan anggota keluarga hanya karena kita menjalin hubungan dengan mereka dalam kehidupan ini. Kita harus memahami hal ini dalam konteks reinkarnasi. Dalam kehidupan kita yang lampau, mereka yang saat ini menjadi teman, kerabat, anak, atau pasangan kita bisa jadi adalah musuh bebuyutan kita; kita pernah diserang oleh mereka, kehilangan nyawa, dan sebagainya. Semua ini adalah fakta yang nyata adanya. Hubungan yang saat ini kita miliki dengan mereka hanya bersifat sementara. Prinsip yang sama juga berlaku untuk orang yang sangat kita benci atau yang menjadi objek kebencian kita. Hanya karena alasan sepele, kita memunculkan perasaan benci yang kuat terhadap mereka saat ini. Meskipun mereka mungkin pernah menghalangi rencana kita ataupun melakukan sesuatu yang membahayakan kita, namun dalam kehidupan lampau, kita boleh jadi menjalin hubungan yang sangat berbeda dengan mereka. Kita mungkin pernah sangat akrab dengan mereka; mereka pernah menjadi orang yang paling kita sayangi, cintai, dan sebagainya.
Kita tidak perlu berbicara tentang kehidupan lampau dan mendatang. Bahkan dalam satu kehidupan saat ini saja pun, banyak perubahan yang terjadi dalam hubungan kita, dan kita akan melihat bahwa sangat tidak tepat untuk membiarkan perasaan melekat dan benci tumbuh dalam diri kita. Dalam satu kehidupan, orang yang sangat kita cintai sekarang bisa seketika menjadi musuh bebuyutan kita di lain waktu, sampai-sampai kita tidak ingin melihat mereka lagi. Sama halnya, seseorang yang awalnya tidak kita sukai dapat menjadi sahabat terdekat kita. Sekarang, kita semua dapat memahami bahwa sebuah hubungan dapat berubah drastis. Mungkin ada seseorang yang kita kenal baik di masa lampau, tapi sekarang orang yang sama tidak memunculkan perasaan apa pun dalam diri kita tanpa alasan yang jelas. Perasaan kita terhadapnya mungkin berubah menjadi sangat negatif, sehingga bahkan hanya mendengar namanya saja pun sudah cukup untuk membuat kita menggigil. Walaupun begitu, keadaan dapat berubah. Kita dapat mengenal orang tersebut lebih baik lagi dan mulai bisa melihat kualitas baik yang dimilikinya. Akhirnya, kita bisa merasa sangat dekat dengan orang tersebut, bahkan tidak ingin berpisah dengannya lagi meskipun hanya sesaat.
Ini sama dengan apa yang dikatakan secara singkat oleh Shantidewa dalam Lakon Hidup Bodhisatwa[1]. Ada seseorang yang namanya saja pun sudah membuat kita ketakutan, tapi nantinya di masa depan, kita malah berharap agar tidak pernah terpisahkan lagi dengan orang yang sama. Cobalah bertanya pada diri kita, “Pernahkah aku benar-benar mengalami jenis hubungan seperti ini dengan seseorang?” Sekali lagi, kita jangan sampai salah menafsirkan apa yang telah dijelaskan. Kita tidak menyangkal keberadaan teman dan musuh; mereka pastinya ada. Tetapi, adalah keliru untuk mengelompokkan orang-orang ke dalam satu kelompok tertentu sampai pada tahap di mana kita menganggap seseorang adalah musuh atau teman kita untuk selamanya. Sikap yang demikian akan membuat kita merasa marah pada seseorang dan melekat pada orang lain. Karena perubahan adalah hakikat dari hubungan apa pun, perasaan kuat yang kita munculkan pada orang lain sama sekali tidak dapat dibenarkan. Tak ada satu makhluk pun yang sepenuhnya adalah musuh atau teman kita selamanya. Meskipun begitu, saat kita marah kepada orang lain, itulah yang persisnya kita rasakan; kita tidak menyukai seseorang, dan kita merasa bahwa perasaan ini akan tetap sama untuk selamanya. Hal yang sama juga terjadi dengan orang yang kita cintai. Saat kita sangat mencintai seseorang dan merasa dekat dengannya, jauh di lubuk hati, kita yakin bahwa orang tersebut akan selalu menjadi orang yang kita cintai, dan bahwa perasaan ini tak akan pernah berubah.
Bila ini merupakan reaksi alamiah kita, kita harus berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah orang ini akan selalu menjadi teman dekatku?” Jika kita objektif dalam melihat hal ini, kita mungkin akan berkesimpulan bahwa segala sesuatu akan berubah, dan bahwa pada tahap tertentu orang ini takkan lagi menjadi teman kita. Pemikiran yang sama berlaku untuk musuh kita. Walaupun begitu, saat kita sedang merasakan kemelekatan atau kebencian yang teramat kuat, reaksi paling alamiah adalah menganggap seseorang sebagai teman atau musuh sejati kita. Karena perasaan melekat atau benci yang sangat kuat, kita menciptakan begitu banyak karma buruk, yang cepat atau lambat akan matang dalam bentuk aneka ragam penderitaan.
Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa masalah atau kesulitan kita tidak muncul begitu saja. Hal tersebut merupakan hasil dari karma-karma buruk yang telah kita kumpulkan. Bagaimana cara kita mengumpulkan karma buruk? Kita mengumpulkan mereka di bawah pengaruh klesha-klesha seperti kemelekatan, kemarahan, dan sebagainya, yang pada gilirannya berakar dari pandangan salah tentang hakikat sejati dari “aku”. Kesalahpahaman ini disebut “sikap mencengkeram diri atau aku yang sejati”. Faktanya, “aku” tidak dapat berdiri sendiri, melainkan hanya eksis dalam hubungan yang saling bergantungan dengan tubuh dan batin kita. “Aku” tidak bisa hadir sebagai entitas yang berdiri sendiri. Meskipun begitu, kita melihatnya dengan cara yang sebaliknya. Kita melihat “aku” sebagai entitas yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hal lain, dan inilah awal dari semua masalah yang muncul. Karena cara pandang yang kuat dan keliru tentang “aku”, kita akhirnya melekat pada sesuatu yang mendukung kita dan membenci sesuatu yang melawan kita.
Oleh karena itu, pertama-tama ada cara pandang yang keliru tentang “aku”, pemahaman yang salah tentang bagaimana “aku” eksis. Lalu, terdapat perasaan melekat dan benci yang muncul dari hal tersebut, yang sebenarnya juga keliru, berhubung tidak ada musuh ataupun teman sejati. Reaksi yang salah terkait kemelekatan dan kebencian juga merupakan sumber masalah kita, karena melalui pengaruh kedua hal inilah kita menciptakan semua jenis karma negatif, yang akhirnya menciptakan berbagai penderitaan yang harus kita jalani. Oleh karena itu, kita perlu mencoba untuk mengurangi kemelekatan dan kebencian kita, serta mulai mengembangkan sikap yang lebih seimbang terhadap pihak lain.
[1] Bodhicaryawatara.
Dikutip dari pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Kadam Tashi Choe Ling, Kuala Lumpur, Malaysia pada 2007
Transkrip lengkap dapat dibaca dalam buku “Catur Brahmawihara, Praktik Meditasi Empat Kemuliaan Tanpa Batas”
Buku fisik ini dapat didapatkan di sini. Tersedia juga dalam bentuk ebook di sini.