Praktik Dharma yang Tepat

Praktik Dharma yang Tepat


Guru Atisha mengatakan, “Hidup ini singkat. Ada banyak hal yang harus dipelajari. Kita tak tahu kapan hidup kita akan berakhir. Seperti seekor angsa yang mampu memisahkan susu dari air, raihlah intisari kehidupan dan capailah tujuan-tujuan yang terpenting.”

Memang, hidup ini singkat, dan sebelum kita sadar, hidup kita sudah berakhir. Walaupun kita tidak tahu kapan itu terjadi, kehidupan bisa berakhir kapan saja. Terlebih lagi, ada begitu banyak hal yang harus dipelajari. Jadi, seperti angsa yang mampu memisahkan susu dari air, kita juga harus bisa memisahkan mana yang penting dan tidak penting. Kita harus menggunakan kehidupan manusia yang berharga ini untuk mencapai tujuan yang paling  penting bagi kita. Yang paling utama tentunya adalah mencapai kebahagiaan. Kita semua ingin mencapai kebahagiaan dan menghindari segala bentuk penderitaan. Kebahagiaan yang kita cari punya berbagai tingkatan. Yang pertama adalah kebahagiaan sementara di kehidupan saat ini. Menurut Buddhisme, kebahagiaan sementara di kehidupan sekarang tidak layak dikejar; akan lebih baik untuk mengejar kebahagiaan di kehidupan mendatang. Jika kita memasang target yang lebih tinggi, maka itu berarti mencari kebahagiaan yang stabil, mencapai pembebasan dari samsara. Tanpa pemahaman ini, kita akan seperti orang yang merencanakan liburan menyenangkan selama seminggu; ia akan merasa dirinya bahagia selama periode seminggu itu, namun akan menderita terus-menerus setelahnya. Jadi, jauh lebih baik untuk mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan dan berlangsung lama ketimbang kebahagiaan sementara yang akan segera digantikan oleh penderitaan jangka panjang.

Mencapai kebahagiaan di kehidupan sekarang bukanlah tujuan yang layak dikejar. Akan lebih berarti untuk memastikan kebahagiaan kita di kehidupan mendatang, dan akan lebih baik lagi untuk mencapai kebahagiaan sejati, yakni berakhirnya penderitaan kita selamanya. Namun, yang terbaik adalah tidak hanya mementingkan kebahagiaan diri sendiri saja tapi juga kebahagiaan semua makhluk. Gagasan ideal ini berarti kita bekerja untuk membuat semua makhluk berbahagia. Menggunakan waktu kita yang tersisa dalam hidup ini untuk berjuang demi kebahagiaan semua makhluk dan menghentikan penderitaan mereka adalah maksud Guru Atisha ketika beliau memberi nasihat agar kita memakai hidup ini untuk sesuatu yang berharga. Menginginkan terhentinya penderitaan semua makhluk dan membawa mereka menuju kebahagiaan adalah niat yang paling unggul dan bermanfaat yang bisa kita miliki. Namun, hanya dengan berharap saja tidaklah cukup untuk membuatnya terwujud. Untuk mewujudkan tujuan ini, kita perlu tenaga yang memadai. Melihat kondisi kita sekarang ini, kita tidak akan bisa mewujudkan tujuan itu. Kita harus melangkah lebih jauh daripada hanya memiliki pikiran mulia atau bajik saja. Kita harus melakukan sesuatu untuk mewujudkan cita-cita kita. Kondisinya sama seperti kalau kita haus. Ketika kerongkongan kita kering, hanya berharap haus kita berakhir takkan meredakan dahaga. Bangun dan mengambil minuman adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah dahaga kita.

Untuk mencapai tujuan kita, perlu usaha yang aktif untuk mengubah diri kita. Diri kita yang sekarang ini tidak punya kualitas kebajikan yang memadai. Apa yang kita miliki sekarang sangat terbatas, dan kita perlu meningkatkannya. Namun saat ini, ada aneka penghalang di dalam diri kita yang merintangi meningkatnya kualitas kebajikan kita, sehingga kita harus berupaya melenyapkan mereka. Dengan kondisi kita saat ini, halangan atau masalah yang datang menerjang sangat mudah membuat kita hanyut dan kewalahan. Kita belum memiliki kemampuan yang memadai untuk mengatasi halangan tersebut. Misalnya, ketika sesuatu atau seseorang menjengkelkan kita atau membuat kita marah, kita tidak dapat mengendalikan kejengkelan atau amarah itu, namun malah terhanyut oleh perasaan negatif. Dengan cara yang sama, ketika kita berurusan dengan sesuatu yang menyenangkan atau objek yang kita sukai, kita menjadi melekat dan terhanyut oleh keinginan untuk memiliki objek tersebut. Semua penghalang ini jelas membatasi potensi kita untuk memunculkan kualitas bajik.

Saat ini, diri kita lemah dan tidak memiliki tenaga untuk menahan gangguan eksternal. Ketika bertemu situasi yang di luar kemampuan kita, kita hanya bisa bereaksi secara spontan terhadap situasi tersebut. Seperti anak kecil yang baru belajar berjalan dan mudah terantuk, kita juga kehilangan keseimbangan dengan begitu mudahnya. Kita mudah terganggu. Ketika mengalami kejadian yang menyenangkan, kita dipenuhi oleh kegembiraan. Namun, ketika mengalami kejadian yang buruk, kita berubah menjadi sedih dan depresi. Kehidupan kita seperti roller coaster yang terus naik-turun, dan ketidakstabilan macam ini jelas adalah penghalang bagi diri kita.  Kalau kita terus-menerus seperti ini, kita akan terus bergantung pada kondisi-kondisi eksternal untuk menentukan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan kita. Kita tidak memiliki kuasa atas diri sendiri. Alih-alih menjadi tuan, kita adalah budak dari kondisi-kondisi eksternal.

Untuk bisa menikmati hidup yang damai dan kebahagiaan yang stabil, kita harus membalikkan situasi ini; alih-alih menjadi budak dari kondisi-kondisi eksternal, kita harus menjadi tuan dengan belajar mengendalikan reaksi kita. Dengan setahap demi setahap mengurangi karakter negatif kita dan mengembangkan karakter positif kita, secara perlahan kita akan menjadi tuan dan memiliki kuasa atas situasi apa pun yang mungkin terjadi. Jika kita terus berlatih dalam cara ini, pada akhirnya kita akan menjadi Buddha. Dengan menjadi Buddha, artinya kita telah memenuhi tujuan pribadi dan mencapai kemampuan penuh untuk menolong semua makhluk dalam setiap momen kehidupan kita. Mencapai Kebuddhaan sangat berharga bagi diri kita maupun makhluk lain. Namun, tidak semua orang punya cita-cita menjadi Buddha, karena memang kita semua berbeda. Jika mencapai Kebuddhaan bukanlah tujuan kita, paling tidak kita harus berjuang mencapai nirwana atau pembebasan pribadi dari samsara. Apa pun tujuannya, kita harus belajar, merenung dan bermeditasi untuk mencapainya.

Langkah awal untuk mencapai kedua tujuan ini adalah dengan mendengar dan belajar Dharma, dan sangat penting untuk melakukannya dengan alasan yang tepat. Jika kita mengikuti cita-cita Mahayana, maka tujuan kita adalah membebaskan semua makhluk dari penderitaan dan menuntun mereka ke kebahagiaan sejati. Untuk mencapai tujuan ini, kita berusaha mencapai Kebuddhaan. Demi tujuan mencapai Kebuddhaan ini, kita mendengarkan dan mempelajari Dharma. Jika kita bukan Buddhis, maka motivasi yang bisa kita bangkitkan adalah keinginan untuk mementingkan makhluk lain alih-alih diri sendiri saja. Seseorang yang bertujuan menolong sebanyak mungkin makhluk lain akan mencapai kebahagiaan dan mampu mengatasi masalah pribadinya. Apa pun tujuan yang ingin kita capai, satu hal yang tak boleh kita lakukan adalah mendengar ajaran sekadar untuk mendapatkan pengetahuan baru, karena hampir tidak ada manfaat dari sikap yang demikian. Kita harus menganggap Dharma sebagai cermin yang membuat kita bisa melihat diri sendiri. Kalau setelah bercermin kita menemukan kotoran, maka kita bisa menghapusnya. Dengan logika yang sama, kita harus menggunakan Dharma untuk memeriksa apakah perilaku dan cara berpikir kita sudah benar atau belum.

Saat ini, walaupun kita memiliki kelahiran unggul yang berpotensi besar untuk mencapai tujuan apa pun yang kita targetkan, kita tahu bahwa ia tidak berlangsung selamanya. Apa pun yang memiliki awal pasti akan berakhir. Jadi, kehidupan kita juga akan berakhir dan kita pasti akan meninggal. Fenomena ini bukanlah hukuman karena kita adalah orang jahat. Kematian adalah aspek alamiah dari kehidupan. Kelahiran kita merupakan fenomena ketidakkekalan. Diri kita adalah hasil dari sebab dan kondisi. Karena kita telah lahir dan hidup, maka kita harus mengalami akhir atau kematian.

Buddha mengajarkan bahwa apa pun yang muncul suatu saat akan lenyap. Akumulasi kekayaan akan berakhir dengan pembagiannya, pertemuan akan berakhir dengan perpisahan, kelahiran akan diakhiri dengan kematian, dan seterusnya. Ini bukan hal baru buat kita. Hal yang paling mudah diamati adalah ketenaran seseorang di masyarakat, yang pada suatu saat pasti akan menurun. Kekayaan sendiri tak akan berakhir dengan pengumpulan yang bisa berlangsung selamanya, karena kalau itu terjadi, tidak akan ada ruang yang cukup untuk menampungnya; jadi, semuanya ada batasnya. Di akhir hidup kita, atau bahkan sebelumnya, kita juga tidak bisa selalu bersama teman dan kerabat, dan akhirnya harus berpisah dengan mereka. Inilah kebenarannya: karena kita harus mati, maka apa pun yang kita pernah miliki dalam hidup pasti akan lenyap. Sekali lagi, kita perlu merenungkan kepastian kematian dan membuatnya sejelas mungkin dalam batin kita. Kita juga harus sadar bahwa kematian kita tidak dapat dihindari, dan bahwa kita tak tahu kapan kematian kita terjadi. Kita membuat banyak rencana dalam hidup kita, namun tidak ada jaminan bahwa kita bisa melaksanakan semuanya, karena kita bisa saja meninggal sebelum sempat berbuat apa pun. Apa yang terjadi ketika kita meninggal? Apa yang bisa kita bawa agar berguna kelak di masa depan?

Mungkin ada yang mengira kalau praktik Dharma itu adalah pindah ke India atau Nepal. Ada juga yang mengira kalau praktik Dharma menuntut perubahan drastis dalam gaya hidup kita, misalnya: kita harus memotong semua rambut kita, memakai baju yang berbeda, dan lain-lain. Praktik Dharma tidak seperti itu, karena inti dari praktik adalah meningkatkan kapasitas batin kita dengan mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan kualitas-kualitas bajik kita. Karena kaitannya adalah dengan batin, kita tetap bisa menjadi diri kita sebagaimana adanya. Adalah sikap, motivasi, dan cara berpikir kita yang harus diubah, bukannya penampilan luar kita. Misalnya, kita tetap bekerja karena perlu penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan praktik Dharma sama sekali tidak melarang kita untuk bekerja mencari nafkah. Praktik Dharma juga tidak ada urusan dengan merubah gaya rambut. Kita bisa mengecat rambut kita sesuka hati. Pengecualian terjadi kalau kita sudah ditahbiskan, karena itu berarti kita sudah meninggalkan aktivitas duniawi dan membaktikan diri sepenuhnya pada praktik spiritual. Kita tahu bahwa diri kita sangat sering mengurusi rambut untuk membuatnya tampil bagus. Rambut juga menjadi sumber kekhawatiran, misalnya ketika ia mulai rontok atau beruban. Jadi, kalau seseorang ditahbiskan dan mencukur habis rambutnya, itu artinya semua masalah telah selesai bahkan sebelum terjadi, karena memang tak ada sehelai rambut pun yang harus dikhawatirkan!

Praktik Dharma yang sesungguhnya adalah hal yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu pergi ke tempat ibadah untuk berdoa dan sebagainya. Dalam Buddhisme, praktik spiritual tidak berurusan dengan tempat ibadah, karena urusannya hanya dengan upaya meningkatkan cara berpikir kita, yang tentunya bisa dilakukan di mana saja. Syarat minimum dari cara berpikir adalah sebuah pola pikir yang memprioritaskan jangka panjang. Yang paling minimum adalah memprioritaskan kehidupan mendatang, dan agar tujuan ini bisa tercapai, kita harus menyesuaikan cara berpikir kita dengan ajaran Buddha. Dengan demikian, praktik Dharma artinya meninggalkan kemelekatan kita pada kehidupan saat ini dan segala hal yang hanya menyasar kesenangan duniawi. Jadi, sekali lagi, praktik Dharma tak berarti bahwa kita harus berhenti kerja. Apa yang perlu diubah adalah alasan kenapa kita bekerja.

Mencari nafkah dan mempraktikkan Dharma tidaklah berlawanan. Profesi kita juga bisa menjadi praktik Dharma; semuanya tergantung pada motivasi awal kenapa kita bekerja. Jika tujuan utama kita adalah mencapai kebahagiaan sejati, kita tahu bahwa untuk mencapainya kita perlu makan, pakaian, dan juga tempat tinggal. Semua ini adalah hal-ihwal yang diperlukan untuk menunjang praktik Dharma kita, sehingga jelas sekali bahwa mereka sangat harmonis dengan praktik Dharma. Lain halnya kalau kita mencari nafkah hanya karena kita mau hidup nyaman dalam kehidupan saat ini. Yang demikian tidak bisa dikatakan sebagai praktik Dharma.

Jadi, sekali lagi, apa yang dimaksud dengan praktik Dharma yang tepat? Jika kita melakukan kebajikan seperti berdana, memang hal itu digolongkan sebagai kebajikan, tetapi tidak ada jaminan kalau ia bisa dikategorikan sebagai praktik Dharma, karena praktik Dharma ditentukan oleh motivasi kita. Kita boleh jadi berdana karena mengharapkan ketenaran dan ingin dilihat sebagai dermawan oleh orang lain. Jika motivasi kita ditujukan untuk kebahagiaan dalam kehidupan saat ini saja serta dicemari 8 angin duniawi, maka walaupun tindakannya itu sendiri bajik, ia tak dapat disebut praktik Dharma yang sejati. Berdana baru bisa dinamakan praktik Dharma yang sejati jika dilandasi oleh keinginan untuk menolong makhluk lain dan untuk mencapai tiga tujuan – kelahiran yang tinggi, pembebasan dari samsara, atau Kebuddhaan.

 

Dikutip dari pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia pada 2002.

Transkrip lengkap dapat dibaca dalam buku “Jika Hidupku Tinggal Sehari”.
Buku fisik ini dapat didapatkan di sini. Tersedia juga dalam bentuk ebook di sini.

Baca juga: https://dagporinpoche.id/ajaran/dasar-buddhisme/belajar-dharma/