Meditasi 9 Poin Kematian
Sembilan poin yang berkaitan dengan kematian berkaitan dengan tiga kategori pokok, yang masing-masing terdiri dari tiga alasan pendukung. Apa sajakah 3 kategori pokok tersebut?
- Merenungkan kepastian kematian
- Merenungkan ketidakpastian waktu kematian
- Merenungkan bahwa tiada sesuatu selain Dharma yang berguna ketika kematian tiba
1. Merenungkan bahwa raja kematian pasti muncul dan tidak dapat dihalangi dengan cara apa pun
Pertama, kita harus merenungkan bahwa kita pasti mati karena raja kematian akan muncul pada suatu hari, dan ketika ia datang, tak ada yang bisa mencegahnya. Ketika ajal kita tiba, kita tak bisa mencegah kematian kita. Kita mungkin membayangkan bahwa tubuh fisik yang terawat dan terjaga baik dapat mencegah kematian. Namun, jika kita melihat masa lalu dalam seluruh sejarah dunia, kita bisa melihat bahwa tidak ada satu makhluk pun yang bisa lari dari kematian, terlepas dari betapa luar biasanya dirinya. Tak peduli betapa menakjubkan wujud fisik mereka, tak seorang pun mencapai tubuh yang mampu melawan kematian. Bahkan tubuh fisik Buddha pun merupakan subjek ketidakkekalan, dan karenanya Buddha sendiri juga harus mengalami kematian. Setelah mengajar selama 45 tahun dan mencapai usia 80 tahun, beliau pergi ke Kushinagar untuk memasuki parinirwana. Sebelum mangkat, beliau melepaskan bagian atas jubahnya dan berkata kepada murid-muridnya, “Lihat, inilah untuk terakhir kalinya kalian melihat tubuh Tathagata.” Setelah itu, beliau berbaring menghadap kanan, dalam posisi yang sering tergambar dalam rupang, dan meninggalkan dunia ini.
Jika tidak ada wujud fisik yang bisa melindungi kita dari keharusan untuk mati, mungkin kita berpikir ada tanah di mana kita dapat pergi untuk lari dari kematian. Mungkin ada tempat di dunia di mana kita bisa lari, dan ketika telah sampai, kita tidak lagi harus mati. Namun, tidak demikian faktanya; tidak ada tempat seperti itu. Ke mana pun kita pergi, cepat atau lambat kematian akan menghampiri kita. Jika tempat seperti itu ada, kita semua akan berada dalam kereta, pesawat atau helikopter pertama untuk pergi ke tempat itu secepat mungkin. Sayangnya, tidak ada tempat seperti itu. Jika tidak ada negara yang penduduknya tidak bisa mati, apakah itu berarti kita bisa mengatasi kepastian kematian? Apakah ada obat khusus yang bisa mencegah kematian kita? Atau, jika hal tersebut tidak ada, akankah kekerasan berguna? Apakah mengumpulkan serdadu memungkinkan kita untuk melawan kematian? Sayangnya, semua itu tidak berguna. Atau, bagaimana jika kita menegosiasikan kematian kita? Jika kita mengembangkan keahlian kita sebagai orator ulung, bisakah kita meyakinkan Raja kematian untuk meninggalkan kita? Sangat disayangkan, hal itu juga tidak mungkin.
Bahkan, jika Bhaishajyaguru, Buddha pengobatan yang dikenal sebagai ‘raja para tabib’, datang dan memberi kita obat, hal itu takkan cukup untuk mencegah kematian ketika ajal kita telah tiba. Demikian juga halnya dengan Amitayus, yang merupakan Buddha umur panjang dengan realisasi umur panjang yang tak terkalahkan. Ia mewujudkan semua realisasi umur panjang Buddha. Namun, bahkan jika Amitayus sendiri datang dan menganugerahi kita inisiasi umur panjang, hal itu tidak akan cukup untuk menarik kita keluar dari cengkeraman raja kematian.
Bagaimana dengan cara militer? Bayangkan jika kita memimpin pasukan terbesar di dunia dengan persenjataan tercanggih yang telah dibuat manusia untuk menghancurkan pihak lain, atau bahkan seluruh semesta – bom atom, bom neutron, dan seterusnya. Akankah itu membantu kita melawan kematian? Sayangnya, jawabannya juga tidak. Pada akhirnya, takkan ada yang akan membuat kita menang melawan kematian. Merenungkan hal ini, kita harus menyadari bahwa kematian kita tak terhindarkan. Ini adalah cara penalaran pertama untuk memastikan kepastian kematian kita.
2. Merenungkan bahwa usia kita tidak dapat diperpanjang, dan malah berkurang terus-menerus
Untuk memahami bahwa kita pasti mati, kita harus merenungkan alasan kedua, yaitu usia kita tidak bisa diperpanjang, dan faktanya malah berkurang terus-menerus. Karma yang melempar kita untuk hidup menentukan durasi hidup kita, dan saat kita lahir dengan jatah usia tertentu, kita tidak bisa memperpanjangnya. Jika hal tersebut memungkinkan, maka kita bisa terus menambah usia kita tanpa henti, dan karenanya akan bisa hidup selamanya. Namun, tidaklah demikian faktanya. Bayangkan bahwa kita telah didorong ke dalam hidup ini dengan jatah usia 100 tahun. Kita telah melihat bahwa tidak mungkin bagi kita untuk hidup lebih dari 100 tahun. Di sisi lain, proses mendekati batas usia kita berjalan terus-menerus, mempersingkat usia hidup yang kita miliki tanpa jeda. Sebagai hasilnya, kita pasti akan mati. Ketika kita lahir, dengan kata lain saat kita dikandung dalam rahim ibu kita, sejak itulah momen pertama hidup kita dimulai menuju batas waktu yang kita miliki, yang terus-menerus semakin berkurang. Ketika kita mencapai batas hidup dan tak ada lagi yang tersisa, kita tidak punya pilihan kecuali mati. Hakikat dari keberadaan kita adalah perubahan dari momen ke momen. Perubahan itu terus-menerus terjadi, tidak berhenti, bahkan tanpa jeda. Maka dari itu, sejak momen pertama proses pembuahan dalam rahim ibu kita, parade menuju kematian kita telah dimulai. Karena usia kita tidak bisa diperpanjang, dan malah terus memendek tanpa jeda, kita pasti akan mati.
3. Merenungkan tiadanya waktu untuk berpraktik bahkan saat kita masih hidup
Poin terakhir adalah fakta bahwa kita mati tanpa memiliki kesempatan untuk mempraktikkan Dharma selama hidup. Sebuah bait dari Gomchen Ngaki Wangpo mengatakan, “Ketika engkau sangat tua atau sangat muda, engkau tidak berpikir untuk mempraktikkan Dharma. Dan di sela-selanya, engkau makan, minum, tidur, jatuh sakit, dan sebagainya. Jadi, meskipun engkau hidup seratus tahun, hampir tidak mungkin menemukan waktu bagi praktik Dharma.”
Kutipan tersebut benar adanya. Ketika kita sudah sangat tua, kita menjadi sulit bicara dan gerak fisik kita menjadi terbatas. Kita kehilangan kejernihan batin dan ingatan, sehingga kita kesulitan mengenal orang-orang dan sebagainya. Dengan kondisi ini, sangat sulit untuk mempraktikkan Dharma. Di sisi lain, saat kita masih kecil, kita tidak memikirkan praktik Dharma karena kita begitu bersemangat untuk bermain dan sebagainya. Dan di tengah-tengah periode antara usia tua dan masa kecil, kita praktis menghabiskan setengah waktu kita untuk tidur. Kemudian, banyak waktu yang dihabiskan untuk belanja, menyiapkan makanan dan memakannya, mencuci, dan lain-lain. Kita juga menghabiskan banyak waktu hanya untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Banyak waktu yang habis untuk berbicara, khususnya sekarang saat semua orang memiliki telepon genggam. Kemudian, ada waktu yang hilang karena jatuh sakit, berobat, dan beristirahat. Ketika kita berada dalam kondisi demikian, meskipun kita hidup selama seratus tahun, kita hanya menemukan sangat sedikit waktu bagi praktik spiritual. Jika kita membayangkan bagaimana kita menghabiskan waktu kita selama sehari, kita tahu pasti berapa banyak waktu yang kita miliki untuk mempraktikkan Dharma. Dengan cara inilah kita memahami bahwa kita pasti mati tanpa memiliki waktu untuk mempraktikkan Dharma.
Inilah tiga cara penalaran (alasan pendukung) untuk memahami bahwa kematian kita tak terelakkan. Dengan merenungkannya lagi dan lagi, kita akan semakin yakin bahwa kematian kita memang pasti. Hanya dengan perenungan yang teratur pada topik inilah kita bisa lebih sadar bahwa kematian kita tak terelakkan. Jika kita berlatih selama beberapa saat dan kemudian berhenti hanya karena kita mulai lebih memahami topik ini, kita akan mengalami kesulitan besar untuk menjaga level kesadaran yang telah kita capai. Untuk mengembalikan level kesadaran awal kita, kita harus memulainya lagi dari awal. Oleh karenanya, hal terbaik adalah tetap mantap dan konsisten dalam perenungan kita. Dengan ketekunan dan disiplin dalam meditasi kita, pemahaman kita akan meningkat dengan mantap hingga menjadi realisasi kepastian kematian yang sejati.
Kategori pokok kedua adalah ketidakpastian waktu kematian, atau dengan kata lain, kita tidak tahu kapan kita akan mati. Poin ihwal kepastian kematian relatif lebih mudah dimengerti dan direalisasikan dibandingkan poin kedua ini. Jauh di dalam diri kita, kita tahu bahwa kita pasti mati. Kita hanya perlu membawa poin itu ke dalam pikiran kita dan kemudian memperkuatnya. Di sisi lain, poin ihwal waktu kematian kita yang tidak pasti relatif lebih sulit dipahami. Jadi, setelah memahami kepastian kematian kita dengan jelas, yang perlu kita lakukan adalah merenungkan ketidakpastian waktu kematian dengan mengandalkan 3 alasan pendukung:
4. Masa hidup seseorang di Jambudwipa secara umum dan khusus tidaklah pasti karena zaman ini adalah zaman kemerosotan
Alasan pertama adalah bahwa masa kehidupan manusia secara umum bervariasi. Sebagai manusia, kita tidak tahu apakah kita akan hidup selama dua atau seratus tahun. Kalau saja kita tahu bahwa kita akan hidup sampai usia seratus tahun, maka kita bisa mengatur dan menetapkan agenda tertentu. Kita bisa membagi separuh awal hidup kita untuk aktivitas duniawi dan separuh akhirnya untuk praktik spiritual. Namun faktanya, hal ini mustahil dilakukan karena kita tidak tahu berapa lama kita akan hidup. Lebih jauh, tidak masuk akal jika berpikir bahwa kita memiliki banyak waktu untuk hidup karena kita masih muda. Tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang lebih tua akan mati sebelum kita. Tidak jarang seorang anak mati sebelum orang tuanya, atau bahkan kakek-neneknya. Pada akhirnya, tidak ada waktu tertentu bagi kematian kita. Kita tidak tahu kapan kita akan mati. Ia bisa terjadi kapan pun. Ketika kita tidur, kita tidak tahu apakah hari esok atau kematian yang lebih dulu menghampiri kita!
Sejumlah orang berkumpul di ruangan ini dan pada akhirnya akan bubar. Namun, jika kita diminta berjanji untuk keluar dari ruangan ini hidup-hdup, sejujurnya kita tidak bisa menjanjikannya. Kita tak pernah tahu, karena kita bisa saja mati di ruangan ini, di waktu antara sesi-sesi pengajaran. Kita secara otomatis berasumsi bahwa setelah memasuki ruangan ini, kita akan keluar lagi. Namun sesungguhnya, tidak ada yang bisa membenarkan asumsi ini. Memiliki kesehatan yang baik, misalnya, tidak menjamin bahwa kita akan hidup lama, karena banyak orang sehat mati muda sementara teman mereka yang tua masih hidup meskipun sakit kronis. Lebih jauh, ada sejumlah orang yang memulai proyek, misalnya memulai sebuah bisnis dan menulis sebuah buku, dengan penuh tekad untuk menyelesaikannya, namun gagal melakukannya karena mereka mati di tengah pekerjaan. Mungkin kita telah melihat hal ini terjadi pada seseorang yang kita kenal. Jika hal demikian terjadi pada orang lain, mengapa ia tidak akan terjadi pada kita? Tak ada sedikit pun alasan kenapa ia tidak akan terjadi pada kita. Untuk alasan inilah Dagpo Lama Rinpoche yang terdahulu menasihati kita untuk berdoa dengan cara berikut, “Jika saya berhasil hidup untuk beberapa bulan ke depan, semoga saya dapat mempersiapkan kehidupan mendatang saya dengan baik. Jika saya berhasil hidup untuk satu atau dua tahun berikutnya, semoga saya dapat mencapai tujuan agung dan tertinggi dari kehidupan saya.”
5. Faktor penyebab kematian sangat banyak, sedangkan faktor penopang kehidupan sangat sedikit
Alasan kedua adalah bahwa faktor penyebab kematian kita lebih banyak ketimbang faktor penopang kehidupan kita. Meskipun masa hidup kita tidak pasti, namun jika faktor yang menopang kehidupan lebih banyak dibandingkan faktor yang mempersingkatnya, maka masa hidup kita barangkali menjadi lebih pasti. Namun, tidak demikian adanya. Kematian tidak selalu disebabkan oleh kekerasan atau hal yang luar biasa. Faktanya, hal-hal paling remeh sekali pun dapat menyebabkan kematian kita. Di permukaan, kelihatannya kondisi-kondisi yang menopang kehidupan semakin meningkat dalam masyarakat modern; sains dan teknologi telah mengalami kemajuan yang begitu luar biasa. Di sisi lain, ketika kita melihat situasinya dengan lebih seksama, akan terlihat bahwa kemajuan ini belum tentu berkontribusi untuk memperpanjang usia kita.
Contoh paling nyata adalah penemuan kendaraan bermotor. Berapa ribu orang kehilangan nyawa karena kecelakaan mobil setiap tahunnya? Sebelum ada mobil, tidak ada orang yang meninggal karena kecelakaan mobil. Jumlah mobil bertambah setiap tahun, yang berarti kemungkinan untuk meninggal karena kecelakaan mobil juga meningkat seiring bertambahnya jumlah mobil. Kalau kita menghitung jumlah orang yang meninggal karena kecelakaan mobil setiap tahun, hal itu lebih buruk daripada peperangan. Ketika terjadi perang besar, banyak orang meninggal dengan berbagai macam cara, tapi faktanya, lebih banyak yang meninggal karena kecelakaan mobil!
Kemudian, tidak hanya sebab-sebab kematian yang lebih banyak jumlahnya daripada faktor-faktor penunjang hidup. Ternyata, banyak faktor yang seharusnya menunjang kehidupan bisa berubah menjadi penyebab kematian. Makanan adalah contoh utama kasus ini. Makanan bertujuan untuk memperpanjang hidup kita, namun kalau kita makan makanan basi atau makanan yang tidak tepat, makanan itu malah akan mempercepat kematian kita. Contoh berikutnya adalah obat. Tujuan utama obat adalah menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit yang kita derita. Namun, ada banyak kasus di mana orang-orang menyalahgunakan obat, atau akhirnya meninggal karena perawatan medis yang keliru. Ini juga mempercepat kematian kita. Jadi, sekali lagi, faktor-faktor penunjang kehidupan bisa menjadi penyebab kematian kita.
6. Tubuh kita sangat rapuh
Jika kita memiliki tubuh jasmani yang sangat kuat dan sehat, tentu itu dapat mengimbangi fakta bahwa sebab-sebab kematian lebih banyak ketimbang faktor-faktor penunjang kehidupan. Tetapi, bukan seperti itu kenyataannya, karena sebenarnya tubuh kita sangat rapuh. Jika kita benar-benar merenung untuk mengamati dengan seksama kondisi alamiah dari tubuh manusia kita, kita akan melihat bahwa tubuh kita sebenarnya sangat mirip dengan mesin berikut bagian-bagiannya yang detail dan rumit, jauh lebih rumit daripada hasil kerajinan tangan. Tubuh kita terbentuk dari berbagai macam elemen yang memastikan fungsinya dengan baik. Jika organ-organ tubuh berjalan normal, tubuh kita berfungsi dengan baik dan semuanya pun berjalan lancar. Namun, karena tubuh kita begitu rumit, sedikit saja bagian yang rusak atau cacat sudah cukup untuk membuat kita tak berdaya atau gagal berfungsi, yang pada akhirnya menjadi penyebab kematian kita. Jadi, tubuh kita sangat rapuh karena kerumitan dari fungsi-fungsi internalnya. Kemampuan tubuh untuk menanggulangi gangguan eksternal, bahkan yang sepele sekali pun, juga sangat lemah. Gangguan ringan seperti digigit serangga atau terkena sinar matahari bisa menjadi sebab awal dari proses kematian kita. Karena tubuh kita sangat rumit, rapuh dan sensitif, maka waktu kematian kita pun menjadi tidak pasti.
Jika kita memakai kekuatan pikiran untuk menganalisis dan menggunakan alasan-alasan sebagaimana adanya, secara objektif kita harus mengakui bahwa tidak ada kepastian kalau kita tak akan meninggal hari ini juga. Tidak ada jaminan bahwa hidup kita tidak berakhir hari ini. Karena alasan ini, saat kita bangun di pagi hari, kita dianjurkan untuk memikirkan kemungkinan bahwa kita akan meninggal sebelum hari ini berakhir. Jika kita mampu meyakinkan diri sendiri bahwa kita bisa meninggal sebelum hari ini berakhir, sikap ini akan menjadi penawar yang sangat kuat bagi perilaku negatif kita. Dengan kesadaran kalau hari ini kita bisa meninggal, otomatis kita akan berhenti melakukan aktivitas yang tidak bajik, berhubung kita akan sadar bahwa ada begitu banyak hal yang sebenarnya sepele dan tak patut menjadi beban pikiran kita. Sebagai contoh, kita akan berhenti menjadi kesal hanya karena hal sepele. Saat ini, ketika kita tidak suka cara seseorang berperilaku, kita langsung menjadi kesal atau kecewa. Dan hasilnya, kita menjadi marah, berkata buruk, dan sebagainya. Jika kita sadar kalau kita akan meninggal malam ini, misalnya, maka segala sesuatu yang kita anggap penting akan menjadi tidak berarti. Kesadaran ini akan menjadi penahan diri dari perbuatan salah, yang berakar dari terlalu fokus dan melekatnya kita terhadap kehidupan saat ini.
Dengan menjaga kesadaran ini di dalam batin, dengan terus-menerus mengingat bahwa kita bisa meninggal kapan saja, maka semua masalah yang kita hadapi di dalam hidup kita, baik itu pekerjaan, hubungan dan sebagainya, akan berkurang pengaruhnya terhadap kita. Kesadaran tentang kematian membuat segala sesuatu bisa dilihat dengan cara pandang yang benar-benar berbeda. Kita berpikir, “Aku bisa mati kapan saja, dan aku tidak mau membawa masalah-masalah sekarang ke kehidupan mendatang karena aku tidak tahu apakah mereka benar-benar berharga untuk dipikirkan.” Hasilnya, kita tidak akan mudah terguncang oleh berbagai bentuk kesengsaraan. Dagpo Lama Rinpoche berkata, “Jauh lebih berharga untuk memiliki gagasan bahwa kita bisa meninggal hari ini dibandingkan tidak memilikinya, karena kalau ternyata kita benar-benar meninggal hari ini, kita sudah melakukan sesuatu untuk mempersiapkan kematian kita.”
Reaksi alamiah kita ketika sudah memiliki kesadaran dan pemikiran ini di dalam batin kita adalah: kita bisa lebih melepaskan ketergantungan terhadap segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan saat ini dan memfokuskan diri untuk mempersiapkan kehidupan mendatang. Dengan cara ini, kita menjadi siap ketika kematian datang menjemput. Dan jika kita beruntung masih bisa hidup hingga penghujung hari, maka itu tidak jadi masalah, karena kita tidak membuang waktu begitu saja, melainkan telah memakainya dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, jika kita bersikeras bahwa kita tidak akan meninggal hari ini, maka secara alamiah perhatian kita akan dipenuhi oleh hal-ihwal duniawi. Sikap yang hanya mementingkan kehidupan saat ini saja akan mendorong kita untuk bertindak buruk dan pastinya mencegah kita melakukan persiapan untuk kehidupan mendatang. Jika memang kita meninggal hari ini, kita benar-benar tidak siap dan akhirnya akan meninggal dengan perasaan penuh penyesalan, karena kita tahu bahwa kita telah menyia-nyiakan hidup kita, dan karenanya merasa takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
Apa yang dapat berguna bagi kita ketika kita meninggalkan kehidupan ini untuk menuju kehidupan mendatang? Sangat jelas bahwa yang berguna bagi kita adalah sesuatu yang bisa kita bawa bersama kita ke mana pun kita pergi. Selain itu, tidak ada lagi yang berguna. Ada 3 alasan pendukung untuk poin ini:
7. Kekayaan tak dapat menolong
Apa gunanya kekayaan, uang, dan benda-benda yang kita miliki ketika kita meninggal? Seseorang yang ada di daftar orang terkaya di dunia sekali pun tidak bisa membawa satu dolar bersama dirinya ketika ia meninggal. Pada akhirnya, ketika kematian tiba, kekayaan dan benda-benda tidak dapat menolong kita sama sekali.
8. Keluarga dan teman-teman tak dapat menolong
Apakah keluarga dan teman-teman kita berguna ketika kita meninggal? Mereka tidak dapat mengikuti kita, tidak peduli betapa sayangnya mereka kepada kita. Tidak ada seorang pun yang bisa kita andalkan ketika kita meninggal; kita tidak bisa membawa satu orang pun bersama kita. Guru-guru besar tidak bisa membawa murid-murid mereka ketika mereka meninggal, dan sebaliknya, murid-murid juga tidak bisa membawa guru spiritual mereka ketika mereka meninggal.
9. Tubuh kita tak dapat menolong
Bagaimana dengan tubuh kita – sahabat paling lama, sahabat yang paling setia menemani kita sejak momen terawal keberadaan kita di rahim ibu? Tubuh kita yang bersama kita sejak awal kehidupan ini juga tidak bisa dibawa ketika kita meninggal, dan karenanya ia tidak berguna bagi kita.
Tubuh kita ini sebenarnya sangat berharga dan benar-benar berguna. Karena tubuh ini, kita dapat hidup dan mampu melakukan aktivitas-aktivitas untuk mencapai kebahagiaan yang stabil. Tapi, tubuh kita memiliki batas waktu. Ketika kita meninggalkan hidup ini, kita harus meninggalkan tubuh kita, dan tubuh kita menjadi tidak berguna sama sekali. Bodhisatwa agung Shantidewa membandingkan tubuh kita seperti kapal kokoh yang mampu membawa kita menyeberangi lautan penderitaan samsara untuk mencapai tujuan tertinggi. Kalau selama hidup kita gagal menarik kesempatan dari kapal kokoh ini, maka di ranjang kematian ia menjadi tidak berguna, karena kita sudah terlambat menggunakannya. Faktanya adalah: kita tidak bisa membawa tubuh kita ke kehidupan berikutnya.
Jika di hari kematian kita semua kekayaan, keluarga dan teman-teman, dan bahkan tubuh kita menjadi tidak berguna, lantas apa sebenarnya yang kita butuhkan? Apa hal berguna yang bisa kita bawa ke kehidupan berikutnya? Gomchen Ngaki Wangpo berkata, “Singkatnya, engkau akan meninggalkan semua benda berharga yang ada di kehidupan sekarang, dan mereka juga akan berpisah darimu dan menjadi tidak berguna. Maka dari itu, jangan terikat pada tubuh, orang yang engkau sayangi, ataupun harta benda. Mulailah mempraktikkan Dharma!”
Kita harus melepaskan semua hal saat kita meninggal, baik itu tubuh, kekayaan, keluarga, dan teman-teman kita. Saat kematian tiba, mereka mengkhianati kita karena mereka menjadi tidak berguna. Maka dari itu, kita dianjurkan untuk tidak terperangkap oleh tubuh, kekayaan dan hal lainnya, dan sebaliknya, harus membulatkan tekad untuk mempraktikkan Dharma. Tubuh, kekayaan, dan lain-lain bisa sangat menyesatkan, sehingga kita harus memiliki tekad kuat untuk mempraktikkan Dharma.
Jika kita meninggalkan tubuh, kekayaan, atau keluarga, apa yang akan kita bawa bersama kita? Hanya ada 2 hal yang akan kita bawa bersama kita: karma baik/putih dan karma buruk/hitam. Karma hitam tidak hanya tak berguna bagi kita, tapi juga sangat berbahaya. Yang berguna bagi kita ketika meninggal adalah karma putih kita, sehingga kita harus membuat upaya khusus untuk mengumpulkan banyak tabungan karma putih. Inilah kesimpulan yang harus kita hasilkan dari perenungan ketiga kita: bahwa hanya Dharma yang berguna ketika kematian tiba.
Gomchen Ngaki Wangpo lanjut mengatakan: “Untuk alasan inilah, hanya Dharma yang berguna saat kematian tiba. Jangan menganggap instruksi ini tidak penting dan mencari jalan yang lebih unggul. Atau, jika engkau merasa tidak bisa memeditasikan topik ini dengan sukses dan akhirnya berkecil hati, buatlah permohonan kepada guru dan kumpulkanlah daya upayamu.”
Beberapa orang menghindari perenungan kematian karena mereka beranggapan itu hanya ajaran untuk pemula dan kurang berharga, tidak layak untuk dijadikan praktik mereka. Sebagai contoh, mereka memilih untuk memeditasikan kesunyataan daripada kematian. Sangat jelas mereka gagal memahami bahwa meditasi kematian merupakan landasan yang akan membangun kualitas-kualitas Sang Jalan yang berikutnya. Bahkan faktanya, meditasi kematian saja sudah memungkinkan kita untuk mencapai tahapan yang dibutuhkan untuk memeditasikan kesunyataan dengan lebih efektif. Dan topik ini tidaklah begitu sulit dipahami, karena kematian adalah sesuatu yang bisa kita amati langsung dan sangat jelas terjadi di depan mata kita. Jadi, kita harus berani dan terus berupaya. Terlebih lagi, dengan permohonan doa kepada guru dan Buddha, kita pasti akan merealisasikan kematian.
Kita telah membahas 9 poin dalam meditasi kematian, yang terbagi menjadi 3 kategori pokok yang masing-masing memiliki 3 alasan pendukung. Jika kita ingin mempraktikkan Dharma dan menjadi praktisi yang berkualitas, sangatlah penting untuk berupaya merenungkan kematian, karena hanya itu satu-satunya cara mengatasi kemelekatan terhadap hidup ini. Praktik yang hanya ditujukan untuk kepentingan saat ini saja tidak dapat disebut praktik Dharma yang murni. Praktik Dharma dimulai ketika kita peduli terhadap kesejahteraan di kehidupan mendatang. Akar dari praktik Dharma adalah kesadaran akan kematian. Dan kematianlah yang memacu kita untuk mempraktikkan Dharma. Ketika kita sudah merealisasikan kematian, kita tidak perlu lagi mencari pencapaian spiritual lainnya, karena mereka akan muncul dengan sendirinya.
Kita harus berusaha belajar sebanyak mungkin tentang topik kematian ini, mengulanginya terus-menerus sampai benar-benar mahir. Ketika pemahaman telah diraih, kita harus merenungkannya berulang kali agar batin kita menjadi terbiasa dengannya. Kalau kita hanya belajar dan menjadi mahir dalam pembelajaran tapi tidak menerapkannya, hal itu sama seperti membeli sebotol obat yang bisa menyembuhkan kita dari penyakit namun tidak pernah meminumnya. Inilah tujuan meditasi, yakni untuk membiasakan batin kita dengan sebuah gagasan atau kesimpulan, hingga akhirnya ia menyatu dengan diri kita. Kita perlu benar-benar memikirkan apa yang sebenarnya berguna ketika kita mati. Begitu kita benar-benar memahami apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan, kita akan bisa memfokuskan energi kita untuk mempraktikkan Dharma dengan baik dan benar.
Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia pada 2002
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Jika Hidupku Tinggal Sehari”