Kerugian Tidak Mengingat Kematian
Topik kematian benar-benar berkaitan dengan kita karena alasan sederhana bahwa kita pasti mati. Jika kita adalah entitas yang kekal, maka takkan ada gunanya merenungkan kematian. Namun, karena kita pasti mati suatu hari nanti, kita harus memikirkannya sekarang juga. Lebih jauh, jika kita takkan mati, maka tidak ada alasan kuat bagi kita untuk terlibat dalam praktik Dharma, karena inti dari praktik Dharma adalah mempersiapkan kehidupan mendatang kita. Jika kita mampu bertahan sebagai entitas yang sama, kenapa kita harus peduli untuk mempraktikkan Dharma?
Kerugian 1: Kegagalan Mengingat Dharma
Jadi, kerugian pertama adalah: kegagalan dalam mengingat Dharma, karena kita akan menghabiskan semua waktu dan energi kita untuk mengejar tujuan-tujuan duniawi dalam kehidupan saat ini saja. Padahal, kita menyadari bahwa segala sesuatu yang ditujukan demi kebahagiaan dalam kehidupan saat ini tidak dapat digolongkan sebagai praktik Dharma. Syarat minimum untuk menyatakan sebuah aktivitas sebagai praktik Dharma adalah jika aktivitas tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan mendatang. Lamrim sendiri menyatakan bahwa makhluk dengan kapasitas terkecil sekali pun haruslah mereka yang sudah memikirkan kebahagiaan pada kehidupan mendatang. Dengan kata lain, mereka mempraktikkan ajaran untuk memperoleh kelahiran kembali yang baik dengan kebebasan dan keberuntungan yang sama seperti yang mereka miliki saat ini. Motivasi ini adalah motivasi paling minimal yang harus dimiliki agar praktik mereka dapat disebut praktik Dharma. Dengan demikian, syarat minimum agar sebuah aktivitas disebut praktik Dharma adalah jika prioritasnya diarahkan pada pencapaian kebahagiaan di kehidupan mendatang. Hal ini didukung oleh logika: jika kita tidak mengingat kematian, kita tidak akan melakukan apa pun untuk mempersiapkannya, dan karenanya tidak akan terlibat dalam praktik Dharma apa pun.
Kerugian 2: Kegagalan Mempraktikkan Dharma
Kerugian kedua adalah: meskipun kita terpikir untuk mempraktikkan Dharma, kita selalu menundanya, begitu terjebak dalam hal-ihwal duniawi, dan akhirnya tidak pernah benar-benar punya waktu untuk mempraktikkan Dharma.
Kerugian 3: Mempraktikkan Dharma dengan Cara Tidak Tepat
Kerugian ketiga adalah: meskipun kita dapat mengatur waktu untuk mempraktikkan Dharma, kita akan melakukannya dengan cara yang tidak tepat. Artinya, kita tidak benar-benar membaktikan praktik kita untuk pencapaian kebahagiaan di kehidupan mendatang, atau kita akan mempraktikkan kebajikan namun dengan tujuan yang tidak murni. Kita menginginkan hasil-hasil yang konkret, seperti umur panjang atau tiadanya penyakit. Atau, kita mungkin mengejar reputasi baik, kekuasaan dan pengaruh atas orang lain, dan aneka tujuan duniawi lainnya. Motivasi yang tidak murni dalam praktik kita, yang sering kali muncul tanpa disadari, berasal dari kegagalan kita dalam mengingat kematian. Motivasi-motivasi ini berfokus pada kehidupan saat ini saja, dan karenanya mencemari serta merusak praktik Dharma kita. Renungkanlah bahwa kekuasaan atas orang lain bermakna bahwa kita lebih memikirkan kehidupan saat ini daripada kehidupan mendatang. Tujuan seperti itu tidak memberikan manfaat bagi kehidupan mendatang, karena belum tentu kita akan bertemu lagi dengan orang-orang yang saat ini kita kuasai pada kehidupan berikutnya. Bahkan meskipun kita adalah raja dunia, kita akan dan harus meninggalkan semuanya ketika kematian tiba.
Kerugian 4: Praktik Dharma Kurang Gigih
Kerugian keempat adalah: kita menjadi kurang gigih atau tekun dalam praktik kita. Inilah yang paling umum terjadi dalam hidup kita. Artinya, kita mempraktikkan Dharma lebih karena merasa itu adalah sebuah kewajiban, alih-alih sesuatu yang dijalani dengan antusias. Atau, kita bisa saja memulai praktik dengan membangkitkan motivasi bajik, tapi kemudian segera kehilangan motivasi awal kita selama praktik berlangsung. Perhatian kita mulai teralihkan. Bukannya memeditasikan topik yang dipilih, kita malah memikirkan apa yang akan kita lakukan ketika kita telah menyelesaikan meditasi kita. Atau, kita mulai memikirkan teman-teman atau kerabat-kerabat dan penasaran ihwal apa yang sedang mereka lakukan dan seterusnya. Semua ini terjadi karena kita gagal mengingat bahwa kita akan mati. Jika kita terus-menerus menyadari ketidakkekalan kita, kita tidak akan punya waktu untuk semua pemikiran ini. Namun sayangnya, yang lebih sering terjadi adalah: ketika kita telah melafalkan mantra sebanyak sepuluh kali dan akan memasuki hitungan kesebelas, batin kita sudah berkeliaran di tempat lain, dan sebelum kita mengetahuinya, kita telah melafalkan seluruh mantra dengan batin yang sepenuhnya teralihkan sepanjang waktu. Akibatnya, meskipun kita memiliki banyak energi dan antusiasme ketika memulai praktik, atau malah mampu mempertahankannya dengan baik untuk beberapa hari, minggu atau mungkin bulan, pada akhirnya kita kehilangan energi dan mulai mengurangi intensitasnya. Praktik kita terus berkurang hingga merosot sepenuhnya.
Kerugian 5: Mengembangkan Perilaku Buruk
Kerugian kelima adalah: kita akhirnya mengalami kejatuhan karena mengembangkan perilaku buruk. Dengan tidak mengingat kematian, kita jauh lebih mudah terjebak dalam perilaku buruk. Kita bahkan bisa terbawa untuk membunuh, mencuri, atau membahayakan makhluk lain. Akibatnya, kita bisa bermasalah dengan hukum, menjadi terdakwa, dan mungkin berakhir di balik jeruji penjara. Dengan cara ini, hidup kita bisa hancur seutuhnya.
Kerugian 6: Mati dengan Penuh Penyesalan
Kerugian keenam adalah: kita akan menghadapi kematian dengan penuh penyesalan. Jika kita tidak mengingat bahwa kita akan mati, kita takkan mempraktikkan Dharma atau takkan mempraktikkannya dengan benar. Artinya, saat berada di atas ranjang kematian dan mengetahui bahwa hidup kita akan berakhir, kita sadar bahwa kita telah menyia-nyiakan hidup kita, bahwa kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita tidak mempersiapkan kehidupan mendatang dengan cara apa pun. Dengan kondisi ini, bagaimana bisa kita tidak merasakan penyesalan yang mendalam?
Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia pada 2002
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Jika Hidupku Tinggal Sehari”