Dasar Buddhisme

Karma & Kebahagiaan


Guru Atisha mengatakan “Hidup ini singkat, namun hal yang mesti dipelajari sungguh amat banyak. Kita tak tahu berapa lama waktu yang tersisa. Seperti angsa yang memisahkan susu dari air, capailah tujuan-tujuan terpenting semata.”

Jadi, memang betul bahwa hidup ini singkat. Di antara kita, ada yang berada pada tahapan awal hidupnya, ada yang sudah masuk ke pertengahan, dan ada juga yang sudah di periode akhir. Di tahap mana pun kita berada saat ini, secara umum hidup ini singkat. Di sisi lain, hal-hal yang harus dipelajari dan dikerjakan tidak pernah berakhir. Belum selesai kita belajar satu hal, sudah muncul hal lain. Belum beres kita mengerjakan satu hal, sudah datang pekerjaan lainnya. Jadi, sungguh tak ada batasan terkait apa yang mesti dipelajari dan dilakukan. Tidak mungkin kita bisa melakukan segala hal.

Kita juga tidak tahu seberapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup ini. Jadi, tentu saja kita tidak bisa mengejar segala rencana dan tujuan, karena rencana dan tujuan tidak akan pernah habis. Seperti seekor angsa yang hanya memusatkan perhatiannya pada apa yang bermanfaat dan penting, kita juga harus memusatkan perhatian untuk mencapai tujuan-tujuan terpenting — yang mencakup tidak hanya kehidupan saat ini tapi juga kehidupan-kehidupan mendatang.

Kata yang digunakan dalam bahasa Tibet untuk “tujuan” secara harfiah merujuk pada kegiatan atau aktivitas. Ketika dikatakan bahwa kita harus mencapai tujuan terpenting, Guru Atisha tidak merujuk pada tujuan sementara, melainkan tujuan tertinggi. Artinya, kita tidak hanya mengejar tujuan-tujuan pada kehidupan saat ini saja, tapi juga tujuan-tujuan yang jangkauannya lebih luas dan jauh, yaitu kebahagiaan sejati dan terhentinya penderitaan, bukan sekadar kebahagiaan sementara.

Guru Atisha mendorong kita untuk mencapai kebahagiaan stabil yang definitif, bukan kebahagiaan sementara yang hanya mengatasi penderitaan sementara. Beliau mendorong kita untuk mengatasi penderitaan secara pasti atau definitif. Ini adalah karakteristik khusus dalam ajaran Buddhisme. Ciri khas ajaran Buddhis adalah mengutamakan faktor batin, yaitu mengembangkan batin, meningkatkan kualitas-kualitas positif, dan membuang sikap-sikap negatif; inilah cara untuk mencapai kebahagiaan dan mengatasi penderitaan.

Cara pandang dan pikir seperti ini adalah ciri khas Buddhisme. Wasubandhu mengatakan, “Dari karma, muncullah banyak dunia berikut makhluknya.” Chandrakirti mengatakan, “Dari batin kita, muncullah dunia ini berikut dunia-dunia lainnya. Ada dunia yang kondisinya baik dan ada yang buruk. Di dalam semua kondisi ini, banyak makhluk yang mendapatkan pengalaman berbeda-beda.” Kesimpulannya, keseluruhan dunia kita berasal dari karma yang diciptakan oleh semua makhluk. Ketika dikatakan bahwa seluruh dunia berasal dari karma, ini merujuk pada batin, yaitu karma sebagai faktor mental “niat.”

Ketika membahas karma, seringkali orang-orang beranggapan bahwa karma adalah sebuah fenomena yang berlaku secara umum untuk banyak orang. Tapi, sebenarnya bukan demikian. Sesungguhnya, karma adalah sesuatu yang sangat spesifik dan personal. Masing-masing orang membawa karmanya sendiri-sendiri.

Saat ini, di antara penderitaan dan kebahagiaan, kita relatif mengalami lebih banyak kebahagiaan daripada penderitaan karena kita terlahir di alam yang baik. Kita bisa terlahir di alam yang baik karena karma kita. Pertanyaannya: apa yang akan terjadi pada kelahiran yang akan datang? Itu bergantung pada karma yang kita hasilkan dalam kehidupan saat ini. Jadi, karma-karma yang kita kumpulkan dalam kehidupan saat ini akan menentukan apakah kita akan terlahir kembali di alam yang baik atau tidak.

Kalau kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, tentu itu adalah hal yang baik. Tapi, kalau kita mengalami penderitaan, ini adalah sesuatu yang bisa kita ubah alih-alih dibiarkan begitu saja. Minimal kita bisa meringankan penderitaan kalau belum bisa sepenuhnya mengatasinya, yaitu dengan mengubah sikap kita sendiri. Tergantung pada permasalahan yang dihadapi, kita tetap bisa menarik hikmah atau pelajaran dari pengalaman yang tak menyenangkan. Dengan demikian, kita bisa meringankan pengalaman menyakitkan dengan menerapkan sikap dan cara pikir tertentu dalam menghadapinya.

Kalau kita menghadapi masalah dengan memunculkan penderitaan mental seperti kecemasan dan sejenisnya, ini hanya akan memperburuk keadaan. Dengan kata lain, ini hanya akan menambah dosis masalah menjadi dua kali lipat. Di sisi lain, ada orang-orang yang menghadapi masalah dengan sikap yang berbeda. Ketika seorang Buddhis menghadapi masalah, misalnya, ia akan berupaya menggunakan situasi tersebut untuk merenung.

Ia bisa merenungkan bahwa situasi yang dihadapinya tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Kesulitan yang dihadapi adalah akibat dari karma yang dilakukan di masa lampau. Sebagai contoh, bila seseorang jatuh sakit, ia bisa menerima bahwa penyakit yang dideritanya merupakan konsekuensi dari karma yang dilakukannya sendiri. Ada juga yang bisa berpikir lebih jauh, yaitu menggunakan kesempatan tersebut untuk memahami orang lain. Dengan merasakan dan memahami penderitaannya sendiri, ia juga bisa merasakan bahwa orang lain ternyata juga menderita. Bahkan, sering kali penderitaan yang dialami orang lain jauh lebih parah ketimbang milik kita.

Ketika seseorang sudah bisa lebih memahami penderitaan orang lain, maka ia bisa membangkitkan welas asih. Cara seperti inilah yang lebih bermanfaat bagi seseorang untuk menghadapi situasi sulit akibat jatuh sakit, daripada memperburuk keadaan dengan merasa cemas, gelisah, takut, dsb. Melalui perenungan yang demikian, mereka bahkan bisa mencapai sesuatu yang bermanfaat, bukan malah menambah penderitaan.

Ketika seseorang mendapati dirinya terkena penyakit seperti kanker, ia bisa merenungkan bahwa bukan dirinya saja yang menghadapi masalah seperti itu. Dengan demikian, ia bisa membangkitkan keinginan agar penderitaan orang lain juga bisa berakhir. Ia bahkan bisa membangkitkan niat untuk mengambil tanggung jawab pribadi untuk mengakhiri penderitaan orang lain. Kalau sudah demikian, ia sudah memindahkan fokusnya. Walaupun demikian, bukan berarti penderitaan karena penyakit serta-merta berakhir, karena tetap saja ia masih sakit. Tapi, dengan memindahkan fokus pada penderitaan orang lain, ia telah mengurangi fokus pada penderitaannya sendiri.

Buddha mengajarkan bahwa kita tidak bisa memikirkan dua hal yang berbeda pada saat yang bersamaan. Ketika kita sedang memikirkan orang lain, pada saat yang bersamaan kita tidak bisa benar-benar fokus pada diri sendiri. Jadi, dengan memikirkan penderitaan orang lain, kita takkan begitu memikirkan penderitaan pribadi. Dengan cara seperti inilah dikatakan bahwa penderitaan kita bisa dikurangi.

Karma-karma buruk yang mengakibatkan penderitaan sebenarnya memiliki sebabnya, yaitu klesha. Ada banyak jenis klesha, tapi akar dari semua klesha adalah ketidaktahuan batin yang mencengkram eksistensi diri yang berdiri sendiri. Jadi, kalau kita hendak memanjatkan doa, maka doa yang paling efektif adalah membangkitkan harapan agar semua penderitaan berikut sebab-sebabnya (karma dan klesha) lenyap dari batin kita, terutama ketidaktahuan batin dalam bentuk sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri. Seluruh jalan karma hitam mengandung sikap mencengkeram ini.

Bentuk ketidaktahuan batin lainnya adalah ketidaktahuan ihwal hukum karma. Kapan pun seseorang melakukan 10 jalan karma hitam, maka ketidaktahuan ihwal hukum karma telah hadir di dalam batinnya dan menyebabkan dirinya bertindak seperti itu. Ketika seseorang melakukan pembunuhan, misalnya, maka pada saat itu ia tidak menyadari akibat dari perbuatannya. Ia lupa pada akibat-akibat yang bisa menimpanya karena suatu perbuatan. Ketika itu, batin diselimuti oleh ketidaktahuan ihwal hukum karma. Jika ia menyadari akibat-akibatnya, maka mustahil ia akan melakukan kesalahan tersebut. Prinsip yang sama berlaku untuk keseluruhan jalan karma lainnya.

Kita harus bisa menerima akibat yang dihasilkan oleh karma yang kita lakukan sendiri di masa lampau. Kalau kita memberontak terhadap kondisi dan berpikir, “Ini adalah penderitaan yang sangat buruk. Mengapa harus terjadi padaku?” tentu ini sia-sia belaka, dan malah akan memperparah situasi. Kita harus benar-benar bisa menerima bahwa itu adalah karma yang telah kita lakukan sendiri di waktu lampau. Menerima kenyataan adalah langkah pertama agar karma buruk tak memperparah penderitaan kita.

Ketika kita sudah mengalami penderitaan, pastikan bahwa kita tidak menciptakan sebab penderitaan lebih lanjut dengan cara menghindari reaksi yang bisa memunculkan karma buruk lanjutan. Selain itu, kita juga harus berhati-hati untuk tak menciptakan atau mengulangi karma buruk yang sama, yang bisa menghasilkan penderitaan yang sama di masa mendatang. Caranya adalah dengan mengingat bahwa semua pengalaman yang kita dapatkan merupakan akibat dari karma yang kita ciptakan sendiri.

Jadi, pertama-tama, ingatlah bahwa apa pun yang menimpa kita pada dasarnya adalah akibat dari karma yang kita buat sendiri. Kemudian, jangan memusatkan perhatian sepenuhnya pada kesukaran diri sendiri, karena akan lebih baik kalau kita membuka diri dan menyadari bahwa orang lain juga mengalami penderitaan yang sama; seringkali, penderitaan orang lain jauh lebih buruk ketimbang milik kita. Petunjuk ini bisa diterapkan dalam situasi apa pun, apakah itu dalam pekerjaan, hubungan dengan orang lain, kesulitan keuangan, dst. Apa pun hakikat dari permasalahan yang kita hadapi, metode ini bisa digunakan untuk menghadapinya.

Poin penting yang hendak ditekankan di sini adalah kita harus bisa menerima karma kita sendiri. Bukan berarti kita menyangkal adanya peranan faktor eksternal, tapi biasanya kita memang melebih-lebihkan peranan faktor eksternal. Kita cenderung menganggap apa pun yang menimpa kita sebagai akibat dari kondisi eksternal. Oleh karenanya, kita cenderung mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Bahkan ada yang menyalahkan kemalangan yang menimpa dirinya pada ilmu hitam dan guna-guna. Sepertinya setiap orang punya kambing hitam untuk setiap persoalan yang menimpa dirinya.

Sesungguhnya, walaupun memang ada faktor-faktor eksternal yang memicu penderitaan, semua itu tidak bisa memengaruhi seseorang kalau dirinya tidak memiliki karma untuk dipengaruhi. Jadi, sebab utama dari segala kondisi dan kemalangan adalah karma kita sendiri. Oleh sebab itu, yang pertama sekali harus dilakukan adalah menerima kondisi yang menimpa kita sebagai akibat dari karma kita sendiri. Berikutnya, kita harus senantiasa menyadari bahwa penderitaan merupakan akibat dari karma yang kita ciptakan, dan kalau ia sudah berbuah, tak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Selama kita masih memiliki karma buruk, maka kita harus berjuang untuk memurnikannya agar kita tidak perlu mengalami akibatnya di masa yang akan datang.

Kalau misalnya kita sudah melakukan purifikasi tapi kemudian masih menciptakan karma buruk yang sama, maka proses ini takkan ada akhirnya. Akibatnya, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran proses purifikasi dan akumulasi karma buruk tanpa akhir. Artinya, kita tetap saja melakukan dan mengulangi karma buruk yang sama. Jadi, selain purifikasi, kita juga harus menahan diri untuk tidak melakukan karma buruk yang akan menghasilkan penderitaan yang berulang di masa mendatang, seperti penderitaan yang sedang kita alami saat ini.

Kesimpulannya, ada 3 unsur penting dalam menghadapi kesulitan hidup: menerimanya sebagai akibat dari karma yang kita lakukan sendiri, memurnikan karma buruk, dan menahan diri untuk tidak mengulangi karma buruk yang sama. Selain itu, kita juga bisa menambahkan poin menyadari dan memahami kesulitan dan penderitaan yang dialami orang lain dan menarik kesamaan antara situasi kita dengan mereka; dengan kata lain, kita tak boleh lupa bahwa masih banyak makhluk lain yang mengalami situasi sulit yang sama dengan kita.

Kita bisa memindahkan fokus kita pada penderitaan orang lain dan berdoa agar kondisi sulit yang menimpa mereka bisa berubah. Kita berdoa agar mereka tak perlu lagi menderita dan agar sebab-sebab penderitaan mereka bisa dimusnahkan. Sebab penderitaan mereka adalah karma, dan sebab karma adalah klesha. Kita berdoa agar klesha semua makhluk bisa dimusnahkan, khususnya klesha akar berupa sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri. Singkat kata, justru dari kondisi yang menderitalah kita bisa membangkitkan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi makhluk lain.

Dalam Puja Guru, Panchen Lama Lobsang Chökyi Gyaltsen mengatakan bahwa kita harus berpikir dengan cara seperti ini: “Walaupun seluruh dunia dan semua makhluk di dalamnya  dipenuhi oleh buah dari utang karma mereka berikut segala penderitaan tak dikehendaki yang jatuh menimpa laksana hujan, kami mohon berkah darimu agar bisa melihat penderitaan ini sebagai sebuah jalan, sebagai sebuah sebab yang menghabiskan akibat-akibat dari karma buruk kami sendiri.”

Makna dari kutipan ini adalah mengubah sebuah kondisi yang buruk menjadi jalan atau kualitas spiritual. Sebelumnya, Guru Atisha menyinggung tentang “tujuan-tujuan terpenting”, yaitu tujuan utama yang membawa kebahagiaan. Cara mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan transformasi batin, yaitu melatih batin sesuai dengan instruksi. Dan di antara semua instruksi, kita sudah bertemu dengan instruksi yang terbaik, yaitu Lamrim.

 

Dikutip dari pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Biezenmortel, Belanda pada 21-24 Februari 2013.

Transkrip lengkap dapat dibaca dalam buku “Karma dan Akibatnya”.
Buku fisik ini dapat didapatkan di sini. Tersedia juga dalam bentuk ebook di sini.

Baca juga: https://dagporinpoche.id/ajaran/dasar-buddhisme/karma-klesha/