Mengapa Perlu Belajar Dharma?
Tujuan terpenting dalam menyimak sebuah ajaran adalah agar kita bisa mengendalikan batin kita dan benar-benar sanggup menguasainya. Kondisi kita saat ini tentu adalah kebalikannya. Saat ini, kita dikuasai dan dikendalikan oleh batin, tepatnya oleh klesha yang bertindak sesuka hati. Kesampingkan orang-orang yang memang sedang sakit, karena mereka berada dalam kondisi yang berbeda. Tapi, sejauh menyangkut orang-orang yang berada dalam kondisi normal, kapan pun muncul situasi yang tidak disukai, maka mereka akan dengan sangat mudah bereaksi secara negatif. Orang-orang gampang bereaksi hanya karena sedikit provokasi saja, misalnya sekilas pandangan yang tidak menyenangkan atau beberapa patah kata yang kasar. Kondisi ini terjadi akibat kurangnya kendali atas batin. Kita tidak mampu menahan diri untuk tidak bereaksi secara negatif kalau terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Barangkali kita mengalami kebahagiaan hingga tingkat tertentu dalam hidup ini, lalu sesuatu terjadi dan kita serta-merta kehilangan kebahagiaan tersebut. Segala sesuatu bisa berubah. Pada waktu tertentu, barangkali segalanya berjalan lancar, tapi kemudian tiba-tiba saja terjadi sesuatu. Kita kehilangan kendali atas situasi di sekeliling kita berikut batin kita sendiri, dan akhirnya mengalami kesedihan.
Jika kita ingin mendapatkan kedamaian batin, hanya ada satu hal yang harus dilakukan, yaitu mengembangkan batin. Kita harus mengendalikan batin kita sendiri. Kalau sampai kita gagal melakukan tugas yang satu ini, dan sebaliknya malah memusatkan perhatian pada hal-hal lain seperti berjuang meraih keamanan finansial, mengumpulkan sahabat, menumpuk kekayaan, dsb, maka tidak mungkin kita bisa meraih kebahagiaan stabil yang diinginkan. Segala bentuk kebahagiaan yang di luar kendali batin hanyalah kesenangan sementara yang sifatnya tidak stabil.
Untuk meraih dan mempertahankan kebahagiaan yang stabil, kita harus mengendalikan batin. Kita bisa merenungkan kebenaran dari pernyataan ini. Dan memang, alangkah baiknya bila kita tak menelan begitu saja pernyataan yang demikian hanya semata-mata karena seorang Guru telah mengatakannya. Namun, perenungan ini pun jangan dibatasi hanya pada tingkatan intelektual atau abstrak saja. Kita harus mengaitkannya dengan pengalaman hidup kita sendiri, dengan kejadian-kejadian nyata dalam hidup kita sendiri. Tak ada keraguan ihwal kemampuan kita untuk melakukan ini.
Hidup kita bergantung pada diri kita sendiri. Bukan berarti faktor-faktor eksternal sama sekali tak berperan, namun secara esensial kebahagiaan kita bergantung pada diri kita sendiri. Kebahagiaan bergantung pada kondisi batin kita, yaitu kemampuan kita untuk memiliki kerangka berpikir yang benar, terlepas dari kondisi eksternal. Kebahagiaan berada di tangan kita sendiri. Artinya, kita semua bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri. Jika terus-menerus bergantung pada faktor-faktor eksternal, kita takkan mendapatkan kebahagiaan yang kita inginkan.
Jadi, kita semua harus berupaya untuk mengembangkan batin. Ini bukanlah sesuatu yang khas Buddhisme. Faktanya, semua makhluk harus mengembangkan batin mereka, karena pada dasarnya semua makhluk ingin bahagia, termasuk juga binatang. Namun, kita tahu bahwa binatang tak tahu cara mengembangkan batin mereka, atau bahkan definisinya. Di sisi lain, kita semua, dengan tubuh manusia kita yang berharga, punya segala sesuatu yang diperlukan untuk menjalankan tugas ini, sehingga tak ada alasan kenapa kita masih berpangku tangan dan menganggap ajaran sebagai angin lalu (terkecuali, tentunya, bila kita sudah menjadi seorang Arhat atau yogi besar).
Tentu saja klesha tidak bisa dibuang seluruhnya dalam waktu singkat. Alangkah baiknya kalau memang bisa, tapi itu tidak mungkin. Yang bisa kita lakukan adalah melemahkan kekuatan klesha secara bertahap sampai ia benar-benar bisa disingkirkan. Bila kita sadar bahwa kita adalah seorang yang sombong, mudah marah, atau kikir, maka kita bisa menyadari semua klesha yang bersemayam di dalam diri kita ini dan berupaya untuk secara perlahan mengikis mereka satu per satu. Bagaimana caranya? Dengan mengembangkan pola pikir yang tepat, atau dengan kata lain, pola pikir yang berkebalikan dengan klesha. Bagaimana caranya? Menyimak ajaran dengan penuh perhatian dan motivasi yang baik adalah salah satu cara.
Barangkali ada di antara kita yang berpikir tentang kegunaan mengikis klesha secara bertahap kalau toh nantinya ia bakal muncul lagi. Namun, proses yang bertahap ini penting, karena kelak ketika klesha menunjukkan tanda-tanda kemunculannya, kita akan bisa menyadarinya dan segera melakukan upaya pencegahan agar ia tak lagi menguasai batin kita. Ini ibarat seseorang yang kedapatan telah berbohong dan merasa malu jika harus berbohong lagi. Dengan logika yang sama, ketika kekuatan sebuah klesha telah berhasil dikurangi, maka ia takkan lagi seperkasa dulu, bahkan meski ia masih muncul dalam batin kita; ia akan merasa malu dan tak bisa beraksi dengan leluasa.
Jika kita berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi klesha, maka yang bisa kita lakukan hanya sebatas mengendalikannya saja; ia takkan lenyap selamanya. Alasannya semata-mata karena penawar kita belum cukup kuat untuk menyingkirkan klesha selamanya. Untuk benar-benar menyingkirkan klesha, kita harus menyasar langsung ke akarnya, yakni sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri. Sebelum akar ini dibabat habis, kita takkan bisa menyingkirkan klesha secara menyeluruh. Namun, untuk sementara waktu, sembari menunggu kesempatan untuk memotong habis akar klesha, kita bisa berupaya untuk mengendalikan klesha.
Lantas, seperti apakah akar klesha itu? Misalnya seperti ini. Ketika kita marah atau melekat pada seseorang atau sesuatu, kita memiliki persepsi bahwa seseorang atau sesuatu itu memiliki eksistensi sejati, bahwa mereka bisa muncul dengan sendirinya tanpa bergantung pada hal lain. Persepsi macam inilah yang mendorong kita untuk merasa marah atau melekat. Seandainya kita tidak memiliki persepsi yang demikian, amarah atau kemelekatan tentu tak akan muncul di dalam diri kita. Jamaknya, kita merasa marah pada seseorang yang tak kita sukai dan melekat pada sesuatu yang kita sukai, seolah-olah aspek menyenangkan atau tak menyenangkan dari seseorang atau sesuatu adalah sesuatu yang memang sudah ada dari sananya dan tak bergantung pada hal lainnya. Jika pandangan macam ini bisa kita enyahkan dari kerangka berpikir kita, maka segala sesuatu yang biasanya memunculkan kesenangan atau kesedihan dalam diri kita tentu takkan lagi kita persepsikan dengan cara yang sama.
Seorang guru besar Tibet, Dromtonpa, mengatakan bahwa di antara semua instruksi, yang paling mengagumkan adalah Tripitaka. Pada gilirannya, seluruh instruksi dalam Tripitaka ini bisa dipadatkan lagi ke dalam satu tahapan jalan yang sesuai untuk ketiga jenis praktisi. Instruksi ini disebut Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, atau Lamrim.
Oleh guru-guru besar masa lampau, Lamrim diibaratkan sebagai untaian tasbih yang terbuat dari emas. Kita tahu betapa berharganya sebutir emas, sehingga tak terbayangkan berapa nilai dari satu untaian emas. Demikianlah nilai dari Lamrim. Dengan mempraktikkan Lamrim, seluruh tujuan yang hendak dicapai akan tercapai. Bahkan, mempraktikkan satu bagian dari Lamrim saja pun sudah akan membawa banyak manfaat bagi kita. Inilah alasan kenapa Dromtonpa mengatakan bahwa Lamrim “memenuhi tujuan masing-masing makhluk dan seluruh makhluk secara keseluruhan.”
Dikutip dari pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Biezenmortel, Belanda pada 21-24 Februari 2013.
Transkrip lengkap dapat dibaca dalam buku “Karma dan Akibatnya”.
Buku fisik ini dapat didapatkan di sini. Tersedia juga dalam bentuk ebook di sini.
Baca juga: https://dagporinpoche.id/ajaran/tahapan-jalan/cara-belajar-dharma/cara-mendengarkan-dharma/