Kelahiran Kembali

Marpa, Sang Penerjemah


“Walaupun dalam keyakinan dan penghormatanku yang terdalam aku tidak pernah terpisah darimu.
Aku sekarang tersiksa oleh keinginan untuk berjumpa denganmu.
Kerinduan ini menyiksaku, siksaan dahsyat ini menyesakkanku,
Kumohon, Guruku yang agung, bebaskan aku dari siksaan ini.”
~Nyanyian Milarepa ‘Pikiran tentang Guruku’

Penerjemah memiliki peran yang teramat penting dalam pelestarian dan penyebaran Buddhadharma. Tanpa para penerjemah, kita tak mungkin bisa mempelajari Dharma dalam bahasa yang kita pahami. Ajaran Buddha selamanya hanya akan jadi milik orang India sampai akhirnya punah karena perubahan zaman. Namun, para penerjemah membuat Buddhadharma bisa dipahami orang-orang dari negara lain dan berkembang di banyak tempat seperti Cina, Tibet, bahkan di Nusantara sehingga ajaran kebajikan ini tetap membawa manfaat kepada banyak makhluk meski telah mengalami kemunduran di negara asalnya. Para penerjemah juga tidak sekedar ahli bahasa. Mereka mendalami ajaran Buddha secara menyeluruh sehingga dapat menerjemahkan kitab-kitab secara akurat. Tak jarang ada penerjemah yang merangkap menjadi guru Dharma berkat pemahamannya yang luas dan mendalam. Salah satu penerjemah sekaligus guru Dharma ini adalah Marpa Chokyi Lodro, penerjemah Tibet yang dihormati di seluruh dunia sebagai guru dari Jetsun Milarepa, yogi besar Tibet.

Marpa Chokyi Lodro lahir pada tahun 1012 di Chukhyer, daerah Lhodrak di selatan Tibet. Ia adalah putra bungsu dari empat bersaudara dan sejak kecil sudah menunjukkan bakat istimewa di bidang bahasa. Ia sudah bisa membaca dan menulis sejak usia sangat dini di bawah bimbingan guru bernama Lugye. Di masa remaja, Marpa adalah pemuda yang temperamental. Saat berusia 15 tahun, orang tua Marpa mengirimnya untuk belajar kepada Drokmi Sakya Yeshe. Marpa belajar Bahasa India dan Sansekerta di sana selama tiga tahun, namun tidak sanggup membayar biaya inisiasi dan instruksi Dharma. Ia pun pergi ke Nepal dan India sambil mengabdi sebagai pelayan bagi penerjemah Nyo Lotsawa.

Di Nepal, Marpa bertemu dengan Chitherpa dan Paindapa, dua orang guru yang merupakan murid dari yogi besar Naropa. Kedua guru ini tidak hanya membimbing Marpa dalam melanjutkan pembelajaran Bahasa Sansekerta, tapi juga mendorongnya untuk berangkat ke India dan berguru kepada Naropa yang pada akhirnya menjadi guru utamanya. Bersama Nyo Lotsawa, Marpa pergi ke Biara Universitas Nalanda di India dan menemukan bahwa Naropa sudah tidak berada di sana. Namun, Marpa tidak menyerah dan tetap pergi mencari Naropa hingga akhirnya bertemu dengan sang guru dan menerima berbagai instruksi dan inisiasi tantra, di antaranya anuttarayoga tantra Hewajra dan Guhyasamaja. Marpa juga belajar kepada Maitripa yang memberikan instruksi Mahamudra dan tradisi nyanyian realisasi spiritual.

Marpa kembali ke Tibet bersama Nyo Lotsawa, tapi ia ingin segera kembali ke India sehingga mulai memberikan pengajaran Dharma di desa-desa untuk mensponsori perjalanan ke India. Ia menjadi guru yang termasyhur dengan banyak harta dan pengikut. Ia mendirikan rumah dan konon memiliki sembilan istri dan tujuh putra. Ia kembali ke India untuk menerima instruksi dari guru-gurunya sebelum akhirnya menetap di Tibet sebagai seorang guru Dharma sekaligus tuan tanah. Ajaran Marpa yang terkenal di antaranya adalah doktrin-doktrin Naropa dan tradisi Mahamudra yang amat penting dalam aliran Kagyu, tradisi yang ia pelopori dan nantinya menjadi satu dari empat tradisi utama dalam Buddhisme Tibet. Marpa juga kembali ke India sekali lagi sesuai instruksi Naropa dan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mencari gurunya yang telah menjadi pertapa pengembara. Setelah melalui berbagai penampakan, akhirnya ia berhasil bertemu dengan Naropa dan menerima instruksi pemindahan kesadaran (Nyengyu) Cakrasamwara yang ia wariskan kepada muridnya yang paling termasyhur, Milarepa.

Jetsun Milarepa merupakan salah satu tokoh paling terkenal dalam Buddhisme Tibet. Meski melakukan kejahatan besar membunuh banyak orang dengan ilmu hitam, Milarepa berhasil mencapai pencerahan dalam satu kehidupan setelah menempuh usaha dan perjuangan yang teramat berat. Pencapaian Milarepa yang kemudian membawa manfaat bagi banyak makhluk ini merupakan salah satu warisan dari Marpa Sang Penerjemah. Ibarat membersihkan pot emas yang terutup gumpalan tanah setelah terkubur selama berabad-abad, Marpa menggembleng Milarepa untuk memurnikan segala karma buruk yang telah dilakukan Milarepa hingga menjadi wadah yang cocok untuk menerima semua Dharma yang telah ia pelajari dan realisasikan.

Marpa diyakini memasuki parinirwana dalam keadaan meditasi pada usia 88. Jasad Beliau disimpan dalam sebuah stupa yang didirikan di tempat tinggalnya di daerah Shung. Semasa hidupnya, Marpa berbakti kepada 13 orang guru dan menerjemahkan setidaknya 24 karya yang termasuk dalam kanon kitab suci Tibet.

Usaha penerjemahan Dharma di masa sekarang masih jauh dari rampung. Penerjemahan ini justru semakin sulit karena makin sedikit orang yang menguasai bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab Buddhis. Marpa dan para lotsawa (penerjemah) pada masanya telah menerjemahkan kitab Dharma ke dalam Bahasa Tibet, namun sekarang orang Tibet sendiri pun tak banyak yang bisa berbahasa Tibet, terutama sejak pemerintah Cina masuk ke Tibet dan menggantikan bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah dengan Bahasa Mandarin. Uniknya, Bahasa Tibet kini malah dipelajari di negara-negara Eropa, salah satunya di Perancis. Pada tahun 1960, seorang lama dari Tibet yang tinggal di pengasingan di India mendapat restu dari Yang Maha Suci Dalai Lama XIV untuk berangkat ke Perancis dan mengajarkan bahasa dan budaya Tibet di pusat kebudayaan Tibet Universitas Sorbonne. Lama itu adalah Guru Dagpo Rinpoche, seorang tulku (emanasi) yang diyakini bahwa salah satu kesinambungan batinnya tak lain tak bukan adalah Marpa Sang Penerjemah.

Sama seperti Marpa yang menerjemahkan kitab Buddha dan mengajarkan Dharma di Tibet, Guru Dagpo Rinpoche mulai mengajarkan Dharma dan mendirikan pusat Dharma di berbagai negara di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Beliau juga mendorong murid-muridnya untuk mempelajari Bahasa Tibet dan menerjemahkan kitab-kitab Dharma dalam Bahasa Tibet ke berbagai bahasa. Di Indonesia sendiri, murid Guru Dagpo Rinpoche yang tergabung dalam Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) menerjemahkan berbagai buku Dharma ke dalam Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah agar Dharma lestari dan senantiasa membawa manfaat di Nusantara.

Menerjemahkan Dharma tentu bukan perkara mudah, tapi jika kita memiliki sedikit ketertarikan terhadap tata bahasa, kita bisa turut melestarikan Dharma dan membuat lebih banyak orang bisa menarik manfaat dari ajaran Sang Buddha dengan menerjemahkan teks Dharma. Selain itu, masih ada cara lain untuk melestarikan Dharma, misalnya dengan turut serta dalam program pentranskripan ceramah Dharma, penerbitan dan penyebaran buku Dharma, dan masih banyak lagi. Jika kita mau sedikit berusaha, kita pasti bisa memberikan penghormatan dan mewujudkan terima kasih kepada Dharma yang telah mengubah hidup kita dengan turut serta dalam berbagai usaha pelestarian Dharma sesuai teladan Marpa Sang Penerjemah dan Guru Dagpo Rinpoche.

Sumber:
“Marpa Chokyi Lodro” oleh Andrew Quintman (treasuryoflives.org)
Lama dari Tibet oleh Dagpo Rinpoche
Perihal Guruku oleh Bhadra Ruci

Tentang Dagpo Rinpoche