Meditasi Proses Kematian


Menyetujui penjelasan Buddha tentang topik kematian tidaklah cukup. Agar bisa membawa dampak positif, kita juga harus mengaitkan topik kematian dengan diri kita. Kita harus aktif membiasakan diri dengan kebenaran ajaran ini melalui perenungan pribadi; kita harus bertanya kepada diri kita apakah kematian itu benar terjadi dan kenapa bisa demikian. Dengan mempelajari dan merenungkan topik ini berulang kali, barulah kita bisa benar-benar mendapatkan dampak positif darinya. Jalan satu-satunya adalah dengan bertanya, “Buddha mengatakan bahwa kematian itu pasti. Benarkah demikian?” Kita harus mencari contoh nyata dari berbagai peristiwa yang sudah terjadi di dunia ini untuk membuktikan perkataan Buddha. Jika dari perenungan ini kita akhirnya menyimpulkan kebenaran dari perkataan Buddha, maka kita harus memegang fakta bahwa kematian itu pasti, bahwa waktu datangnya tidak pasti, dan bahwa hanya Dharma yang berguna ketika kematian tiba. Keyakinan yang demikian akan mengubah cara pandang kita secara positif.

Proses Kematian 1

Karena kita harus mengalami kematian, kita harus memahami bagaimana tepatnya proses kematian itu berlangsung. Apa yang menjadi sebab dari dimulainya proses kematian? Pemikiran apa yang akan kita miliki saat mati? Bagaimana kehangatan tubuh kita perlahan menghilang? Tanda-tanda apa yang akan muncul dalam proses kematian kita? Ke mana kita akan pergi setelah mati? Bagaimana cara kita melewati alam bardo (alam antara)? Bagaimana sesungguhnya alam bardo berakhir? Bagaimana proses kita terlahir kembali di kehidupan berikutnya? Semua pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita memeditasikan proses kematian yang sebenarnya. Saat kita memeditasikan kematian, kita membayangkan diri kita mengalami kematian dan berbagai tahapan dan kondisi yang berkaitan dengan kematian, sehingga semua pertanyaan di atas harus dijawab terlebih dahulu sebagai bekal untuk memahami proses kematian.

Pertanyaan pertama adalah situasi yang mengakibatkan kematian. Buddha menjelaskan bahwa ada 3 sebab utama kematian: habisnya masa kehidupan kita, habisnya karma baik kita, dan hadirnya kondisi yang tidak menguntungkan, misalnya mengalami kecelakaan, mengikuti pola hidup tak sehat, dan seterusnya.

Menyangkut sebab pertama, kita tahu bahwa kelahiran kita sebagai manusia adalah akibat dari matangnya karma baik. Jangka waktu hidup seseorang adalah satu paket dengan karma pelempar, yang bergantung juga pada karma pendukung lain yang menemani. Jika karma pendukung dihasilkan dari tindakan melindungi kehidupan banyak makhluk, maka kita akan memiliki umur panjang. Namun, jika kita tidak punya karma pendukung yang mencukupi, umur kita akan singkat. Kita terlempar ke kehidupan ini dengan jangka hidup yang pasti, dan ketika batas itu sudah lewat, kita akan meninggal. Menyangkut sebab kedua, bisa jadi kita telah menghabiskan kebajikan kita sebelum jangka hidup kita berakhir. Untuk tetap hidup, kita butuh sejumlah kebajikan yang berasal dari tindakan bajik yang kita lakukan di kehidupan lampau. Jika kita menggunakan kebajikan dengan cepat, misalnya dengan mengikuti gaya hidup mewah, dan tidak melakukan apa pun untuk menambah jumlah kebajikan kita, hal ini akan mengakibatkan kematian yang tidak pada waktunya. Inilah alasan kenapa Buddha menasihati agar kita, misalnya, hanya makan secukupnya. Mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan tidaklah disarankan, karena itu akan menguras kebajikan kita dan bisa mengakibatkan kematian sebelum waktunya. Ini jugalah alasan kenapa kita harus mempersembahkan makanan sebelum kita makan, yakni untuk menambah karma bajik dan mengurangi kemelekatan kita. Sebab ketiga cukup mudah untuk dipahami secara harfiah.

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan pikiran yang kita miliki di penghujung kehidupan, yakni pikiran sadar kita sebelum berubah menjadi pikiran bawah sadar. Pikiran ini bisa berupa pikiran baik, buruk, atau netral. Jika yang muncul adalah pikiran baik, kita akan merasa damai, bahagia, dan seolah-olah melihat cahaya. Jika yang muncul adalah pikiran buruk, kita akan merasa takut, khawatir, dan seolah-olah melihat kegelapan. Jika yang muncul adalah pikiran netral, kita takkan merasakan kesan apa pun. Jika selama hidup kita terbiasa memeditasikan perwujudan Buddha (termasuk Istadewata Tantra dan guru spiritual kita), maka ketika tiba saatnya kita mengalami masa kritis, kita akan mampu memanggil dan memunculkan Buddha di hadapan kita secara mental. Hal ini akan sangat membantu untuk mengurangi ketidaknyamanan jasmani[1]. Kebiasaan baik ini akan berguna di tahap akhir hidup kita nanti.

Ketika kematian datang menjemput kita, karma yang paling sering kita lakukanlah yang paling besar kemungkinannya untuk matang duluan. Jadi, kalau kita terbiasa dengan ketidakbajikan, maka karma tidak bajik yang akan mewujud pada saat kematian, dan begitu pula sebaliknya. Jika misalnya karma bajik dan tidak bajik sama kuatnya di dalam batin kita, maka pikiran akhir kita yang akan menentukan karma jenis mana yang matang. Atas alasan inilah kita perlu memastikan bahwa pikiran kita sesaat sebelum mati memiliki kecenderungan bajik. Pikiran yang demikian akan mematangkan karma positif dan melemparkan kita ke kelahiran yang tinggi.

Ketika masih sadar, kita secara alamiah merasakan kemelekatan yang kuat terhadap diri sendiri karena proses pembiasaan yang sudah terjadi sejak masa kehidupan yang tak terhingga. Hal ini menimbulkan rasa takut kalau-kalau kita akan lenyap ketika meninggal nanti, dan karenanya kita pun merasa cemas. Kemelekatan terhadap diri adalah sebab dari kelahiran kembali kita di alam bardo. Kemelekatan terhadap diri bahkan bertahan lama di jalan spiritual. Para Arya masih memilikinya pada momen kematian mereka. Namun bedanya, mereka mampu mengendalikannya. Hanya Arhat yang sudah sepenuhnya menaklukkan bentuk paling halus dari kemelekatan terhadap diri, dan ini hanya bisa dilakukan melalui pemahaman tentang ke-tanpaaku-an.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kehangatan tubuh menghilang saat kita mati. Ketika kita meninggal di bawah pengaruh pikiran bajik, dikatakan bahwa tubuh kita kehilangan kehangatan tubuh dimulai dari kaki ke atas, pelan-pelan menghilang hingga ke bagian tengah tubuh. Jika kita meninggal di bawah pengaruh pikiran buruk, hangatnya tubuh akan menghilang dari kepala menuju ke bawah. Untuk kedua kasus, panas tubuh berkumpul di jantung dan pelan-pelan menghilang dari sana.

Kalau kita sudah meninggal dan tidak lagi eksis di kehidupan ini, kita akan lahir di alam bardo. Seperti apa wujud jasmani makhluk di alam bardo? Tubuh kita akan memiliki panca indra yang lengkap dan berfungsi. Bentuk tubuh kita akan sama dengan tubuh jasmani kita di kelahiran mendatang. Jika makhluk bardo tampil dalam rupa manusia, maka kelak ia akan terlahir sebagai manusia. Tubuh jasmani ini akan bisa terlihat oleh sesama makhluk bardo, dan juga manusia dan dewa yang memiliki kewaskitaan tertentu.

Karena tersusun dari angin yang halus, tubuh makhluk bardo sangat halus dan tidak padat seperti manusia. Kehalusan tubuhnya memberikan keuntungan dalam bergerak. Kapan pun makhluk bardo memikirkan satu tempat, tubuh jasmaninya bergerak mengikuti arah tempat itu. Jika makhluk tersebut di masa lampau banyak melakukan ketidakbajikan, kesan yang muncul adalah kegelapan yang konstan. Jika ia hidup penuh kebajikan, maka cahayalah yang akan muncul secara konstan.

Warna tubuh makhluk bardo ditentukan oleh kehidupan mendatangnya. Jika ia nanti dilahirkan di alam neraka, warna tubuhnya akan hitam seperti batu bara. Jika ia nanti dilahirkan di alam setan kelaparan, warna tubuhnya akan seperti air. Jika ia nanti dilahirkan di alam manusia atau alam-alam menyenangkan lainnya, warna tubuhnya akan seperti emas. Jika ia nanti dilahirkan di alam dewa berbentuk, warna tubuhnya akan putih. Jika ia nanti dilahirkan di alam dewa tanpa bentuk, maka tidak ada alam bardo. Keterangan ini terdapat dalam Sutra Barisan Tangkai[2]. Mengenai pergerakan makhluk bardo, kalau ia nanti terlahir sebagai dewa, pergerakannya akan terasa naik. Jika terlahir sebagai manusia, pergerakannya akan terasa datar. Jika terlahir di alam rendah, pergerakannya akan terasa menurun.

Alam bardo akan bertahan maksimal selama 49 hari. Setelah tiap periode 7 hari, jika seorang makhluk tidak menemukan tempat untuk kelahiran kembali, ia akan mati di alam bardo, kemudian dilahirkan kembali di sana untuk mencari tempat kelahiran berikutnya. Proses ini akan terus berlanjut sampai 7 kali, sehingga total periode adalah 49 hari. Di sisi lain, tidak ada waktu minimal untuk tinggal di alam bardo. Kapan pun seorang makhluk menemukan tempat untuk terlahir kembali, ia akan segera meninggalkan alam bardo.

Di banyak negara, ada kebiasaan untuk membuat persembahan dan berbagai perbuatan bajik untuk orang yang telah meninggal, yang didedikasikan demi kelahiran kembali yang bahagia. Upacara ini khususnya dilakukan pada setiap akhir periode 7 hari setelah seseorang meninggal, dan akan cukup membantu mendiang untuk memperoleh sebuah kelahiran kembali yang baik, khususnya jika praktik kebajikan ini dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan dekat dengan mendiang, contohnya orang tua, anak, pasangan, atau dengan kata lain, seseorang yang memiliki kesamaan tempat tinggal dengan mendiang. Di dalam filsafat Buddhis, pandangan dari mazhab terendah, yakni Waibhashika, berpendapat bahwa ketika seseorang telah terlahir di alam bardo dalam rupa, misalnya, binatang, itu karena ia sedang berproses menuju kelahiran kembali sebagai binatang, sehingga tidak terdapat kemungkinan perpindahan ke kelahiran yang lebih tinggi. Tapi, mazhab yang lebih tinggi memegang pendapat berbeda. Mereka berpendapat bahwa dengan kekuatan karma baik yang dihasilkan melalui persembahan dan sebagainya, yang lalu didedikasikan demi kelahiran kembali yang tinggi, pikiran bajik akan muncul di batin makhluk bardo, yang pada gilirannya akan mendorong kelahiran ke alam yang tinggi.

Berdasarkan dua pendapat berbeda dari Abhidharma, dikatakan bahwa makhluk di alam bardo bisa saja melihat atau tidak melihat calon orang tuanya di kehidupan mendatang. Berdasarkan Risalah Abhidharma[3] karya Wasubandhu, makhluk bardo dapat melihat calon orang tuanya. Jika ia tertarik pada ayahnya, maka ia akan terlahir sebagai wanita, dan sebaliknya, jika ia tertarik pada ibunya, maka ia akan terlahir sebagai pria. Di sini, ia tidak mengenali calon orang tuanya sebagai ibu atau ayah, tetapi sekadar sebagai pria atau wanita. Berdasarkan pendapat yang lebih tinggi, yakni Ikhtisar Abhidharma[4] karya Asanga, makhluk bardo tak melihat hubungan seksual orang tuanya.

Ketika makhluk bardo melihat calon orang tuanya, ia kemudian akan terus menatap dengan lekat sampai akhirnya yang terlihat hanya alat kelamin mereka. Ini menimbulkan reaksi marah dari makhluk bardo, yang menyebabkan kematiannya dari alam bardo. Lalu, kesadaran dari makhluk bardo akan masuk ke embrio pada fase terawal dari pembuahan, yakni ketika sperma ayah membuahi ovum ibu. Embrio ini, yang terdiri dari 4 elemen yang diperoleh dari sel reproduksi orang tua, menyediakan dasar fisik bagi makhluk itu dalam kelahiran barunya. Ketika kesadarannya memasuki embrio, ia memulai penyatuan dengan 4 elemen.

Ketika makhluk bardo pergi mencari sebuah tempat yang cocok untuk kelahiran kembalinya, sebuah tempat yang sesuai dengan harapannya, maka ia biasanya tertarik dengan hal-hal yang akrab dan disukainya. Misalnya, ketika karma dari seseorang yang suka membunuh berbuah dan sedang mendorongnya ke kelahiran sebagai makhluk neraka, maka di sepanjang alam bardo ia akan mencari sesuatu yang menariknya, contohnya makhluk yang biasa ia bunuh pada kehidupan lampaunya. Ketika kondisi untuk kelahiran kembali di neraka telah lengkap, maka hal yang dilihatnya bukanlah neraka, tetapi misalnya, binatang-binatang yang telah ia bunuh pada kehidupan lampaunya. Karena kebiasaan yang telah dibentuk pada kehidupan lampau, ia akan tertarik pada binatang-binatang ini. Akan tetapi, ketika ia semakin mendekat, binatang-binatang tersebut akan menghilang. Ini akan menimbulkan amarah di dalam diri makhluk bardo, dan menyebabkan berakhirnya alam bardo dan dimulainya alam rendah. Sama halnya, ketika karma mencuri yang matang, makhluk bardo akan mencari objek yang ia curi pada kehidupan lampau. Ketika ia berhasil menemukan apa yang dicarinya, objek itu akan segera menghilang, dan otomatis muncullah perasaan marah. Perasaan ini akan mengakhiri alam bardo dan melemparnya ke alam rendah.

Karena kematian kita tidak dapat dihindari, maka sebelum meninggal, kita seharusnya memeditasikan proses kematian sebagai sebuah langkah persiapan. Ketika kita memulai meditasi ini, pertama-tama bayangkanlah diri kita sedang digerogoti penyakit mematikan yang akan membunuh kita. Kondisi kita semakin buruk sampai pada suatu titik dokter pun telah menyerah. Dokter mengangkat tangan dan mengatakan tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Segala adat dan upacara yang telah dilakukan untuk kita juga tidak membantu. Teman-teman dan saudara-saudara kita mulai kehilangan harapan, menggelengkan kepala mereka, dan berkata pada diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Pada titik ini, apa yang kita rasakan akan tergantung pada bagaimana kita selama ini menjalani hidup. Jika kita telah mempersiapkan kejadian ini dengan membangkitkan kebajikan yang cukup, kita tidak akan memiliki perasaan buruk. Kalau tidak, maka kita akan menyadari bahwa kita telah membuang waktu kita dan tidak memiliki apa pun yang dapat kita andalkan untuk melewati keadaan sulit ini. Kita belum melatih kebajikan selama hidup kita, dan juga belum menetralkan secara pasti karma buruk kita. Kita menemukan diri kita berada dalam kondisi yang sangat sulit dan bertanya-tanya dalam hati apa yang dapat kita lakukan, sebelum akhirnya menyadari bahwa segalanya sudah terlambat.

Berikutnya, kita bisa melihat doa permohonan kepada guru spiritual kita yang disebut ‘Permohonan Pembebasan dari Jalan yang Berbahaya di Alam Bardo’, yang mengulang secara singkat berbagai jalan yang akan kita ikuti dalam kematian, alam bardo, dan kelahiran kembali. Setiap sajak berakhir dengan permohonan kepada guru spiritual untuk menolong kita. Bait pertama berbunyi:

“Ketika tabib telah menyerah dan aneka ritual juga tidak membantu, ketika teman dan kerabat putus asa menyelamatkan hidupku, ketika aku tak berdaya dan tak tahu apa yang perlu dilakukan, berkatilah agar aku dapat mengingat instruksi para guru!”

Tentu saja ini hanya berlaku bagi orang-orang yang telah menerima instruksi tentang kematian dari guru-guru mereka. Namun, meskipun kita mungkin telah memperoleh penjelasan dari guru-guru kita, yang terpenting adalah apa yang kita lakukan dengan instruksi tersebut. Jika kita hanya membacanya secara sekilas tanpa usaha apa pun untuk menerapkannya melalui meditasi, maka tibanya ajal akan menggentarkan kita dan membuat kita tak mampu mengingat sepatah kata pun dari instruksi yang telah kita terima sebelumnya. Dengan persiapan yang tepat sepanjang hidup, kita akan lebih mudah memunculkannya dalam pikiran kita ketika ajal datang menjemput, misalnya terkait upaya memohon kepada guru untuk memberkati agar kita dapat mengingat instruksi mereka. Bait kedua berbunyi:

“Ketika aneka makanan dan harta yang diperoleh dengan keserakahan mesti ditinggalkan, ketika aku terpisah dengan teman-teman dan orang-orang yang kucintai, ketika aku pergi sendirian ke tempat yang mengerikan, berkatilah agar aku dapat menumbuhkan sukacita dan kepercayaan diri!”

Bait ini benar adanya. Ketika meninggal, kita tidak dapat mengambil satu pun harta benda kita. Kita mesti meninggalkan semuanya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang kita cintai, teman-teman, dan kerabat. Pada saat kematian tiba, kita mesti meninggalkan semuanya dan pergi sendirian ke tempat yang mengerikan. Inilah alasannya kita memohon kepada guru agar diberikan sukacita dan kepercayaan diri.

Di dalam Sutra Lalitawistara, Buddha memakai kiasan untuk menggambarkan perpisahan yang mesti kita lalui ketika meninggal, “Seperti gugurnya daun-daun dari sebuah pohon di musim gugur yang tidak dapat terbang ke atas dan kembali ke tempat semula, atau seperti aliran air di sebuah sungai besar yang tidak dapat mengalir kembali ke hulu, demikian pula pastinya perpisahan dengan orang yang dicintai saat kematian tiba.” Kita boleh jadi akan bertemu mereka lagi di kehidupan berikutnya. Akan tetapi, kita takkan lagi mengenali mereka sebagai teman dan lain-lain, karena seperti halnya diri kita, mereka juga sudah mengambil bentuk kehidupan yang berbeda dan takkan bisa mengingat hubungan yang pernah mereka jalin dengan kita.

Proses Kematian 2

Setelah meditasi kita sampai pada titik ini, kita mulai membayangkan dimulainya proses kematian yang sebenarnya, yakni perceraian 4 elemen yang membentuk tubuh kita, seperti elemen tanah yang larut ke air, air ke api, dan api ke angin. Kita berdoa agar dapat membangkitkan pikiran-pikiran bajik yang sangat kuat pada setiap tahap dari proses kematian.

Sebelumnya, kita menggambarkan proses kelahiran kembali sebagai suatu kesatuan dari ovum dan sperma orang tua yang memberikan dasar fisik bagi kehidupan kita, atau dengan kata lain, 4 elemen yang menyatu dengan arus batin kita. Dalam proses kematian, hal sebaliknya yang terjadi. Energi dari 4 elemen secara perlahan terpisah sampai pada akhirnya hilang dan tiada lagi dasar fisik bagi batin kita untuk melanjutkan kehidupan. Demikianlah cara kita mati.

Misalnya, ketika elemen tanah menghilang dari tubuh kita yang sudah sekarat, ia akan menjadi elemen eksternal yang bukan bagian dari makhluk hidup. Hal ini sama seperti sebuah jari yang diamputasi. Ketika jari telah dipisahkan dari tubuh kita, ia akan terpisah dari energi yang halus, yang artinya ia tidak dapat bertindak sebagai jari lagi. Sepanjang jari masih terhubung dengan tubuh kita, maka jari akan tetap terhubung dengan batin dan energi sehingga ia dapat bergerak dan merasa. Akan tetapi, ketika jari telah dipisahkan dari tubuh kita, ia akan terputus dari energi halus yang memastikan fungsinya. Dalam proses kematian, elemen tanah adalah yang pertama kali bercerai. Ketika energi halus yang menghubungkan elemen tanah dengan tubuh kita melemah, tanda luarnya adalah tubuh kita mulai kehilangan energi, dan orang yang sekarat akan merasakan sensasi seolah-olah tenggelam ke dalam tanah. Inilah alasan kenapa orang yang sekarat sering kali meminta kita untuk membantunya berdiri tegak. Ini adalah tanda bercerainya elemen tanah dari tubuh, yang membuat individu merasa seolah-olah sedang ditenggelamkan ke dalam tanah[5].

Elemen air adalah unsur kedua yang bercerai. Tanda luarnya adalah mulut yang mengering, bibir atas yang menjadi keriting, dan lubang hidung yang terjepit. Elemen api adalah unsur ketiga yang bercerai. Tanda luarnya adalah tubuh yang kehilangan panasnya dan warna tubuh yang memucat. Ketika angin sebagai elemen terakhir bercerai dari tubuh, tanda luarnya adalah kesulitan dalam bernapas.

Setiap elemen yang bercerai diikuti oleh perasaan bercerai. Sebagai contoh, ketika elemen tanah bercerai, maka kemampuan melihat juga menurun. Seseorang yang meninggal akan terlihat seperti sedang melihat dengan matanya yang membuka lebar, padahal sebenarnya ia takkan lagi merespons apa pun yang ada di hadapannya. Contoh lainnya, Ketika elemen air bercerai, indra pendengaran akan berkurang fungsinya, dan suara yang berasal dari dalam diri takkan terdengar lagi. Jadi, jika kita ingin memberi nasihat kepada orang yang akan meninggal, lakukanlah sebelum orang tersebut mencapai tahap ini, karena setelahnya mereka takkan mendengar apa pun lagi.

Ketika setiap unsur bercerai, sebuah tanda internal juga terjadi, dan ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang akan meninggal. Ketika elemen tanah larut ke dalam elemen air, orang yang sekarat akan melihat sesuatu yang menyerupai fatamorgana. Untuk tanda-tanda internal lainnya, kita bisa merujuk pada berbagai teks yang tersedia. Tanda-tanda internal tidak dilihat dengan mata kita, tetapi dengan mata batin. Tergantung pada sifat alami dari karma yang sedang memengaruhi orang yang sedang meninggal, ia akan menjalani berbagai macam pengalaman. Dalam kasus karma tidak bajik, mereka mungkin mendengar dan melihat sesuatu yang menakutkan. Ketika mereka meninggal di bawah pengaruh karma bajik, maka mereka akan mendengar dan melihat sesuatu yang menyenangkan. Bagi orang-orang yang telah mempraktikkan Dharma dengan baik dan telah sepenuhnya melatih Tantra dengan sukses, mereka akan memiliki penglihatan yang berbeda. Mereka mungkin melihat Istadewata mereka atau daka/dakini yang datang untuk menjemput mereka ke tanah suci.

Ketika ketiga elemen lainnya telah bercerai, elemen yang keempat, angin, akan bercerai ke bentuk yang disebut “penampakan putih”, yang artinya orang yang meninggal memiliki penglihatan yang sepenuhnya putih, yang digambarkan ibarat langit polos yang hanya disinari oleh cahaya bulan. Tahap selanjutnya disebut “peningkatan merah”, di mana seseorang akan melihat sesuatu yang menyerupai langit musim gugur yang sepenuhnya berwarna merah. Fase ini akan berganti ke “pencapaian hampir hitam”, di mana seseorang akan melihat langit yang gelap; tidak ada sinar matahari, cahaya bulan, bintang, atau apa pun – hanya ada kegelapan penuh. Penampakan putih, peningkatan merah, dan pencapaian hampir hitam adalah nama-nama yang diberikan pada ketiga tingkat kesadaran halus. Penglihatan yang terjadi pada tiap tahap berurutan satu sama lain. Pada tahap ini, pikiran yang kasar dan kesadaran telah tiada.

Ketika kita masih hidup, pikiran kita dikatakan kasar karena masih bergantung pada unsur angin atau energi  yang kasar. Sepanjang kita masih hidup sehat dan memiliki tubuh fisik, kesadaran kita masih tetap kasar. Melalui proses kematian, semua elemen akan bercerai satu sama lain dan kesadaran kasar yang berhubungan dengan mereka akan berakhir secara alamiah. Hal ini memunculkan perwujudan unsur angin yang lebih halus yang biasanya dihadang oleh unsur angin yang kasar. Ketika unsur angin yang halus berfungsi, kesadaran halus yang berhubungan dengannya – seperti penampakan putih, peningkatan merah dan pencapaian hampir hitam – juga akan mewujud.

Kesadaran halus ini pada gilirannya juga akan lenyap dan digantikan oleh kesadaran yang luar biasa halus – dinamakan cahaya jernih kematian, dan bergantung pada unsur angin yang luar biasa halus – yang akhirnya mewujud dengan sendirinya. Pada tahap ini, orang yang meninggal melihat sesuatu yang menyerupai musim semi yang bersih, dengan langit biru pekat nan murni yang bebas dari cahaya matahari dan bulan. Dalam terminologi Buddhis, inilah momen sebenarnya dari kematian.

Ketika cahaya jernih kematian telah tiba, waktunya bisa lebih pendek atau lebih panjang, tergantung setiap individu yang mengalaminya. Untuk makhluk biasa, proses ini dapat bertahan hingga 3 hari, dan secara alamiah bersifat netral. Ketika proses ini berakhir, perceraian terjadi pada tahap yang terbalik. Ketika meninggal, kesadaran yang muncul sebelum cahaya jernih kematian adalah pencapaian hampir hitam. Hal ini bertepatan dengan kelahiran kembali di alam bardo. Dalam fase ini, pencapaian hampir hitam diikuti oleh peningkatan merah, lalu oleh penampakan putih, dan seterusnya.

Dari penampakan putih yang halus, kesadaran kasar akan muncul, dan pada saat itu kehidupan makhluk di alam bardo dimulai.  Bentuk pikiran yang kasar menyediakan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain dan seterusnya. Pada akhir kehidupan di alam bardo, prosesnya mengikuti proses perceraian yang sebelumnya. Pikiran kasar akan bercerai menjadi penampakan putih, yang kemudian diikuti oleh peningkatan merah, pencapaian hampir hitam, dan cahaya jernih kematian. Pada titik ini, kehidupan akan berakhir. Dan sekali lagi, pencapaian hampir hitam dan seterusnya terjadi. Ketika makhluk bardo mati dan terlahir kembali, tingkat kesadaran yang memasuki embrio pada kehidupan yang baru adalah pencapaian hampir hitam.

Ketika kita meninggal dan ketika kita masih sadar, penting sekali untuk mencoba membangkitkan pikiran bajik yang kuat di dalam batin. Kemampuan kita untuk melakukan ini tergantung sepenuhnya pada bagaimana kita melatih diri ketika masih hidup. Jika kita telah berlatih dengan baik, maka meskipun kita dipenuhi ketakutan ketika akan meninggal, kita akan dapat mengendalikannya. Beberapa orang yang belum berlatih dengan baik dapat dibantu atau dituntun oleh orang lain sewaktu akan meninggal. Cara terbaik untuk menolong orang yang akan meninggal adalah dengan membisiki pikiran bajik kepada mereka ketika mereka masih sadar.

Praktisi Dharma tertentu, khususnya Tantra yoga tertinggi, memungkinkan kita untuk melalui proses kematian dengan tindakan yang tepat. Kita akan mampu bermeditasi di sepanjang proses kematian. Ketika cahaya jernih kematian muncul dan seterusnya, kita akan sanggup merealisasikan Kebuddhaan. Meskipun belum dapat mencapai Kebuddhaan saat kematian, beberapa praktisi terus melanjutkan meditasi mereka di sepanjang alam bardo dan saat mereka mengambil kelahiran kembali. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kelahiran kembali yang unggul dengan kondisi ideal untuk mengejar praktik Tantra mereka. Kebanyakan makhluk biasa merasa ketakutan ketika tanda-luar dan tanda-dalam terjadi. Di sisi lain, seorang praktisi Tantra yang bermeditasi melewati proses kematian tidak memiliki rasa takut ketika penampakan putih, peningkatan merah, dan pencapaian hampir hitam muncul. Dalam semua tahap itu, ia akan sedang memeditasikan kesunyataan, dan karenanya mengerti bahwa semua penampakan ini tidak memiliki bentuk nyata yang kekal.

Ketika kita ingin membantu orang yang akan meninggal, tidak ada gunanya menuntun mereka melalui meditasi seperti ini jika mereka belum melatih Tantra. Hal yang lebih berguna adalah menyemangati mereka untuk membangkitkan pikiran bajik, seperti keyakinan pada Buddha atau guru spiritual, cinta kasih dan welas asih untuk semua makhluk, dan seterusnya; semua pikiran bajik inilah yang akan benar-benar menguntungkan mereka. Jika orang yang meninggal adalah, misalnya, penganut agama Kristen, kita mesti mengadaptasikan cara kita agar sesuai dengan keyakinan mereka. Kita seharusnya berbicara kepada mereka mengenai Yesus atau Bunda Maria agar inspirasi kebajikan muncul dalam batin mereka. Proses yang demikian akan benar-benar menguntungkan mereka.

Ketika kita sedang mencoba membantu orang yang akan meninggal, kita mesti berusaha agar tidak menjengkelkan mereka atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebagai contoh, jika mereka tidak ingin makan, maka kita tidak boleh memaksakannya. Alasannya, jika mereka meninggal dalam kondisi marah atau jengkel, situasi ini akan dengan mudah menuntun kelahiran kembali di alam neraka. Jadi, kita mesti sangat hati-hati terkait hal ini. Alih-alih, peran utama kita adalah untuk membangkitkan pikiran bajik seperti keyakinan pada objek agung, cinta kasih, dan welas asih di dalam diri mereka.

Jadi, kesimpulannya, apa cara terbaik untuk mempersiapkan kematian kita? Caranya adalah dengan membentuk sebuah kebiasaan bajik untuk mengambil perlindungan kepada objek agung seperti Triratna dan membangkitkan cinta kasih dan welas asih kepada semua makhluk – berdoa untuk kebahagiaan mereka dan berharap semoga mereka tidak menderita. Dengan membangun kebiasaan seperti ini sejak sekarang, kita akan dituntun untuk mengatasi rasa takut dan akan meninggal dengan pikiran yang bajik. Selain latihan ini, mengumpulkan kebajikan yang cukup juga merupakan hal lain yang tak kalah pentingnya. Oleh sebab itu, aspek penting dari persiapan kita menghadapi kematian adalah berupaya menetralkan karma negatif kita dengan latihan purifikasi dan menghimpun simpanan karma positif yang besar. Inilah modal terbesar kita untuk menghadapi kematian.

[1] Di sisi lain, para dewa dan makhluk neraka tidak mengalami ketidaknyamanan jasmani.

[2] Ganda-wyuha-sutra.

[3] Abhidharma-kosa.

[4] Abhidharma-samuccaya.

[5] Dalam proses kematian, sebenarnya ada 25 elemen berbeda yang akan bercerai. Rincian ini dapat ditemukan di teks lain, sehingga tidak dijelaskan di sini.

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia pada 2002
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Jika Hidupku Tinggal Sehari”