4 Sifat Karma


1. Kepastian karma

Lamrim Agung menyatakan sebagai berikut, “Semua kebahagiaan (dalam artian perasaan menyenangkan), baik yang dialami oleh makhluk biasa ataupun makhluk agung, bahkan termasuk kesenangan terkecil seperti angin semilir yang menyejukkan makhluk neraka, muncul dari karma bajik yang telah dihimpun sebelumnya. Kebahagiaan mustahil diakibatkan oleh karma buruk. Semua penderitaan (dalam artian perasaan tak menyenangkan), termasuk bahkan penderitaan terkecil yang melintas dalam arus batin seorang Arhat, muncul dari karma buruk yang telah dihimpun sebelumnya. Penderitaan mustahil diakibatkan oleh karma bajik.” Sebuah kutipan dari Untaian Berharga[1] karya Arya Nagarjuna berbunyi: “Dari ketidakbajikan, muncul segala bentuk penderitaan, dan tentu saja, semua alam menyedihkan. Dari kebajikan, muncul segala bentuk kebahagiaan, dan tentu saja, semua alam menyenangkan”.

Kebahagiaan dan penderitaan tak bisa terjadi tanpa adanya sebab masing-masing. Sebab-sebabnya harus memiliki hakikat yang sama dan sejalan dengan akibat yang dihasilkannya; mereka tak muncul dari sesosok dewa atau sang pencipta. Bila ada pihak yang mengatakan bahwa kebahagiaan tak memiliki sebab penghasilnya, itu artinya kita akan senantiasa merasakan kebahagiaan. Tapi, tentu saja, bukan demikian halnya. Kadang-kadang kita merasa bahagia, di lain waktu kita merasa tak bahagia. Susah dan senang datang silih berganti dan berubah-ubah sesuai sebab-sebabnya. Jika ada sebab, maka kita akan merasakan akibat. Tanpa sebab, kita takkan merasakan akibat.

Sebab-sebab kebahagiaan dan penderitaan tak bisa muncul dari sesuatu yang tak cocok atau tak sejalan. Mereka tak muncul dari dasar bumi atau bawah tanah. Mereka tak muncul dari balik kegelapan atau dianugerahkan oleh sesosok pencipta. Mereka juga bukan berasal dari sebab awal atau esensi awal. Prinsip ini berlaku secara umum maupun khusus pada setiap momen yang kita rasakan. Masing-masing perasaan yang kita dapatkan pada setiap momen tunggal dihasilkan oleh masing-masing sebab yang bersesuaian. Tak mungkin ada kesalahan atau campur aduk antara sebab dan akibat yang dihasilkan, baik pada level umum maupun level khusus.

Lamrim Agung mengatakan: “Secara umum, kebahagiaan dan penderitaan berasal dari karma baik dan karma buruk. Mereka muncul dari kedua jenis karma ini tanpa terkacaukan satu sama lain. Pengetahuan yang kukuh tentang kepastian hukum karma disebut sebagai pandangan benar untuk semua Buddhis dan dipuji sebagai fondasi bagi semua kebajikan.”

Alangkah baiknya jika kita bisa merenungkan kepastian hukum karma sambil merujuk pada pengalaman pribadi kita. Setiap saat, kita senantiasa mengalami salah satu dari ketiga jenis perasaan: menyenangkan, tak menyenangkan, dan netral. Semua makhluk memiliki batin, dan batin ini senantiasa berfungsi. Batin kita terdiri dari batin utama dan faktor-faktor mental. Di antara faktor-faktor mental, ada satu kategori yang disebut faktor mental yang senantiasa hadir. Dan di antara 5 faktor mental (skandha) yang senantiasa hadir, salah satunya adalah perasaan, dan hanya ada 3 kategori perasaan: menyenangkan, tak menyenangkan, dan netral.

Coba amati dan perhatikan apa pun yang kita rasakan saat ini. Seandainya kita merasa bahagia, kuatkan perasaan tersebut sehingga ia menjadi semakin jelas dan kuat. Lalu, kenalilah ia sebagai sesuatu yang muncul dari kebajikan. Sebaliknya, bila kita merasa tak bahagia, maka sadarilah perasaan tersebut dan buat ia agar menjadi semakin jelas dan kuat. Lalu, kenalilah ia sebagai sesuatu yang muncul dari ketidakbajikan. Hal yang sama juga berlaku pada perasaan netral. Dengan cara ini, kita bisa benar-benar memahami bahwa masing-masing perasaan selalu dihasilkan oleh sebab-sebab yang bersesuaian dengannya.

Pada dasarnya, kalau kita sudah memahami konsekuensi dari berbagai jenis tindakan, kita pastinya akan bertekad untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya dan menghindari ketidakbajikan sebisa mungkin, berhubung kita ingin senantiasa berbahagia dan tak ingin mengalami secuil pun penderitaan. Demikianlah penjelasan untuk karakteristik karma yang pertama, yakni kepastian karma.

2. Pertumbuhan karma yang pesat

Karakteristik yang kedua adalah pertumbuhan karma yang pesat. Artinya, sebuah tindakan sekecil atau seremeh apa pun bisa berkembang menjadi himpunan karma yang besar. Contohnya, bila hari ini kita membunuh satu makhluk dan tak mengakui kesalahan tersebut, maka esok hari karmanya sudah setara dengan membunuh dua makhluk. Esoknya lagi karma ini sudah berkembang empat kali lipat, dst. Jadi, walaupun kita hanya membunuh seekor serangga kecil, karmanya bisa menjadi setara dengan membunuh seorang manusia jika kita tak segera mengakui kesalahan kita.

Secara umum, proses pertumbuhan yang terjadi pada fenomena-fenomena eksternal seperti pertumbuhan sebuah benih tanaman pun sudah merupakan proses yang luar biasa dan mengagumkan. Namun, pertumbuhan internal, seperti pertumbuhan karma, bahkan jauh lebih pesat dan luar biasa lagi. Jika poin ini sudah dipahami, kita tak boleh lagi meremehkan karma buruk apa pun. Prinsip yang sama berlaku untuk karma baik. Karma baik sekecil apa pun yang dihasilkan akan tumbuh dengan pesat jika motivasi baik yang melandasinya bisa terus dipertahankan. Ada banyak sekali Sutra yang melukiskan proses pertumbuhan karma ini, salah satunya adalah Sutra Si Bijak dan Si Dungu.

Di dalam Lamrim Agung, terdapat penjelasan ihwal orang-orang yang telah mengalami kemerosotan dalam 4 hal: sila, ritual, mata pencaharian, dan pandangan filosofis. Dijelaskan bahwa orang-orang ini belum sepenuhnya merosot dalam hal terakhir, tapi juga belum sepenuhnya mencapai kemurnian dalam tiga hal pertama. Buddha mengatakan bahwa orang-orang seperti ini akan terlahir sebagai naga.

Alkisah, Raja Naga pernah mengajukan pertanyaan kepada Buddha: “Bhagawan, pada permulaan kalpa, aku tinggal di lautan besar dan Tathagatha Krakucchanda masih ada di dunia. Pada waktu itu, para naga berikut putra-putri mereka hanya berjumlah sedikit, dan dengan demikian pengikutku tak banyak. Sekarang, Bhagawan, jumlah para naga berikut putra-putri mereka sudah tak terhingga. O Bhagawan, apa sebab dari kondisi yang demikian?” Jawaban yang diberikan oleh Buddha kepada Raja Naga: “Wahai Raja Naga, ada makhluk-makhluk yang telah melepas dunia dan melatih sila, namun mereka tak benar-benar menyempurnakan sila-silanya. Praktik mereka tak sepenuhnya sempurna karena ritual mereka merosot, mata pencaharian mereka merosot, dan sila mereka juga merosot. Tapi, pandangan mereka tetap benar. Jadi, meski setelah mati mereka tak terlahir kembali sebagai makhluk neraka, mereka akan terlahir kembali sebagai naga.”

Dalam kisah ini, Buddha merujuk pada praktik sila. Praktik sila tak hanya mencakup sila kebiaraan yang dijalankan oleh anggota Sangha, tapi juga merujuk pada tindakan menghindari perbuatan salah, yang tak mesti tercakup dalam daftar sila. Ritual merujuk pada perilaku, baik perilaku sehari-hari maupun perilaku setelah mengambil ikrar penahbisan. Ritual penahbisan yang merosot mencakup cara makan, berjalan, dsb. Perilaku sehari-hari yang merosot merujuk pada mata pencaharian yang keliru. Pandangan yang merosot merujuk pada pandangan yang menafikan hukum karma. Bagi pihak yang tidak menjaga 3 hal pertama namun masih mempertahankan pandangan benar terhadap hukum karma, mereka akan terlahir kembali di alam naga setelah mati.

Dikisahkan lebih lanjut bahwa selama periode Buddha Krakucchanda, 980 juta perumah tangga dan mereka yang melepas keduniawian terlahir sebagai naga karena ritual, mata pencaharian, dan sila yang merosot. Selama periode Buddha Kanakamuni, jumlahnya mencapai 640 juta orang. Selama periode Buddha Kasyapa, jumlahnya mencapai 800 juta orang. Selama periode Buddha Shakyamuni, 990 juta orang telah dan akan terlahir kembali sebagai naga. Meskipun terlahir kembali sebagai naga, namun karena keyakinan terhadap ajaran yang tak merosot, kelak setelah mati nanti, mereka akan terlahir kembali sebagai dewa atau manusia. Bahkan, terkecuali bagi mereka yang sudah memasuki Mahayana, seluruh naga dengan keyakinan yang tak merosot ini akan memasuki nirwana pada kalpa yang beruntung.

Seluruh penjelasan rinci di atas terkandung di dalam Lamrim Agung. Poin penting yang ingin disampaikan adalah: meski kita memiliki sila, ritual, dan mata pencaharian yang merosot, pandangan yang benar terhadap hukum karma akan menyelamatkan kita dari penderitaan alam rendah.

3. Kita takkan mengalami akibat dari karma yang tidak kita lakukan

Karakteristik ketiga bisa dipahami dengan mengamati peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Ada orang-orang yang berangkat ke medan perang dan terbunuh, tapi sering juga ada segelintir orang yang selamat; mereka biasanya hanya terluka, tidak sampai meninggal. Ada juga orang-orang yang selamat dari kecelakaan parah yang menewaskan hampir semua orang. Kalau kita memikirkannya baik-baik, sebenarnya ini bukan sebuah keajaiban. Orang-orang yang selamat memang pada dasarnya tidak memiliki karma untuk meninggal pada waktu dan kondisi saat itu. Dengan kata lain, seseorang takkan mengalami akibat dari karma yang tidak dilakukannya.

4. Karma yang telah dilakukan takkan hilang begitu saja

Ketika, misalnya, sebuah karma baik telah dilakukan, maka selama kebajikannya belum dihancurkan oleh klesha, kita akan mengalami akibatnya. Hal yang sama berlaku untuk karma buruk. Tanpa memurnikan karma buruk, kita pasti akan mengalami akibatnya. Demikianlah penjelasan ringkas tentang 4 karakteristik hukum karma secara umum.

[1] Ratnawali atau Ratnamala.

Dikutip dari pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Biezenmortel, Belanda pada 21-24 Februari 2013.

Transkrip lengkap dapat dibaca dalam buku “Karma dan Akibatnya”.
Buku fisik ini dapat didapatkan di sini. Tersedia juga dalam bentuk ebook di sini.