7 Poin Latihan Batin: Mentransformasi Penderitaan untuk Perkembangan Batin
Pengajaran Guru Dagpo Rinpoche, 29 – 30 Mei 2021
Sesi pengajaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche kembali diadakan pada tanggal 29-30 Mei 2021. Pada pengajaran kali ini, Guru Dagpo Rinpoche membabarkan mengenai 7 Poin Latihan Batin (Lojong) Geshe Chekawa yang diulas oleh Kyabje Trijang Rinpoche. Dalam kesempatan yang amat bajik dan berharga ini, Guru Dagpo Rinpoche tidak hanya mentransmisikan dan mengalirkan realisasi Beliau terkait bodhicitta, tetapi juga bentuk-bentuk latihan spiritual, instruksi, dan sila yang berkaitan dengan lojong. Lojong sendiri adalah salah satu praktik Dharma yang berasal dari seorang mahaguru Dharma Nusantara yang tersohor di era Sriwijaya, yang bernama Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Silsilah ini memiliki dua sumber. Yang pertama berasal dari Arya Asanga yang mewariskannya kepada Lama Serlingpa (Guru Suwarnadwipa Dharmakirti) dan yang kedua berasal dari Arya Manjushri, yang meneruskan silsilah ini kepada Shantidewa, lalu kepada Lama Serlingpa.
Guru Dagpo Rinpoche membuka sesi pengajaran dengan mengajak kita untuk merenungkan 6 topik Lamrim yang menjadi “praktik pendahuluan” sebelum memasuki poin-poin yang harus dipraktikkan dalam lojong. Topik-topik tersebut yakni kelahiran sebagai manusia yang berharga, kematian, penderitaan di alam rendah, berlindung, karma, dan penderitaan samsara. Dalam kaitannya dengan bodhicitta, Rinpoche mengatakan bahwa sejauh apa kita bisa mengamati situasi samsara, maka sejauh itu pulalah kita harus berusaha membangkitkan tekad bodhicitta dalam hati kita. Misalnya, ketika kita tengah melihat penderitaan di alam manusia, renungkanlah penderitaan yang dialami di alam tersebut dan bangkitkan aspirasi untuk membebaskan makhluk dari alam manusia.
Rinpoche juga mengingatkan kita akan pentingnya untuk senantiasa mengingat bahwa kita saat ini dicengkeram oleh ketidakkekalan dalam bentuk kematian. Hal ini karena ingatan akan kematian akan sangat bermanfaat sebagai dorongan untuk melatih batin. Kita juga harus memahami dengan baik bahwasanya sifat dasar alami kita dan semua makhluk adalah harus mengalami penderitaan. Mengapa demikian? Hal ini semata-mata karena kita selalu berada di bawah kendali karma dan klesha. Kita kemudian berlatih untuk memahami dan membangkitkan mengenai topik-topik tersebut dalam batin berulang kali agar bodhicitta bisa tumbuh dan berkembang dalam batin kita.
Bagaimanakah cara kita bisa merenungkan penderitaan tersebut dalam kaitannya dengan bodhicitta? Rinpoche menjelaskan bahwa sulit tentunya bagi kita untuk menghapuskan semua jenis penderitaan di dunia ini, sebab yang namanya manusia pastilah akan mengalami penderitaannya masing-masing dengan intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sebelum sampai pada perenungan bodhicitta (baca lebih lanjut mengenai bodhicitta di sini), kita harus bisa merenungkan terlebih dahulu penderitaan kita masing-masing, misalnya kondisi kesehatan yang kurang baik, hubungan keluarga yang tidak harmonis, pekerjaan yang kurang lancar, dsb.
Je Rinpoche menyatakan bahwa untuk bisa benar-benar terbebas sekaligus membebaskan semua makhluk yang sama-sama mengalami penderitaan selayaknya diri kita, kita harus membangkitkan bodhicitta konvensional terlebih dahulu, yakni dengan menyamakan diri kita dengan makhluk lain, merenungkan dari berbagai sudut pandang kerugian mementingkan diri kita sendiri, merenungkan dari berbagai sudut pandang keuntungan memikirkan orang lain, dan memeditasikan praktik terima dan kasih (tonglen).
Untuk bisa melakukan hal-hal tersebut, kita perlu pertama-tama melihat diri kita sendiri sebagai musuh. Sebab jika kita tidak bisa melihat diri kita sendiri sebagai musuh, kita bisa jadi akan berbuat banyak karma buruk semata-mata untuk memuaskan keinginan diri kita yang kita anggap penting layaknya titik pusat semesta, yang malah akan berakibat pada timbulnya penderitaan bagi diri kita. Sikap mementingkan diri sendiri ini sesungguhnya menyadarkan kita bahwa kita adalah biang kerok dari penderitaan kita sendiri.
Kendati demikian, dalam hidup, tak sepenuhnya kita menemui kesulitan dan penderitaan, ada kalanya pula kita mendapatkan hal-hal baik dan keberuntungan. Dari manakah asalnya? Kebaikan yang kita terima sesungguhnya datang dari kebaikan semua makhluk. Misalnya, makanan yang kita makan berasal dari adanya jerih payah berbagai orang di dalamnya hingga makanan bisa terhidang di piring kita. Contoh lainnya misalnya kita bisa mendengarkan ajaran dari Rinpoche hari ini karena adanya orang-orang yang bekerja menyediakan fasilitas untuk pengajaran daring. Semua kebahagiaan, baik yang sementara maupun tertinggi di dunia ini, datang hanya dari keinginan agar semua makhluk bahagia. Mengapa demikian? Hal ini karena dengan bertumpu pada semua makhluk, artinya kita tengah bertumpu pada Buddha, dan dengan cara itulah kita bisa mencapai pencerahan. Akan tetapi, apa yang selama ini kita lakukan? Kita malah berusaha mencela dan mencelakakan semua makhluk akibat keegoisan kita.
Setelah menyadari kebaikan hati semua makhluk kepada kita, kita kemudian mempraktikkan terima dan kasih kepada semua makhluk secara bergantian. Terima, yakni menerima penderitaan makhluk lain, dan kasih, yakni memberikan kebahagiaan kita. Mengapa kita melakukan hal tersebut?
Dengan memiliki sikap mementingkan diri sendiri, kita akan terus merasa bahwa segala sesuatu tidak berjalan dengan baik dan sesuai dengan keinginan kita. Kita merasa bahwa mengejar kebahagiaan pribadi adalah hal yang paling penting. Namun bagaimanakah kenyataannya? Sejak waktu tak bermula, kita sudah mementingkan diri kita sendiri, namun apakah hasilnya? Hanyalah penderitaan yang masih kita rasakan hingga kini. Oleh karena itu, alih-alih tenggelam dalam sikap tersebut dan penderitaan yang tiada akhir, kita sebaiknya berusaha untuk mentransformasi hal yang tidak menguntungkan seperti kondisi sulit yang kita alami menjadi sebuah jalan pencerahan dengan mengubah cara pikir dan cara kita bertindak. Kita bisa berlatih untuk memandang orang yang menyakiti kita sebagai guru yang membantu kita di jalan pencerahan. Kita juga bisa mengubah pola pikir kita dengan melihat kondisi buruk sebagai pendorong kita kepada kebajikan dan penyakit ibarat hal yang menyapu karma buruk dan penghalang yang kita miliki.
Jika kita sedang menderita, alih-alih hanya merasa sedih dan mengeluh pada orang lain yang juga tidak menghilangkan penderitaan yang dirasakan, kita sebaiknya berdoa bahwa penderitaan yang kita jalani saat ini bisa mengurangi penderitaan semua makhluk dan mengeringkan samudera penderitaan semua makhluk secepat mungkin. Ketika sedang merasa bahagia, alih-alih melekat, kita sebaiknya mempersembahkan semua kebahagiaan ini untuk semua makhluk. Dengan sikap seperti ini, kalau kita bisa melihat apapun yang menimpa diri kita, baik ataupun buruk, sebagai guru spiritual kita, maka apapun yang terjadi tak akan lagi jadi soal.
Di akhir sesi, Rinpoche juga menjelaskan bahwa penderitaan yang kita alami adalah sesuatu yang mampu menuntun kita menuju pencapaian. Kita selalu bisa mentransformasi keadaan yang merugikan sebagai sesuatu yang membuahkan hal yang baik bagi batin kita. Ketika melarat atau kekayaan kita merosot, kita justru harus merasa lega karena kita bisa menggunakan waktu untuk menjadi praktisi Dharma yang baik. Ketika dicela, berbahagialah, sebab kesalahan kita jadi jelas terlihat dan bisa kita perbaiki.
Intinya, ketika kita merasa bahagia, jangan terlena dalam kesenangan. Justru saat menderitalah kita harus merasa bahagia. Sebab ketika kita bahagia, klesha kita sering kali berkobar sementara saat menderita, artinya karma buruk kita akan dihabiskan dan kelak akan memperoleh akibat yang lebih baik lagi dari praktik berlindung kita kepada Guru dan Triratna. Jika kita mengetahui cara menghadapi penderitaan, kita akan menyadari bahwa penderitaan itulah yang sesungguhnya akan membawa kita kepada pencapaian pencerahan.
Leave a Reply