Keagungan Sriwijaya
Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru
Tutur sabda Dharmapala Sakyakhirti Dharmakhirti
Berkumandang dari puncaknya Siguntang Maha Meru
Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha shakti
Bait di atas adalah sebagian lirik lagu yang biasa dilantunkan untuk mengiringi tari Gending Sriwijaya, tarian khas Sumatera Selatan yang khusus ditarikan untuk menyambut tamu-tamu agung. Lagu ini mengisahkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang dulu pernah berdiri di Sumatera Selatan pada abad VII M. Secara khusus, lagu ini mengisahkan kebesaran Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan Buddhis, bahkan menyebutkan nama para mahaguru yang pernah mengajar di sana. Sriwijaya memang salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara. Sriwijaya juga telah mewariskan banyak peninggalan budaya, baik yang bersifat fisik maupun berupa nilai-nilai bajik yang membentuk karakter bangsa. Sayangnya, sebagai orang Indonesia, juga sebagai seorang Buddhis, tak banyak yang kita ketahui mengenai kerajaan ini.
Salah satu literatur yang paling banyak menggambarkan situasi Kerajaan Sriwijaya adalah “Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan” karya Yi Jing (635-713 M), seorang biksu Tiongkok yang sempat singgah di Sriwijaya di perjalanan dari dan ke India untuk mempelajari Buddhadharma. Beliau membuat catatan mengenai kehidupan di tempat-tempat yang Beliau singgahi di sepanjang perjalanan, termasuk di Sriwijaya. Dalam catatan Beliau, Sriwijaya disebut dengan nama Mandarin “Shili Foshi” dan diperkirakan berlokasi di Sumatera berdasarkan acuan jarak dan geografis yang tercantum di catatan tersebut.
Seperti apa Sriwijaya di mata Yi Jing? Ada banyak keagungan Sriwijaya yang tertulis di catatan Sang Biksu. Sriwijaya atau Shili Foshi diduga merupakan koloni dari dinasti raja-raja Jawa yang berkembang amat pesat hingga menguasai wilayah Melayu. Shili Foshi juga merupakan pelabuhan dagang utama dengan Tiongkok, bahkan sampai memiliki pelayaran reguler untuk keperluan perdagangan. Raja Foshi juga memiliki kapal-kapal untuk pelayaran ke India untuk keperluan dagang. Komoditas utamanya adalah pinang, pala, cengkeh, dan kamper. Tidak hanya itu, Shili Foshi juga memiliki emas berlimpah sehingga masyarakatnya memiliki kendi-kendi dan patung dari emas.
Keagungan Sriwijaya yang amat penting untuk kita ketahui tentunya berhubungan dengan statusnya sebagai pusat pembelajaran Buddhadharma. Yi Jing mencatat terdapat ribuan biksu yang belajar di Sriwijaya. Yi Jing sendiri belajar Bahasa Sansekerta di Sriwijaya untuk mendukung usahanya mempelajari dan menerjemahkan berbagai teks Buddhis ke Bahasa Tiongkok. Beliau menyatakan bahwa siapapun yang hendak belajar Buddhadharma di India hendaknya tinggal untuk beberapa waktu di Shili Foshi untuk mempelajari bahasa dan tata cara yang benar sebelum menuju India. Yi Jing mencatat bahwa Buddhadharma yang dipelajari dan dipraktikkan di Shili Foshi mencakup Hinayana dan Mahayana serta menganut tradisi Mulasarwastiwada. Terdapat patung Buddha di Shili Foshi yang disebut dengan nama “Gunung Emas dan Perak”. Selain itu, masyarakat biasa mempersembahkan bunga teratai dari emas kepada Buddha.
Selain dari catatan Yi Jing, bukti lain dari besarnya peradaban Buddhadharma adalah prasasti Nalanda yang ditemukan di kompleks biara universitas Nalanda, India. Prasasti tersebut merupakan tanda kerja sama antara Sriwijaya dengan biara universitas Buddhis tertua itu dalam hal pendirian asrama untuk biksu-biksu Sriwijaya yang belajar di India. Ada lagi Candi Borobudur, kompleks candi Buddhis terbesar di dunia yang telah dikukuhkan sebagai warisan dunia asli Indonesia. Candi ini didirikan oleh Wangsa Syailendra yang juga merupakan wangsa yang berkuasa di Sriwijaya.
Di antara berbagai bukti keagungan dan peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang bisa kita lihat sekarang, tentunya yang paling bermakna adalah peninggalan berupa Dharma atau ajaran bajik yang menjadi bagian dari karakter bangsa kita dan menginspirasi seluruh dunia. Kitab-kitab India dan Tibet mencatat tentang sosok mahaguru dari Sriwijaya yang yang namanya juga disebutkan dalam lagu Gending Sriwijaya, yaitu Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Beliau adalah pangeran Sriwijaya yang memilih untuk menjadi biksu dan akhirnya menjadi mahaguru yang mengajar ribuan biksu di tempat yang kini kita kenal sebagai Candi Muaro Jambi. Pandit besar dari India, Atisa Dipankara, menempuh perjalanan jauh dari India ke Sriwijaya demi berguru kepada Beliau selama belasan tahun sebelum belakangan pergi ke Tibet dan mereformasi Buddhadharma di sana. Melalui Guru Atisa, ajaran Guru Suwarnadwipa dilestarikan di Tibet, diwariskan turun-temurun dari guru ke murid dan menjadi bagian yang amat penting dalam Buddhisme Tibet yang kini dipelajari di berbagai penjuru dunia. Secara khusus, Guru Suwarnadwipa dikenal sebagai pewaris autentik ajaran Bodhicita atau batin pencerahan, yaitu batin yang bertekad untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna demi menolong semua makhluk. Beliau mengajarkan cara melatih Bodhicita ini melalui praktik yang dikenal dengan istilah “Terima Kasih” (“Tong Len” dalam Bahasa Tibet), yaitu praktik menerima penderitaan dari semua makhluk dan sebagai gantinya memberikan kebahagiaan pada mereka. Kini, “Terima Kasih” merupakan ungkapan yang digunakan untuk membalas kebaikan orang lain di seluruh Indonesia. Amatlah mungkin budaya berterima kasih ini merupakan nilai bajik yang diwariskan dari peradaban Sriwijaya.
Itulah berbagai keagungan Kerajaan Sriwijaya, peradaban Buddhis dari Nusantara yang juga memiliki pengaruh besar pada dunia. Sebagai umat Buddhis Indonesia, sudah sepantasnya jika kita terus menggali lebih banyak mengenai peradaban Buddhis Nusantara ini dan turut melestarikan peninggalan dan ajaran kebajikan dari Sriwijaya. Kita bisa mencarinya dari mempelajari buku-buku sejarah, mengikuti seminar yang berkaitan dengan sejarah, serta mempelajari Dharma dan menghadiri sesi-sesi pengajaran Dharma. Salah satu guru Dharma yang dapat membantu kita mempelajari Dharma warisan Sriwijaya adalah Guru Dagpo Rinpoche Jampel Jhampa Gyatso, kelahiran kembali dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti telah rutin mengajarkan Dharma yang Beliau terima dari silsilah Atisa di Indonesia. Dengan kata lain, Beliau telah mengembalikan ajaran kebajikan dari Sriwijaya ke Nusantara masa kini sehingga dapat kita pelajari. Maka dari itu, tentu tak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari tahu dan mendalami ajaran kebajikan yang menjadi sumber dari keagungan peradaban leluhur bangsa kita, Kerajaan Sriwijaya.
Baca juga: https://dagporinpoche.id/2019/03/26/kembalinya-ajaran-warisan-sriwijaya/
Artikel ditulis oleh Karina Chandra
Leave a Reply