Lama Serlingpa, Sang Penguasa Suwarnadwipa
“Lama Serlingpa, yang merealisasikan batin pencerahan, pilar penopang Dharma, kepada-Mu aku memohon.”
Cara Beliau terlahir di dalam keluarga berkasta tinggi
Dalam bahasa Sanskerta Beliau bernama Shri Suwarnadwipa, lahir sekitar tahun 950 setelah masehi. Beliau diberi gelar kehormatan oleh muridnya yang paling berpengaruh, Shri Atisha Dipamkara, dengan sebutan Lama Serlingpa, penguasa Suwarnadvipa, Gyālpo Pelden Chōkyong. Pada masa itu, Raja Syailendra yang berpengaruh berkuasa penuh atas sejumlah besar wilayah di Laut Selatan: mulai dari pesisir Kamboja dan Vietnam, melalui pulau-pulau dan semenanjung Indonesia dan Malaysia, hingga ke Maladewa dan sekitarnya, termasuk Selat Sunda. Perahu jung Cina, perahu dhow Arab dan kapal pedagang Bengali tiba dengan bebatuan mahal yang indah, berikut logam mulia, emas, yang tersimpan begitu banyaknya, sehingga tempat itu diberi julukan Suwarnadwipa, kerajaan pulau emas. Tiga ratus tahun yang lalu, raja-raja dari India Selatan telah berdatangan untuk menaklukkan tempat itu. Kerajaan mereka diberi nama Sriwijaya, nama yang bergaung hingga ke seluruh penjuru lautan.
Raja-raja Dinasti Syailendra mempraktekkan berlindung pada Tiga Permata. Mereka membuat rupang dan tempat berteduh dan membangun pusat-pusat Dharma sebagai sumber dari mana ajaran itu disebarkan. Mereka menjalin hubungan dengan pusat pembelajaran India yang termahsyur, Universitas Nalanda, di mana mereka membangun sebuah biara untuk para murid yang ingin tinggal di sana. Hingga akhirnya mereka membangun Candi Borobudur, mandala batu terbesar yang pernah dibangun di muka bumi ini, untuk menghormati Tiga Permata. Lama Serlingpa terlahir di tengah keluarga ini.
Bayi itu belum lama lahir ketika ia bersuara: “Sina, Sina!” yang dalam bahasa di negaranya berarti ‘Tiga Permata’. Pada saat kelahirannya, ajaran Buddha sudah hampir sirna dari Pulau Sumatera.
Para penduduk Saiwa mengikuti ajaran aliran filosofis non-Buddhis, ajaran Thirtika. Rakyat Sang Raja, ayah Beliau, telah berpaling dari Dharma, bahkan boleh dikatakan mereka menunjukkan rasa muak yang kuat terhadap ajaran. Pangeran masih sangat muda ketika sedang berjalan melalui padang rerumputan dan menemukan sebuah rupang Buddha Sakyamuni yang terbuat dari emas murni. Panjangnya sekitar tiga puluh sentimeter. Cukup ini saja yang diperlukan oleh Beliau untuk memiliki keyakinan terhadap Buddha, yang dirasakan oleh pangeran di dalam hatinya, tumbuh dan berkembang hingga suatu titik di mana keyakinannya menjadi jelas terlihat.
Perbuatannya yang murni dan tanpa cela membuat para pengkritik ajaran Buddha terdiam dan memastikan kerajaan terlindungi dari segala bahaya, yang mengancam keselamatan para pengikut Sang Raja, ayahanda Beliau. Hanya memandangi rupang Buddha, anak itu dipenuhi sukacita mendalam dan mulai berpikir tentang kebahagiaan. Beliau mempersembahkan doa sepenuh hati kepada rupang Buddha tanpa henti, memberi banyak persembahan, dan memohon perlindungan. Rupang Buddha menjadi objek rasa hormat dan pengabdian Beliau. Keyakinannya terhadap Buddha bertambah kuat setiap hari. Hal ini membawa banyak keberuntungan bagi penduduk pulau tersebut. Karena pengabdian sang pangeran, mereka melewati hari-hari dalam kedamaian dan hidup makmur dengan panen yang berlimpah dan lenyapnya penyakit yang mengancam jiwa manusia dan binatang. (1)
Cara Beliau mendapat pengetahuan dan mencapai realisasi dalam satu masa kehidupan
Pangeran muda tumbuh dewasa dan seiring bertambahnya usia, keyakinannya terhadap Tiga Permata semakin bertambah dalam. Saatnya telah tiba ketika Beliau memutuskan untuk berbicara dengan Sang Ayahanda Raja. Beliau meminta izin untuk berkunjung ke India, tanah di mana Pangeran Siddhartha Gautama terlahir dan mencapai realisasi kesempurnaan. Beliau memutuskan untuk berziarah ke tempat-tempat suci di mana Buddha Sakyamuni lahir, mencapai penerangan, mengajar dan memasuki Parinirvana. Beliau juga berharap dapat menemukan guru spiritual, untuk menerima semua instruksi yang berharga serta tidak ingin melewatkan kesempatan mengunjungi biara-biara besar di India Tengah, Magadha, yang berkembang pesat pada masa itu.
Ayahanda memberikan persetujuan dan restunya, jadilah pangeran muda mengarungi lautan menuju India. Dalam perjalanannya Beliau berlabuh di Pulau Jawa, yang pada masa sekarang, di area Candi Borobudur, kita masih dapat melihat rumah tempat Beliau tinggal ketika berada di situ. Melanjutkan perjalanan, Beliau tiba di tepi Sungai Gangga. Dari situ Beliau mencapai Bodhgaya, tujuan ziarahnya. Ketika tiba di Biara Vajrasana, ia menemukan banyak sekali peziarah. Di tempat suci tersebut, tempat di mana Buddha mencapai penerangan sempurna, sebuah pertemuan sedang digelar. Orang-orang yang menyebut dirinya terpelajar hadir bersama para murid mereka. Tak diragukan, tidak ada kesempatan yang lebih baik lagi bagi seseorang untuk mencapai tujuannya. Di semua tempat perdebatan, di semua perpustakaan, biara dan tempat berteduh, para guru dari semua aliran filosofis Buddhis dikelilingi oleh para murid mereka dan memberikan ajaran tentang Dharma.
Di tengah para cendekiawan ini, salah satunya menarik perhatian Beliau. Sang Guru menunjukkan semua tanda akan realisasi sempurna. Sang Guru adalah Sri Maharatna, yang pengetahuannya sangat dalam dan sempurna, dikombinasikan dengan praktik pribadi dan realisasi. Ia telah mendapatkan kekuatan gaib umur yang sangat panjang. Seketika bertemu dengannya, pangeran merasakan hormat yang mendalam terbit di dalam hatinya serta memiliki keinginan yang tulus untuk menjadi muridnya, tanda bahwa mereka telah memiliki jalinan karma yang sama pada kehidupan sebelumnya. Karena jauh lebih baik untuk tidak terburu-buru dan berhati-hati saat memilih seorang guru, pangeran mengunjungi Sang Guru selama tujuh hari agar dapat mengamatinya. Beliau mengikuti Sri Maharatna dari dekat dan menghadiri setiap pengajaran yang diberikan. Dengan berhati-hati, pangeran bertanya kepada para peserta lain, guru seperti apakah Sri Maharatna ini. Rasa hormat yang besar dan keyakinan penuh semakin tumbuh berkembang dalam dirinya hingga Beliau merasakan kepastian bahwa di hadapannya adalah Guru yang dapat membimbing dalam hal belajar, refleksi dan meditasi, hingga mencapai realisasi sempurna.
Hal ini berlangsung selama tujuh hari. Pada pagi hari ke delapan, Beliau tidak dapat menemukan Sri Maharatna di Bodhgaya. Tidak ada orang yang bisa memberinya informasi tentang keberadaan Guru terpelajar tersebut. Sang Guru menghilang tanpa jejak. Pangeran berpikir bahwa Sang Guru telah berziarah ke tempat suci lain dan memutuskan untuk menyusulnya. Tanpa menunda Beliau memutuskan untuk tidak mencari lebih jauh dan berangkat secepatnya. Beliau tidak memperdulikan biaya dan kesulitan yang dihadapi untuk mencari Sang Guru di seluruh penjuru India Utara. Beliau mengunjungi semua tempat suci yang dirasakan mungkin bagi Gurunya untuk berada di sana, tanpa melewatkan satu tempat pun. Perjalanan membawanya hingga Taman Lumbini, hutan yang telah menjadi saksi bagi kelahiran Pangeran Siddhartha, melewati tepi Sungai Nairanjana, melewati bayang-bayang Taman Rusa Varanasi, tempat Buddha mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia untuk pertama kalinya, hingga ke Kushinagara, tempat Buddha meninggalkan tubuh dunianya. Sang Guru Sri Maharatna lenyap bak kejadian gaib. Apapun yang dilakukan, Beliau sama sekali tidak mendapatkan informasi tentang keberadaan Sang Guru.
Menyerah dalam pencariannya, Sang Pangeran dari Indonesia memutuskan untuk memakai jubah bhiksu dan memasuki biara untuk menyelesaikan latihan dan mengikuti kelas. Untuk tujuan ini beliau memilih tinggal di Biara Wikramasila, biara di mana orang tuanya adalah salah satu donatur utama. Walaupun Biara Wikramasila belum berdiri selama tetangganya yang terkenal,Nalanda, biara tersebut memiliki reputasi yang baik karena dua hal berikut: Tingkat pelajarannya sangat tinggi dan disiplin biara yang sangat menyeluruh.
Beliau meminta izin untuk tinggal dan mendapatkan persetujuan. Selama tujuh tahun Beliau mengabdikan diri untuk belajar, refleksi dan meditasi di bawah pengarahan Guru yang bereputasi baik, di antaranya Guru Géwachen (2). Demikianlah Beliau mendapatkan pengetahuan dan sepenuhnya menguasai ilmu pengetahuan duniawi dan Dharma.
Suatu malam ketika sedang tidur lelap, Beliau bermimpi. Sri Maharatna sedang duduk di atas kepalanya. Guru yang selama ini dicari dengan penuh keputus-asaan, yang tidak dapat ditemukan walau mengerahkan segenap upaya dan keyakinan yang kuat, akhirnya datang dan berkata: “Takhta Raja yang kau warisi melalui leluhurmu, kesenangan duniawi, penghormatan yang kau dapatkan karena kasta bangsawanmu, apa yang akan terjadi dengan semua itu suatu hari nanti? Mereka adalah godaan yang penuh kebohongan, ilusi yang suatu hari akan hilang, kenikmatan yang cuma sebentar saja, tidak berharga seperti kulit gandum yang kosong tertiup pusaran angin. Cepat atau lambat semua itu akan lenyap, terbawa oleh arus kehidupan, jerami-jerami rapuh yang berterbangan tertiup angin badai kematian! Mau hingga kapan kau menjadi budak dari semua itu?”
“Ada pangkat raja yang jauh melampaui itu semua. Para pengecut kehidupan maupun iblis kematian takkan sanggup merebutnya darimu. Raja yang memiliki kelebihan tidak hanya untuk sementara, tapi akan bertahan selamanya. Telah tiba saatnya bagimu untuk memilih. Apakah kau akan menyerahkan kerajaan duniawimu untuk menjadi Raja Dharma?” Tiga kali Sri Maharatna menanyakan kalimat terakhir ini dan tiga kali Lama Serlingpa menyetujuinya dengan kalimat: “Mulai saat ini hingga aku mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha untuk kepentingan semua makhluk, dengan ini aku membuang semua yang menjadi milik samsara untuk selanjutnya mendedikasikan hidupku hanya untuk Dharma.”
Sejak saat itu Lama Serlingpa menikmati keuntungan dari pelajaran yang sangat berharga dari Gurunya. Beliau memperdalam pengetahuan yang telah didapatkan dan mempelajari pengetahuan baru. Berkat restu Guru, pengetahuannya menjadi sangat mendalam, hingga jalan mencapai Kebuddhaan terbuka baginya. Lama Serlingpa melanjutkan dan menyelesaikan masa belajarnya di Biara Wikramasila. Karena itu Beliau menjadi pewaris yang sempurna untuk dua garis ajaran yang sangat penting untuk pengembangan Bodhicitta, pikiran spontan menuju pencerahan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Asanga, yang telah mendapatkan metode dari Buddha Maitreya, mewariskan garis ajaran pertama yang disebut “Latihan Batin Tujuh Poin”. Garis ajaran yang kedua disebut “Menukar Diri dengan Makhluk Lain” didapatkan melalui Arya Shantidewa yang mewarisinya dari Buddha Manjushri. Maka Lama Serlingpa menjadi pemegang kedua garis silsilah tersebut (3). Selama periode ketika Lama Serlingpa tinggal bersama Gurunya di India, beliau mempelajari banyak teks agung dan komentar tentang semua aliran ajaran dan mendapatkan pengetahuan yang sempurna dari ajaran tersebut.
Berikutnya Beliau menghasilkan sejumlah besar karya, beberapa di antaranya sampai pada kita melalui ajaran Tengyur. Beliau mendirikan dan memperkuat pandangan filosofis aliran Chittamatra. Salah satu karya Beliau yang paling penting adalah komentar terhadap Abhisamaya-alankara (namah prajnaparamita satra vritti dhurboha aloka namatika), berdasarkan komentar terhadap teks Chandrakirti yang ditulis oleh Arya Haribhadra. Teks tersebut adalah risalah resmi yang dipakai oleh Guru Indonesia dalam menjelaskan dan merincikan yang terakhir dari Enam Paramita: yaitu prajna, Ibu semua Buddha.
Cara Beliau berkarya dalam Dharma di negaranya
Setelah menyelesaikan masa belajar dan memperoleh realisasi yang berkaitan, Lama Serlingpa kembali ke Pulau Sumatera untuk berkarya demi Dharma. Beliau menetap di Biara Wijayanagar, Istana Payung Perak, dan mulai mengajar di sana. Kebijaksanaan dan realisasi pribadinya sedemikian baik sehingga banyak penduduk pulau tersebut yang berpindah keyakinan menjadi buddhis dan dari seluruh penjuru dunia para murid berkumpul untuk menerima pengajaran dari Beliau. Walaupun Beliau tidak pernah keluar dari biaranya lagi, para murid datang dari jauh ke Suwarnadwipa. Sekembalinya ke Indonesia Beliau terkenal dengan nama Dharmakirti dari Suwarnadwipa, untuk membedakannya dengan Dharmakirti yang lain, seorang pemikir dari India, dan untuk mengingatkan kita akan negara asal kelahiran beliau, Indonesia. Karena welas asih Beliau untuk makhluk hidup sangat besar dan bahasa Sanskerta untuk cinta adalah maitri, Beliau mendapat julukan Maitri atau Maitreya. Ketika murid utamanya, Atisha, akhirnya tiba di Tibet, orang Tibet menerjemahkan nama Suvarnadvipa menjadi Lama Serlingpa, yang masih menjadi nama keluarganya.
Hal di atas menjelaskan mengapa pada tahun 1012, Atisha Dipamkara, pada saat itu berusia tiga puluh tahun, menumpang kapal pedagang yang hendak menuju Suwarnadwipa, ditemani oleh para sarjana terpelajar lainnya dan beberapa orang murid. Mereka melakukan perjalanan menuju Suwarnadwipa dalam rangka menerima instruksi lengkap dari Lama Serlingpa dan bermeditasi di sana hingga mencapai realisasi. Karena memang benar adanya tidak ada poin lain yang lebih penting daripada Bodhicitta, kualitas tunggal yang dapat mengarahkan seseorang menuju penerangan sempurna Sang Buddha.
Setelah perjalanan panjang penuh bahaya selama tiga belas bulan, akhirnya pesisir pantai yang berhutan muncul dalam jarak pandang, tempat tinggal yang demi Beliau mereka telah meninggalkan segalanya untuk menerima pengajaran yang berharga. Kapal itu berlayar di sepanjang pantai hingga sebuah sungai yang luas muncul di hadapan mereka. Kemudian mereka mengarungi hulu sungai selama tiga hari dengan mengandalkan arus sungai, bergerak pasti menuju arah Barat Daya. Lalu, di cekungan sungai yang luas itu, kapten kapal menurunkan jangkar karena mereka telah tiba di Sriwijaya, ibukota Suwarnadwipa.
Di sebelah Utara, sebuah hutan yang gelap memanjang di sepanjang bukit hingga sejauh mata memandang. Di sebelah Barat, batang-batang pohon bambu yang ringkih berayun pelan ditiup angin. Di Timur hamparan luas rawa-rawa, konon tempat para buaya bersarang. Di Selatan, sebuah sungai menjadi latar belakang bunga-bunga teratai yang indah dan di belakang sungai itulah terletak rumah pertama. Atas permintaan mereka kapal ditambatkan pada sebuah stupa emas dari masa lampau, yang didirikan oleh seorang Raja Tibet.
Di tempat itu pula mereka menemukan beberapa bhiksu yang sedang bermeditasi. Mereka berjumlah enam orang dan mengaku murid Lama Serlingpa. Menghindari pemeriksaan terlalu rinci, mereka bertanya kepadanya siapa sosok guru tersebut, realisasi pribadi apa yang telah dicapai, aliran apa yang diikuti, sejauh apa pengetahuannya akan kitab dan teks-teks suci dan seberapa dalam pemahaman maupun kebijaksanaannya.
Pemeriksaan dilakukan tanpa keragu-raguan. Jika seseorang ingin memilih sosok guru, ia haruslah bersikap seperti ini. Kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan gampang, seperti seekor anjing kelaparan yang menerjang sepotong tulang. Dengan cara ini kita menghindari penyesalan yang pahit di kemudian hari. Kita perlu memikirkan dengan matang, melakukan kajian dan mengumpulkan informasi, karena ketika suatu hubungan antar guru dan murid telah terjalin; tidak ada jalan untuk kembali dari pilihan yang sudah diambil.
Mereka mengajukan banyak pertanyaan kepada keenam murid tersebut dan para murid menceritakan kisah hidup Gurunya. Para murid tidak memberi bumbu apa pun pada ceritanya dan tidak pula melebih-lebihkan perkataannya. Setiap kali para murid berbicara, hati mereka dipenuhi kegembiraan mendalam, perasaan kuat laksana telah merealisasikan parthamabhumi, sepuluh tingkatan seorang Bodhisattwa.
Sudah sepantasnya seorang murid mengumpulkan informasi tentang Guru yang ia pilih untuk menjadi pembimbingnya, tapi ia juga harus tahu proses yang sebaliknya juga dapat terjadi. Murid-murid Lama Serlingpa dapat pula mengumpulkan informasi tentang mereka. Mereka bertanya pada murid-murid India untuk mengetahui kehidupan Atisha Dipamkara. Murid India menceritakan bahwa Atisha juga menolak mewarisi kerajaan dari leluhurnya demi menjadi seorang bhiksu dan bagaimana Atisha telah belajar di bawah bimbingan para guru spiritual untuk mendapatkan intisari dari kitab dan teks-teks suci. Saat para murid Lama Serlingpa mengetahui kedalaman pengetahuan Atisha, mereka bertanya pada Pandita Bhumisara:
“Apakah Arya yang terpelajar ini adalah yang mereka sebut dengan Sri Jnana Dipamkara?”
“Benar, Beliau menyandang nama Buddha kedua dengan penuh rasa hormat. Beliau adalah objek pemujaan dari lima puluh dua Arya terpelajar dan termahsyur di negaranya Magadha. Beliau menerima kekaguman yang tak terbantahkan dari para filsuf, baik dari mereka yang mengikuti aliran Hinayana maupun Mahayana. Reputasi Beliau sungguh tak tercela dan pandita kami memang sangat terkenal.”
“Sungguh pilihan yang baik Gurumu telah mengunjungi tempat ini. Dengan mendengar, nektar mengalir dari suaranya. Kami merasakan tumbuhnya keinginan dalam hati kami untuk melihat Beliau, pada hari ini di mana kapal yang membawa Arya terpelajar yang hebat telah berlabuh. Tapi apakah kalian tidak menjadi sasaran dari perangkap Mara? Apakah kalian tidak diserang oleh badai dan raksasa laut? Apakah kalian tidak menderita akibat lapar dan haus dalam perjalanan panjang kalian?”
Pandita Bhumisara menjawab:
“Selama perjalanan panjang kami yang memakan waktu tiga belas bulan lamanya, Maha Ishvara yang kuat mengirimkan raksasa laut untuk menghalangi kami. Ia menciptakan badai yang menakutkan. Tapi dengan berkonsentrasi pada cinta kasih dan welas asih untuk semua makhluk hidup, Mara berhasil ditaklukkan. Setelah itu semua berjalan dengan baik. Dengan ketenangan batin seorang Avalokiteshvara, guru kami berhasil menenangkan makhluk yang berniat jahat. Sejak saat itu murid-murid Beliau yang berjumlah seratus dua puluh lima orang tidak dilanda oleh rasa lelah lagi.”
Mendengarkan perjelasan Pandita, Jowo Atisha ditemui oleh para murid Lama Serlingpa. Hati mereka dipenuhi sukacita dan mereka berkata kepada Beliau:
“Kami telah mendengar reputasimu yang tersebar luas.
Kami dipenuhi oleh sukacita.
Hari ini Engkau telah datang kepada kami,
Tapi ketidaktahuan kami begitu besar,
Sehingga kami tidak mengetahui kedatanganmu!
Sekarang kami memberi hormat padamu dengan tubuh, ucapan dan pikiran.”
Sambil berkata, mereka membungkuk. Dan Atisha Dipamkara, tanpa secuil pun rasa tinggi hati, membungkuk di hadapan mereka. Para murid menambahkan:
“Untuk tujuan apa, wahai Arya terpelajar, Engkau datang ke tempat ini? Apakah kami semua di sini untuk membantumu? Kami memohon padamu untuk memberitahu kami.”
“Aku telah datang untuk Yang Mulia Suwarnadwipa. Aku telah datang untuk memperoleh hasil dari kelahiran kembali sebagai seorang manusia yang berharga dengan kebebasan dan keberlimpahan, yang berhasil kudapatkan hanya sekali, memberi kelahiran ini makna yang berarti dengan cara seperti ini. Kembalilah kepada Gurumu dan mohon pada Beliau untuk mengabulkan permintaanku dan memberikan ajaran kepadaku.” Begitulah jawaban Atisha Dipamkara.
Permintaan itu membuat keenam orang murid meninggalkan tempat pertemuan dengan bhiksu India dan kembali ke Istana Payung Perak, di mana mereka mengajukan permintaan untuk bertemu Yang Mulia Lama Serlingpa.
Ketika mereka berdiri di hadapan Guru yang mereka hormati, mereka membungkuk dan berkata:
“Guru yang terhormat, kami mohon padamu untuk mendengarkan kami. Seorang Arya yang terpelajar telah datang dari Magadha ke pulau ini. Namanya adalah Sri Jnana Dipamkara. Beliau ditemani oleh seratus dua puluh lima orang murid. Setelah perjalanan menyeberangi lautan selama tiga belas bulan, di mana mereka mengalahkan setan-setan pengikut ajaran non-buddhis dan Mara dengan memeditasikan cinta kasih dan welas asih, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan baik tubuh, ucapan, maupun pikiran. Sejauh yang kami lakukan, kami telah mendengarkan selama empat belas hari ucapan mereka tentang Dharma. Karena itu kami dipenuhi sukacita. Sekarang Arya Mulia yang terpelajar ingin datang kepada kita. Beliau telah menyatakan keinginannya yang mendalam untuk belajar bersama kita, Sang Prajnaparamita, ajaran tentang penyempurnaan kebijaksanaan, Ibu yang telah melahirkan para Buddha dalam tiga kurun waktu. Beliau berharap bisa mendapatkan instruksi untuk mengembangkan Bodhicitta darimu, batin pencerahan spontan, dan realisasi yang berpuncak pada tingkatan mahasukha. Beliau berkeinginan untuk mempraktekkan Mahayana tanpa gangguan, ajaran para Guru yang seperti samudera. Karena itu kami juga memohon padamu, dari welas asihmu yang besar, berikanlah kesempatan ini kepadanya.”
Setelah mendengarkan ucapan ini, Lama Serlingpa menjawab:
“Betapa luar biasa, penguasa daratan telah datang.
“Betapa luar biasa, putra keturunan raja telah datang.
“Betapa luar biasa, penguasa makhluk hidup telah datang.
“Betapa luar biasa, bersama dengan muridnya ia telah datang.
“Betapa luar biasa, pahlawan hebat untuk pencerahan telah datang.
“Betapa luar biasa, ia telah menaklukkan semua rintangan.
“Betapa luar biasa, dengan kemurnian hati ia telah datang.
“Mari, para Bhikkhu, kenakan ketiga potong jubah kalian dan siapkan penyambutan untuk orang suci tanpa tandingan ini.”
Lama Serlingpa lalu menghias tempat itu dengan indah untuk membuat penyambutan yang sepantasnya, karena pengunjung yang telah datang secara khusus kepada Beliau melalui Lautan Pasifik telah melewati banyak bahaya demi menerima nektar instruksi Maha Guru dari Kerajaan Sriwijaya. Lima ratus tiga puluh lima orang bhiksu yang telah mengambil sumpah mempersiapkan diri untuk bertemu mereka. Mereka mengenakan tiga potong jubah bhiksu yang berwarna keemasan. Tangan mereka memegang pot berisi air penyucian yang telah diberkati. Mereka melangkah maju ke depan seiring dengan tetabuhan alat musik simbal. Lama Serlingpa sendiri berjalan di depan tujuh puluh dua orang bhiksu. Barisan penyambutan yang bergerak lurus melewati jalan, jumlahnya tidak kurang dari lima ratus sembilan puluh orang. Mereka semua telah meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh ilusi dan sedang berjalan untuk menyambut mereka yang telah mencapai tujuannya.
Dari kejauhan Jowo Atisha dan para pengikutnya melihat kedatangan rombongan tersebut. Sikap mereka anggun dan menakjubkan laksana Buddha dan para Arahat yang mengelilinginya ketika mereka berjalan di wilayah Magadha. Rombongan tidak membuat kesalahan dan pemandangan itu menimbulkan gelombang sukacita dan keyakinan dalam diri mereka. Dalam hati mereka perasaan yang sangat mendalam tumbuh, begitu kuat, sehingga bagi mereka, seolah Buddha sendiri telah datang menyambut mereka. Jowo Atisha meminta keempat orang muridnya untuk menurunkan hadiah-hadiah yang ditaruh di atas punggung dua ekor gajah, yang segera mereka lakukan.
Ada sejumlah besar Arya cendekiawan terkenal, dikelilingi oleh atribut biara masing-masing, ditemani oleh murid mereka masing-masing. Mereka telah mengikuti Jowo Atisha karena mereka menganggap Beliau sedemikian berpengetahuan tinggi sehingga Beliau rela menghadapi begitu banyak marabahaya demi mendapatkan poin paling berharga dari ajaran Mahayana dan untuk memperoleh ajaran itu dari seorang guru yang telah mencapai realisasi tertinggi. Mereka juga mengenakan tiga potong jubah bhiksu, jubah kebesaran aliran Mahasangika, dicelup dengan warna kuning kemerahan safron kashmir. Sesuai aturan, mereka mengenakan sandal bhiksu. Sebagai pertanda baik mereka semua membawa mangkok besi yang bagus dan sebuah pot berbentuk lonjong terbuat dari kulit hasil kerajinan Magadha yang menghasilkan suara dengungan. Sesuai anjuran Buddha, tongkat besi telah ditambahkan, begitu pula alat-alat ritual lain yang dibuat sesuai aturan.
Dan para cendekiawan, tanpa setitik pun rasa sombong, mengenakan topi pandita sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Mereka memegang kipas putih yang terbuat dari bulu yak putih. Sebanyak seratus tujuh puluh delapan bhiksu yang telah ditahbiskan, tiga puluh bhiksu pemula dan empat Arya bhiksu berjalan dalam rombongan Jowo Atisha. Prosesi itu berjalan sempurna; mereka berjalan dengan langkah terukur, menjaga jarak satu langkah dari bhiksu di hadapan mereka. Mereka tidak berjalan terlalu dekat satu sama lain, namun juga tidak bertebaran. Mereka berjalan dengan ritme langkah yang teratur. Siapa pun yang melihat prosesi itu akan berkata sebuah pelangi telah melintasi jalan. Pemandangan yang sempurna sehingga ketika melihat pemandangan yang dipenuhi ketiga kesempurnaan: keanggunan, keindahan, dan semangat, para dewa berkumpul dan menurunkan hujan bunga.
Atisha merenung pada dirinya sendiri: “Sejak waktu tak berawal aku telah memiliki jalinan spiritual dengan guru ini. Sekarang aku akan memohon instruksi Dharma darinya lagi, yang mana dalam kehidupan ini aku masih belum memiliki keberuntungan untuk mendengarkannya. Demi kebaikan para cendekiawan dan murid-murid yang mengikutiku, aku tidak dapat berbuat apa-apa selain memberi hormat pada beliau dengan segenap hatiku.” Dan itulah yang Atisha lakukan.
Demikianlah semua orang dapat melihat bagaimana sang tamu dan tuan rumahnya saling menghormati dengan sempurna dan mengikuti aturan yang berlaku dalam situasi seperti ini hingga sekecil-kecilnya.
Sejajar dengan jantungnya, Atisha membawa benda duniawinya yang paling berharga. Benda itu adalah sebuah pot mahal yang dihiasi dengan permata berharga. Bagian dalamnya berbentuk seperti sebuah bola besar yang kempes di bagian dasarnya. Bagian lehernya begitu sempit sehingga jika seseorang menuangkan air dari dalam pot itu, cairan yang keluar hanya berupa tetesan. Kristal yang paling murni, permata yang paling langka, tidak ada yang lebih berharga dari bahan dasarnya. Pot itu tembus pandang dan memperlihatkan isi dalamnya; mutiara, emas dan perak murni, koral, batu pirus, lapis lazuli, malahit dan bebatuan berharga aneka warna. Persembahan ini sangat bermakna. Atisha akan menerima ajaran, dengan kualitas yang sama dengan pot yang ia miliki. Tanpa satu retakan pun, ia akan mengingat apa yang ia dengar. Sempurna dalam kemurnian dan tembus pandang, tanpa secercah pun pikiran buruk, ia akan mendengarkan dengan saksama dan batinnya yang seperti permata adalah hasil dari kumpulan kebaikan yang ia lakukan. Begitu pula ia ingin menjadi seperti wadah yang dipenuhi oleh instruksi berharga untuk mengembangkan batin pencerahan.
Para murid mempersembahkan sekeping emas sebagai persembahan. Kemudian Yang Mulia Lama Serlingpa berujar:
“Apakah engkau mempraktikkan sila seorang bhiksu dengan penuh keyakinan, wahai putra mulia?
Apakah engkau menghargai sila yang murni dan tanpa noda, wahai putra mulia?
Apakah engkau terus berusaha mempraktekkan welas asih yang besar,wahai putra mulia?
Apakah engkau datang kepada kami untuk menjadi Raja Dharma?
Kabar tentang kemuliaanmu telah sampai kepada kami,
Bertemu denganmu hari ini, bagaimana kami tidak bersuka cita karenanya, wahai putra mulia?
Dengan melaksanakan tugas-tugas besar di tanah suci India
Digerakkan oleh cinta kasih yang besar
Tidakkah engkau memberikan perlindungan demi memberikan manfaat kepada semua makhluk,
Dengan batin yang sepenuhnya seimbang, tanpa sedikit pun pilih kasih, wahai putra mulia?
Termahsyur sebagai cendekiawan, engkau telah berdebat dengan penuh kehormatan demi Dharma.
Tidakkah engkau berada dalam perlindungan guru yang jumlahnya tak terhitung, wahai putra mulia?
Tidakkah banyak cendekiawan menerima tanggung jawab, putra muliaku, untuk meletakkan tugas Dharma di bahumu?
Hari ini adalah tanda keberuntungan karena engkau telah tiba di sini.
Wahai Sang Penguasa, aku diberitahu bahwa engkau telah menyeberangi Lautan Pasifik dalam waktu tiga belas bulan.
Sungguh suatu keajaiban engkau telah menaklukkan segala rintangan yang menakutkan.
Aku diberitahu bahwa engkau telah mengalahkan Maha Ishvara.
Betapa engkau telah membuat namamu diingat dengan perbuatan yang ajaib!
Sungguh suatu keajaiban engkau telah mengalahkan rasa takut dengan melakukan perjalanan yang begitu jauh.
Tidakkah engkau, cendekiawan yang termahsyur, memperkuat batin dan tubuhmu?
Tidakkah ada rintangan yang tercipta dari kekuatan yang tidak bersahabat?
Tidakkah engkau merasa lelah, Anakku?
Hari di mana Arya cendekiawan telah tiba adalah hari yang penuh keberuntungan.
Beberapa orang muridku bermeditasi di tempat terpencil,
Tapi seluruh kumpulan kami telah datang untuk menyambutmu.
Kami merasa sangat beruntung dapat bertemu denganmu.
Tolong izinkan kami untuk menemanimu ke biara, di mana banyak yang telah berkumpul di area perdebatan.
Mengenai perjalananmu akan kita perbincangkan nanti.
Marilah, telah tiba saatnya untuk membicarakan hal-hal spiritual.”
Atisha Dipamkara menimpali perkataan Gurunya:
“Baiklah Guru Mulia tanpa tandingan,
Aku telah datang dari Madyadesha, dari pusat India.
Sesuai dengan Dharma aku telah menaklukkan rintangan.
Terima kasih pada kekuatan penakluk berkat Permata Triratna, yang tidak pernah berakhir,
Kuasa kegelapan Maha Ishvara telah ditaklukkan,
Penyebabnya adalah kumpulan dari karma buruk milik perorangan.
Kami telah menjaga ketiga pintu dari tubuh, ucapan, dan batin kami tetap murni,
Dengan menghindari perbuatan yang salah.
Kami telah tiba di tempat ini dalam kesehatan yang baik dan tanpa sedikit pun jejak kelelahan.
Guru yang Mulia, apakah Engkau tinggal di sini tanpa terpengaruh oleh usahamu demi kebaikan para makhluk?
Mengajarkan Dharma yang tidak tertandingi oleh apa pun juga?
Guru yang Mulia, samudera kebijaksanaanmu tidak berhenti berkembang,
Yang membuatmu mampu menang atas sekumpulan Mara.
Guru yang Mulia, aku telah mendengar bahwa Engkau bertempat tinggal di Suwarnadwipa,
Di mana Engkau mengajar semua makhluk siang dan malam tanpa henti.
Engkau mengajarkan cinta kasih yang memandang semua makhluk hidup sebagai yang terkasih,
Dan welas asih yang membuatmu tidak tahan melihat penderitaan mereka.
Guru yang Mulia, Sang Maha Mengetahui yang tiada bandingannya,
Aku memohon padamu, jadilah guruku.
Dengan berkah dari pengetahuanmu, tak terbatas laksana angkasa,
Aku berdoa padamu, kembangkanlah kecerdasanku.”
Dengan cara ini Atisha Dipamkara menyampaikan permohonannya pada Lama Serlingpa dan setelah itu para bhiksu dengan satu suara mengikutinya:
“Betapa beruntungnya Guru yang Mulia telah datang kepada kami!
Kami juga ingin mendengarkan Dharma.”
Kemudian kedua kumpulan yang terhormat bersatu dan membentuk satu himpunan yang bergerak maju menuju Istana Payung Perak.
Lama Serlingpa melakukan perbuatan yang sangat baik ketika sebagai pengajaran yang pertama Beliau memberikan penjelasan “Ornamen Realisasi yang Jelas”, Abhisamaya-Alankara, di antaranya dua belas bagian berkenaan sebab-musabab yang saling bertergantungan. Beliau menghabiskan lima belas sesi untuk menyelesaikan ajaran ini.
Guru dan muridnya saling mengembangkan rasa hormat yang mendalam satu sama lain. Tempat tidur mereka disusun dengan bagian kepala menyentuh bagian kaki, sesuai dengan kebiasaan aturan aliran Mahasangika, dalam kasus di mana seorang guru menerima seorang murid untuk instruksi yang sangat dekat. Selama dua belas tahun Atisha Dipamkara mendengarkan sejumlah besar ajaran yang lengkap, merefleksikan ajaran, dan memeditasikan ajaran. Beliau menuliskan:
“Di Istana Payung Perak aku menghabiskan semua waktuku, siang dan malam, mendengarkan, merefleksikan dan bermeditasi.”
Salah satu ajaran paling penting yang Beliau terima, adalah tentang makna tersembunyi Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan, disebut juga “Sang Ibu”, instruksi yang pertama kali diturunkan oleh Buddha Maitreya kepada Arya Asanga. Bagian utama ajaran ini berdasarkan Ornamen Realisasi yang Jelas dan menjelaskan tentang sistem Mahayana, yang tersirat dalam Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan.
Yang lainnya adalah ringkasan penjelasan yang dikenal dengan nama: “Praktik menukar diri dengan makhluk lain”, yang pertama kali diajarkan oleh Arya Shantidewa setelah menerimanya dari Buddha Manjushri. Di bawah kaki Lama Serlingpa Atisha membangkitkan sikap yang sejati dan tidak dapat diubah yang akan membawa pada pencerahan, yaitu praktik menukar diri dengan orang lain. Beliau meramalkan bahwa Atisha akan melakukan perjalanan ke Tibet di mana Beliau akan mengajar banyak murid.
“Jangan tinggal di sini, Yang Suci, pergilah ke Utara.
Pergilah ke Tanah Bersalju di belahan Utara.”
Setelah itu, Beliau mempersembahkan barang miliknya yang paling berharga, rupang emas yang ditemukan di tanah di pulaunya ketika masih seorang bocah kecil. Tersentuh oleh harta itu, Atisha mematuhi perintah gurunya, kembali ke Biara Wikramasila di India dan mulai mengajar. Di kemudian hari sesuai ramalan, Beliau melakukan perjalanan ke Tibet, Tanah Bersalju, di mana Beliau mengenalkan kembali ajaran Buddha yang murni.
Demikianlah instruksi berharga Lama Serlingpa dipulihkan dalam metode (untuk mengembangkan batin pencerahan) berlatih dalam instruksi tujuh bagian (tentang sebab dan akibat), instruksi berharga dalam mempersiapkan batin untuk menghasilkan tahapan ajaran, serta dalam karya Jowo Atisha, seperti Pelita Sang Jalan, yang menjadi dasar bagi Lamrim: Langkah bertahap bagi ketiga jenis praktisi dengan tujuan akhir mencapai penerangan sempurna Sang Buddha.
Tidak lama setelah kepergian Atisha Dipamkara, sebuah serangan terjadi di Kerajaan Sriwijaya, ketika Raja Shola Rajendra menaklukkan ibukota, Palembang. Tetapi Acharya Indonesia tidak meninggalkan biara, melainkan tetap memberikan ajaran. Beliau tetap tinggal di sana hingga akhir masa hidupnya dan dikatakan Lama Serlingpa hidup hingga berumur seratus lima puluh tahun dan bahwa Beliau masih hidup ketika Atisha menjadi kepala biara Wikramasila.
Atisha selalu menyimpan rupang yang diberikan Lama Serlingpa kepadanya. Rupang itu juga menemaninya ke Tibet. Di kemudian hari rupang itu diberikan ke Biara Rating dan di depan rupang ini Lama Tsongkhapa bermeditasi selama satu bulan, sebelum menulis berbagai risalah tentang tahapan jalan (menuju pembebasan).
(1) dan (2) Yang Mulia Dagpo Rinpoche memberikan informasi mengenai kehidupan Lama Serlingpa secara langsung pada bulan Juni tahun 1997 selama persiapan penulisan autobiografi Atisha Dipamkara.
(3) Walaupun semua guru adalah sama, beberapa yang memegang garis silsilah dan teks ajaran karena terpilih menjadi “penerus aliran”, seperti “kata-kata yang hidup” dimana transmisi selama pengajaran menarik sejumlah besar murid kepada mereka.” Dagpo Rinpoche memiliki kriteria ini selama pemberian ajaran yang telah disebutkan sebelumnya.