Keagungan Sumber Ajaran

Silsilah Kadam & Bodhicita


Silsilah Aktivitas Luas berasal dari Buddha sendiri. Setahun setelah Buddha mencapai pencerahan, beliau mengajarkan Sutra Prajnaparamita, dan ajaran ihwal silsilah Aktivitas Luas diberikan di sini. Silsilah ini diteruskan oleh Buddha kepada Arya Maitreya, berikut dengan rombongan Bodhisatwa ketika itu. Dari Arya Maitreya, silsilah ini kemudian ditransmisikan kepada Arya Asanga, dari Arya Asanga kepada Wasubhandu, berikutnya kepada Wimuktisena, berikutnya kepada Parasena, selanjutnya kepada Winitasena, dan kemudian kepada Kirti yang Jaya, berikutnya kepada Haribhadra, berikutnya kepada Kusali bersaudara, dan selanjutnya kepada Guru Serlingpa; mereka semua merupakan guru-guru utama dalam silsilah Aktivitas Luas. Daftar guru ini bisa ditemukan dalam bait permohonan guru silsilah yang secara khusus disusun oleh Guru Atisha, dan juga dalam doa Jorchoy pendek atau permata hati.

Ketika kita berbicara tentang bagaimana sebuah instruksi diturunkan dari satu guru ke guru lainnya, seperti dalam contoh silsilah Aktivitas Luas, hal ini tak berarti murid akan otomatis menerima silsilah setelah seorang guru memberikan ajaran. Tak sesederhana itu. Untuk bisa menerima silsilah, murid harus benar-benar mempraktikkannya, dan setelahnya, ia harus bisa merealisasikannya di dalam batinnya sendiri. Dari sini, barulah ia bisa meneruskan silsilah kepada muridnya. Dengan cara demikianlah semua guru silsilah telah melakukannya. Mereka semua telah mencapai realisasi dari kualitas-kualitas ajaran yang diberikan, dan dari situlah terbentuk sebuah silsilah yang otentik. Terkait silsilah Aktivitas Luas, terhitung dari Arya Maitreya hingga Guru Serlingpa, terdapat 11 guru silsilah secara total.

Silsilah Pandangan Mendalam juga berasal dari Buddha sendiri. Beliau meneruskan ajaran ini secara khusus kepada Arya Manjushri, berikut dengan rombongannya ketika itu. Dari Arya Manjushri, silsilah diteruskan kepada Arya Nagarjuna (dalam Jorchoy pendek, dikatakan: “Arya Nagarjuna, ayah yang menghancurkan kutub ekstrem keberadaan dan ketiadaan”), dari Arya Nagarjuna kepada Chandrakirti, kemudian kepada Widyakokila bersaudara. Di sini, terdapat 5 guru silsilah sebelum silsilah sampai ke Guru Atisha.

Jadi, dari kedua silsilah ini, secara total hingga sampai ke Guru Atisha, terdapat 16 guru silsilah, dan jumlahnya menjadi 17 guru jika ditambah dengan Guru Atisha. Setelah Guru Atisha menerima kedua silsilah ini dengan lengkap dan digabungkan menjadi satu, beliau kemudian meneruskannya kepada murid-muridnya. Di antara semua muridnya, secara khusus Guru Atisha meneruskannya kepada Dromtonpa. Awalnya, Dromtonpa bertanya kepada Guru Atisha kenapa ia hanya diberikan satu ajaran saja, sedangkan murid-murid yang lain diberikan ajaran dan inisiasi Tantra, dsb. Guru Atisha menjawab, “Saya tak bisa menemukan orang lain yang patut mewarisi ajaran ini.” Setelah Pelita Sang Jalan disusun oleh Guru Atisha dan secara khusus diteruskan kepada Dromtonpa, pada gilirannya Dromtonpa juga meneruskannya kepada murid-muridnya, dan dari sini, muncullah 3 silsilah Kadam.

Yang pertama adalah Silsilah Kadam Lamrim. Silsilah ini didasarkan pada cara Pelita Sang Jalan diajarkan oleh Dromtonpa kepada 3 murid utamanya. Silsilah Kadam Lamrim didirikan oleh salah satu murid utama ini, Gompowa. Di dalamnya, terdapat 8 guru silsilah hingga sampai ke Lodrang Drugjen. Cara silsilah ini mengajarkan Pelita Sang Jalan kurang lebih sesuai dengan teks Pelita Sang Jalan, tanpa menambahkan kitab-kitab penjelasan lainnya. Pelita Sang Jalan diajarkan sesuai dengan teks aslinya. Dari metode yang demikian, muncullah Silsilah Kadam Lamrim.

Yang kedua adalah silsilah yang didirikan oleh Potowa, dengan 10 guru silsilah di dalamnya. Potowa juga menerima ajaran ini dari Dromtonpa, namun caranya menjelaskan Pelita Sang Jalan lebih panjang lebar dan menyeluruh. Ada 6 teks yang dirujuk oleh Potowa untuk menjelaskan Pelita Sang Jalan, yakni Tingkatan Bodhisatwa oleh Arya Asanga, Ornamen Sutra-Sutra Mahayana oleh Arya Maitreya, Ikhtisar Latihan Bodhisatwa oleh Shantidewa, Lakon Hidup Bodhisatwa oleh Shantidewa, Jatakamala oleh Aryasura, dan Kumpulan Perkataan Buddha oleh Dharmatrata. Karena Potowa merujuk ke 6 teks ini, silsilahnya disebut sebagai Silsilah Penjelasan Tekstual, atau lengkapnya, Silsilah Penjelasan Tekstual 6 Teks. Demikianlah silsilah ini memberi penjelasan Pelita Sang Jalan secara ekstensif, yang membuat Pelita Sang Jalan menjadi lebih jelas dan menyeluruh. Karena metodenya yang menyeluruh, Potowa membuat silsilah ini tersebar sangat luas di Tibet, dan banyak orang Tibet yang menerimanya ketika itu. Kenyataan bahwa instruksi Pelita Sang Jalan sanggup bertahan hingga hari ini tak terlepas dari aktivitas luar biasa Potowa.

Yang ketiga adalah Silsilah Instruksi, yang didirikan oleh Chengawa Tsultrim Bar, dengan total 8 guru silsilah di dalamnya. Pelita Sang Jalan diajarkan oleh Chengawa dengan cara yang sangat singkat. Teks tak diajarkan secara keseluruhan seperti dalam Silsilah Kadam Lamrim, tak juga diajarkan secara panjang lebar seperti dalam Silsilah Potowa. Yang dilakukan oleh Silsilah Instruksi adalah mengambil satu bagian dan kemudian mengaitkan keseluruhan bagian dengan satu bagian yang dipilih tersebut. Sebagai contoh, ajaran tentang 4 Kebenaran Mulia atau 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan akan dikaitkan dengan ajaran-ajaran lainnya.

Ketika Je Tsongkhapa menyusun bagian-bagian berikutnya dari doa Permohonan kepada Guru-Guru Silsilah, beliau melanjutkan apa yang sudah disusun oleh Guru Atisha. Beliau merujuk ke 3 pendiri silsilah Kadam sebagai berikut: Potowa dirujuk sebagai pendiri Silsilah Penjelasan Tekstual, Gompowa dirujuk sebagai Raja Yoga yang Jaya karena kekuatan samadhi atau konsentrasinya yang sangat luar biasa, Chengawa Tshulthrim Bar dilukiskan sebagai berikut: “Tsultrim Bar, Sang Raja Agung Pencapaian Spiritual, seorang meditator besar, seorang mahasiddha dengan pencapaian spiritual yang agung.” Potowa digambarkan sebagai “Guru Spiritual dan Pemelihara Silsilah Para Penakluk yang merupakan tokoh utama yang menyokong atau memelihara silsilah Bhagawan.” Di sini, Potowa dianggap sebagai pengganti Buddha itu sendiri dalam menjelaskan Pelita Sang Jalan dengan sangat rinci. Berkat upayanya yang sangat luar biasa inilah maka Pelita Sang Jalan bisa tersebar sangat luas di seantero Tibet. Tak hanya bagi silsilah Kadam, aktivitas Potowa juga membentuk fondasi bagi aliran-aliran lainnya, termasuk Nyingma, Sakya, dan Kagyu.

Kalau kita menambahkan jumlah guru-guru silsilah sampai tahap ini, terdapat 26 guru, yang jumlahnya akan mejadi 27 jika ditambah dengan Dromtonpa. Ini merupakan guru-guru silsilah utama dalam silsilah Kadampa yang lama. Ketika Je Tsongkhapa muncul di Tibet, beliau menerima ketiga silsilah Kadam secara keseluruhan. Dari Je Tsongkhapa, silsilah turun hingga ke Guru spiritual pribadi saya sendiri, ibarat warisan ayah kepada putra-putranya. Jumlah guru-guru silsilah ini, yang dikenal sebagai silsilah Kadampa baru atau Gelugpa, tergantung pada cara kita menghitungnya. Kalau kita menambahkan Buddha ke dalam silsilah dan merunut silsilah sampai hari ini, maka jumlah guru silsilah, tergantung cara menghitungnya, bisa menjadi 70 atau 71 guru.

Di antara semua guru silsilah dari Guru Atisha, satu sosok terpenting berasal dari Indonesia, yakni Guru Serlingpa atau Guru Suwarnadwipa. Ketika Guru Atisha masih tinggal di India, ada begitu banyak guru besar di sana. Guru Atisha sendiri memiliki begitu banyak guru spiritual pribadi. Akan tetapi, di kemudian hari beliau mencari Guru Serlingpa, selain juga mencari sosok yang bernama Shantipa. Di sini, sebuah pertanyaan muncul, “Apakah Guru Shantipa ini adalah guru Indonesia yang kedua?” Di dalam teks yang disusun oleh Guru Atisha, ada sebuah kalimat yang berbunyi, “Guruku Jawadwipa.” Kalau Suwarnadwipa jelas merujuk ke Guru Serlingpa, maka guru kedua yang dirujuk sebagai Jawadwipa masih belum jelas sosoknya. Apakah Jawadwipa merujuk ke Shantipa? Apa pun itu, sosok guru yang kedua ini juga dirujuk oleh Guru Atisha sebagai Sang Pengemis Agung. Dalam konteks ini, kita takkan membahas lebih jauh tentang Guru Shantipa. Yang hendak disampaikan di sini adalah betapa pentingnya peran Guru Serlingpa. Berkat beliau, kita bisa memiliki sebuah silsilah yang utuh dan tak terputus, yang akan dibawa oleh Guru Atisha ke Tibet dan dilestarikan di sana. Tanpa Guru Serlingpa, bisa jadi silsilah ini sudah terputus.

Pada masa Guru Atisha masih berada di India, ada begitu banyak guru besar yang sezaman dengan beliau. Salah satunya adalah guru dari Guru Atisha sendiri, yakni Guru Shantipa, yang merupakan kepala biara dari Wikramasila. Guru besar lainnya adalah Naropa, dan masih banyak lagi guru besar yang telah menerima instruksi tentang bodhicita, mempraktikkannya, bahkan telah membangkitkannya secara spontan. Akan tetapi, pada saat itu tak ada seorang pun yang bisa dikatakan memiliki ikatan langsung dan istimewa dengan instruksi ini; dengan kata lain, seseorang yang memegang kunci silsilah bodhicita ini. Di mana pun Guru Atisha mencarinya di seluruh India, beliau tak bisa menemukan sosok yang dimaksud. Setelah sekian lama mencari, ternyata sosok pemegang kunci silsilah ini adalah Guru Serlingpa yang berdiam di Indonesia.

Mari kita lihat lebih jelas sosok Guru Serlingpa. Beliau sendiri telah menerima instruksi tentang bodhicita. Ketika masih berada di Indonesia, beliau pergi ke India untuk belajar dan menerima instruksi tentang bodhicita serta kedua metode untuk merealisasikan bodhicita, yaitu instruksi menukar diri dengan makhluk lain dan instruksi 7 poin sebab-akibat. Beliau menerima 2 silsilah ajaran tentang bodhicita ini dan mempraktikkan keduanya sembari membangkitkan bodhicita di dalam dirinya sendiri. Dari sinilah beliau menjadi sosok pemegang silsilah atau pewaris instruksi ini. Setelah aktivitas belajarnya rampung, Guru Serlingpa pun kembali ke Indonesia. Di kemudian hari, ketika Guru Atisha mencari-cari sosok pemegang silsilah bodhicitta dan mendengar tentang Guru Serlingpa yang berdiam di Indonesia, dari sinilah dimulai kisah Guru Atisha meninggalkan India dan pelayarannya mengarungi lautan selama 13 bulan untuk mengunjungi Indonesia, semata-mata untuk mencari sosok pemegang silsilah bodhicitta. Dengan menimbang peran penting Guru Serlingpa dalam kisah Guru Atisha mencari ajaran, tak salah jika dikatakan bahwa instruksi Lamrim adalah salah satu aspek dari kebudayaan atau peradaban Indonesia.

Setelah Guru Atisha menerima instruksi ini dari Guru Serlingpa, beliau kemudian mempraktikkan dan merealisasikan bodhicita di dalam batinnya. Beliau menghabiskan beberapa waktu di Indonesia. Ketika akhirnya kembali ke India, Guru Atisha mulai memiliki banyak murid. Bertahun-tahun kemudian, orang Tibet datang dan memohon pada Guru Atisha agar bersedia pergi ke Tibet. Dan beliau pun pergi ke Tibet. Di sana, beliau menyusun teks yang dinamai Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan, setelah dimohon oleh Jangchub O. Terlepas dari sekian banyak murid Guru Atisha, beliau hanya memberikan ajaran ini kepada satu orang, yaitu Dromtonpa. Setelah menerima ajaran ini dari Guru Atisha, Dromtonpa kemudian meneruskannya kepada 3 murid utamanya, yang membentuk 3 silsilah utama Kadam. Ketiga silsilah ini diteruskan turun-temurun kepada guru silsilah masing-masing sampai akhirnya diwarisi oleh Je Tsongkhapa. Dari beliau, silsilah ini kemudian terus diturunkan sampai hari ini.

Kedatangan Guru Atisha ke Tibet adalah tonggak dalam pelestarian ajaran Buddha, khususnya Lamrim. Kita bisa lihat apa yang terjadi di India. Guru Atisha juga menyebarkan ajaran secara luas di India, dan ada begitu banyak murid beliau di India ketika itu. Namun nyatanya, saat ini ajaran Buddha, terutama Lamrim, telah merosot di India (kalau tak mau dibilang lenyap sama sekali). Sementara itu, ajaran yang sama juga masuk ke Tibet, diteruskan, dilestarikan, dan akhirnya berkembang luas ke luar Tibet sampai hari ini. Menurut hitungan saya, ajaran ini bertahan di tanah Tibet selama kurang lebih 1000 tahun. Selain Tibet, ajaran ini juga memasuki negeri lain seperti Mongolia, Cina, dll. Namun, kalau kita melihat sejarahnya saat ini, hampir tak ada bekas ajaran di negeri-negeri ini. Jadi, bisa dikatakan bahwa hanya Tibet yang menjadi tonggak dalam pelestarian ajaran Buddha, khususnya Lamrim. Peran penting Guru Atisha dalam proses pelestarian ini juga tak boleh diremehkan. Faktanya, Lamrim sebenarnya sudah pernah masuk ke Tibet pada masa Guru Shantarakshita. Akan tetapi, lambat laun ajaran ini kemudian merosot, dan baru bangkit kembali setelah Guru Atisha diundang ke Tibet untuk memulihkan dan memurnikan ajaran Lamrim.

Dengan demikian, kalau kita melihat gerak sejarah yang telah berlalu sedemikian rupa, kita bisa mengatakan bahwa secara historis, Lamrim bermula di India dan merupakan bagian dari peradaban India. Kemudian, Lamrim pada gilirannya juga menjadi bagian dari peradaban Indonesia, dan akhirnya menjadi bagian dari peradaban Tibet. Di Indonesia sendiri, Lamrim yang pernah menjadi corak utama kebudayaan dan peradaban Indonesia pernah hilang untuk waktu yang sangat lama. Akan tetapi, selama beberapa dekade terakhir, ajaran ini kembali lagi ke Indonesia, dan ada banyak orang yang mempelajari dan mempraktikkan kembali ajaran ini. Dengan adanya para pengikut ajaran ini, maka Lamrim bisa dikatakan sudah hidup kembali di negara ini.

Hidupnya kembali Lamrim di Indonesia tak bisa dilepaskan dari satu sosok yang telah berjasa meletakkan fondasi bagi agama Buddha di Indonesia, yakni Bhante Ashin Jinarakkhita. Beliau adalah seorang Guru yang menerima penahbisan winaya dari seorang guru Myanmar. Beliau juga menerima ajaran-ajaran tentang meditasi Chan atau Zen dari seorang guru Cina, yang kemudian diwariskannya kepada murid-muridnya. Dari murid-murid Bhante Ashin ini, ajaran kemudian diteruskan kepada murid-murid berikutnya. Dengan cara seperti ini, mereka yang merupakan murid-murid dari Bhante Ashin telah menerima silsilah dari Bhante Ashin sendiri.

Setelah kita menerima instruksi dan silsilah yang sudah kita bahas bersama, terutama silsilah Lamrim ini, apa yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa kita mempraktikkannya. Kita tak mesti menerima instruksi yang panjang lebar, tetapi cukup menerima sebuah instruksi yang singkat namun lengkap. Kemudian, kita bisa mengambil satu bagian darinya dan memusatkan diri untuk mempraktikkan satu bagian tersebut. Dengan kata lain, kita mengambil satu bagian dari ajaran Lamrim untuk dimeditasikan dan dipraktikkan dengan sebaik-baiknya. Misalnya topik bertumpu pada guru spiritual. Topik ini merupakan fondasi awal, topik pertama. Kita bisa memilih topik ini sebagai topik pendahuluan untuk dipelajari dan dimeditasikan dengan sebaik-baiknya. Setelahnya, kita bisa lanjut ke topik-topik Lamrim yang berikutnya. Aspek-aspek lain dari ajaran ini juga bisa kita pelajari, tetapi seiring dengan itu, pilihlah satu topik yang menjadi topik utama yang kita praktikkan, topik yang menjadi perhatian utama untuk dipraktikkan. Untuk topik-topik lainnya, kita bisa mempelajarinya sambil lalu tanpa perlu terlalu merincinya, meski tentu saja topik-topik ini tetap mesti dipelajari dengan baik. Hanya dengan cara inilah kemajuan batin bisa diperoleh. Ketika realisasi dari satu topik tertentu telah diraih, secara alamiah realisasi atas topik-topik lainnya akan muncul dengan lebih mudah.

Ketika kita berbicara tentang memeditasikan topik bertumpu pada guru spiritual (sebagai contoh yang saya kutip barusan), ini adalah upaya mengembangkan keyakinan yang melihat guru spiritual sebagai Buddha yang sesungguhnya. Berdasarkan realisasi atas topik ini, kita kemudian mengembangkan batin yang mengambil perlindungan kepada Triratna. Dalam suatu karya yang disusun oleh Je Tsongkhapa, beliau menyajikan petunjuk tentang tata cara melakukan semua ini, “Kita perlu memahami betapa sulitnya mendapatkan kehidupan yang diberkahi dengan kebebasan dan keberuntungan. Janganlah menyerah pada kemalasan dan berpangku tangan tanpa melakukan apa pun!” Artinya, kehidupan sebagai manusia mengandung potensi yang sangat besar, sehingga kita perlu benar-benar menarik manfaat darinya. Selain itu, kita juga harus memahami bahwa kehidupan ini tak berlangsung selama-lamanya. Dengan menyadari ketidakkekalan dan kematian kita sendiri, kita akan berhenti melakukan segala bentuk kecerobohan. Idealnya, kita harus merealisasikan semua aspek dalam Lamrim, atau minimal, ada satu aspek yang kita realisasikan. Satu aspek ini kemudian digabungkan dengan poin berlindung kepada Triratna. Gabungan ini akan menjadi fondasi yang sangat luar biasa untuk menghimpun kebajikan.

Ada sedikit tambahan yang hendak saya sampaikan di sini. Secara khusus, bagi saya, Indonesia adalah sebuah tempat yang sangat istimewa. Saya bisa melihat jejak-jejak ajaran Buddha yang masih bertahan di negara ini. Walaupun ajaran ini sudah hilang untuk waktu yang sangat lama, namun jejak-jejaknya masih bisa kelihatan. Secara pribadi, ketika mengamati orang Indonesia secara umum, saya mendapati bahwa mereka sangat tenang, ramah, dan rendah hati; perilaku mereka sangat lembut. Dikatakan di dalam teks Guru Atisha yang berjudul Untaian Nasihat-Nasihat Seorang Bodhisatwa, “Ketika bertemu orang lain, kita harus memasang wajah yang ramah, jangan bermuka hitam, jangan bersungut-sungut; tunjukkanlah raut muka yang ramah dan ceria ketika bertemu orang lain.” Secara khusus, saya mendapati bahwa orang Indonesia memang seperti itu. Saya telah bertemu banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Dalam semua kesempatan ini, saya bisa mengamati bahwa ada orang-orang yang memiliki sikap tinggi hati, bangga diri, kasar, dll. Namun di Indonesia, saya mengamati bahwa orang-orangnya sangat ramah, lembut hati, dan ceria. Menurut tebakan saya, ini adalah jejak-jejak dari ajaran Mahayana yang dulu berkembang luas di negara ini. Dan walaupun ajaran ini sudah merosot atau bahkan hilang, jejak-jejaknya masih terbawa hingga sekarang dalam sikap dan perilaku orang Indonesia yang saya amati secara khusus.

Ada satu lagi kualitas positif orang Indonesia yang tak kalah pentingnya, yakni sikap hormat. Gabungan antara sikap hormat dan semua kualitas positif yang telah disebutkan di atas akan menjadikan seseorang sebagai sosok yang sangat beradab,. Sikap-sikap seperti ini juga dimiliki oleh masyarakat Tibet, tentu saja tidak semuanya, tetapi secara umum masyarakat Tibet memiliki sikap-sikap ini, yaitu sikap yang mendambakan terjadinya hal-hal baik pada orang lain, yang menunjukkan kebaikan hati pada orang lain, yang tak menonjolkan diri sendiri dan malah suka merendahkan hati.

Semua ini adalah kualitas yang sangat berharga, yang merupakan bagian penting dari peradaban dan kebudayaan Indonesia. Saya berharap agar kita semua bisa betul-betul menjaga kualitas-kualitas ini dengan sebaik-baiknya; jangan sampai mereka merosot. Sebagai contoh, penting sekali untuk mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya, mendidik mereka dengan cara yang benar. Anak-anak harus diwarisi dengan nilai-nilai positif seperti sikap hormat pada orang lain, sikap ramah pada orang lain, kebaikan hati yang menyentuh orang lain, sikap menghargai orang lain, dsb. Semua ini adalah sikap yang penting sekali untuk diajarkan kepada anak-anak kita, sebagai sosok-sosok yang kelak akan mewarisi dan meneruskan ajaran Buddha dari kita.

 

Transkrip Pembabaran Dharma oleh Guru Dagpo Rinpoche di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta, Indonesia pada 20 -21 Desember 2014
Transkrip selengkapnya terdapat dalam buku “Lamrim Intisari Tripitaka”