Berita

Adakah Buddha dan Bodhisatwa di antara kita?

Kenalkah Anda dengan Awalokiteshwara? Beliau terkenal akan sumpahnya yang mengatakan bahwa Beliau tidak akan masuk Nirwana sebelum seluruh samsara kosong. Dengan kata lain, Beliau bersumpah untuk tetap berada di dunia hingga semua makhluk yang tak terhingga banyaknya bisa bebas dari penderitaan samsara. Ada lagi Bodhisatwa Ksitigarbha. Beliau bersumpah tidak akan masuk Nirwana sebelum neraka kosong. Mereka adalah para Arya Bodhisatwa, makhluk yang mengambil sumpah untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna demi menolong semua makhluk.

Semua Buddha pernah menjadi Bodhisatwa. Sebagai seorang Bodhisatwa, mereka terlahir kembali dalam berbagai bentuk kehidupan untuk melatih kesempurnaan atau paramita seperti kemurahan hati (dana), perilaku bermoral (sila), kesabaran (ksanti), upaya bersemangat (wiriya), ketenangan batin (samadhi), dan kebijaksanaan (prajna). Mereka melatih sikap-sikap luhur ini dengan menolong makhluk lain. Kita dapat melihat sikap luhur mereka dalam cerita Jataka. Bodhisatwa terlahir sebagai kelinci, kerbau, kura-kura, pangeran, dan sebagainya untuk menolong makhluk lain di sekitarnya. Meski telah mencapai tingkat kesucian yang memungkinkan mereka untuk bebas dari samsara, seorang Bodhisatwa memilih untuk terus terlahir di berbagai alam untuk melatih diri dan menolong makhluk lain.

Jika para Bodhisatwa lahir di berbagai alam kehidupan untuk melatih diri dan menolong semua makhluk, mungkinkah mereka ada di antara kita? Bukankah seharusnya Arya Awalokiteshwara, Manjushri, dan yang lainnya ada di salah satu alam kehidupan dan menolong kita? Selain para Bodhisatwa, kita juga mungkin pernah bertanya, ke mana perginya para Buddha? Buddha Shakyamuni yang paling akrab dengan kita hidup selama 80 tahun dan mengajarkan Dharma hanya selama 45 tahun.

Melihat tubuh makhluk suci membutuhkan karma baik yang amat besar. Oleh karena itu, seorang makhluk yang tercerahkan hadir dalam tubuh yang kita kenal dengan istilah “Nirmanakaya” atau “tubuh kenikmatan”. Tubuh ini adalah tubuh fisik yang dimanifestasikan khusus untuk menolong makhluk lain yang masih berada di samsara. Tubuh ini dapat mengalami lahir, tua, sakit, dan mati walau para Buddha dan Arya Bodhisatwa telah melampaui penderitaan-penderitaan tersebut.  Seorang praktisi Dharma dapat mengambil aspirasi Bodhicita atau batin pencerahan dengan menjaga 12 janji. Salah satu dari 12 janji ini adalah memandang semua orang sebagai Bodhisatwa. Mengapa? Itu karena kita tidak pernah tahu, jangan-jangan ada Nirmanakaya dari seorang Buddha atau Bodhisatwa di antara kita yang hadir untuk menolong kita atau orang-orang di sekitar kita!

Contoh kisah tentang Bodhisatwa menampakkan diri sebagai makhluk biasa yang terkenal adalah pertemuan filsuf besar Asanga dengan Bodhisatwa Maitreya yang menampakkan diri dalam wujud anjing betina yang digerogoti oleh belatung. Penderitaan anjing tersebut membangkitkan welas asih yang murni dalam batin Arya Asanga sehingga Beliau tergerak menolong anjing itu dengan memindahkan belatung-belatung yang menggerogotinya dengan lidahnya ke irisan daging dari tubuh Arya Asanga sendiri. Baru setelah menghasilkan kebajikan besar yang didasari oleh Bodhicita itulah Arya Asanga mampu melihat wujud asli anjing yang ditolongnya, yaitu Bodhisatwa Maitreya.

Bagaimana dengan di dunia modern ini? Tradisi Buddhis Tibet mengenal sistem “tulku” yang secara harfiah berarti “Nirmanakaya”. Seorang tulku diyakini sebagai emanasi dari guru Dharma yang telah meninggal. Ketika seorang tulku meninggal, kelahiran Beliau yang berikutnya akan dilacak dengan mengamati berbagai pertanda, termasuk petunjuk dari sang tulku sendiri sebelum Beliau meninggal. Para tulku ini biasa dicari sejak mereka berusia dini sehingga dapat dibesarkan dalam lingkungan yang bajik agar dapat melanjutkan misi kesinambungan batin terdahulunya, yaitu mengajarkan Dharma demi kebahagiaan semua makhluk. Beberapa tulku yang terkenal antara lain Yang Maha Suci Dalai Lama, Yang Mulia Karmapa, dan masih banyak lagi. Perlu diingat bahwa para tulku ini bukanlah jiwa yang kekal kemudian bereinkarnasi, melainkan emanasi dari para Buddha yang mengambil wujud seorang guru agar kita semua dapat menerima Dharma dari mereka.

Salah satu tulku yang pernah hadir dan mengajarkan Dharma di Indonesia adalah Dagpo Rinpoche Jampel Jhampa Gyatso. Beliau tidak hanya ‘pernah hadir’, tapi Beliau rutin datang ke Indonesia untuk memberikan pengajaran Dharma sejak tahun 1989. Selama 30 tahun, Dagpo Rinpoche hampir setiap tahun datang ke Indonesia untuk membagikan ajaran welas asih kepada orang-orang Indonesia dalam retret maupun sesi pengajaran singkat. Yang Maha Suci Dalai Lama XIII sendirilah yang mengukuhkan status Beliau sebagai kelahiran kembali dari Dagpo Rinpoche Jhampel Lhundup, guru Dharma besar awal abad ke-20. Beliau diyakini merupakan emanasi dari Bodhisatwa Sadaprarudita, tokoh penting dalam kitab-kitab yang membahas penyempurnaan kebijaksanaan atau Prajnaparamita. Beliau dikenal sebagai “Bodhisatwa yang Selalu Menangis” karena tak henti-hentinya menitikkan air mata karena tak memiliki persembahan untuk membalas jasa gurunya yang memberikannya Dharma berharga yang Beliau butuhkan untuk menolong para makhluk.

Sosok lain yang diyakini merupakan satu kesinambungan batin dengan Dagpo Rinpoche adalah guru Dharma dari Sriwijaya abad X, Suwarnadwipa Dharmakirti. Guru Suwarnadwipa merupakan pangeran dari Dinasti Sailendra yang memilih untuk menjadi biksu. Beliau mewarisi ajaran khusus tentang Bodhicita dan mengajarkan Dharma kepada ribuan pencari Dharma yang datang dari berbagai negara di tempat yang kini kita kenal sebagai Candi Muaro Jambi. Ajaran khusus tentang Bodhicita inilah yang membuat pandit besar dari India, Atisa, datang ke Sriwijaya sebelum akhirnya pergi ke Tibet dan mereformasi Buddhadharma di sana. Kehidupan lampau Dagpo Rinpoche sebagai guru Dharma dari Sriwijaya inilah yang mungkin menyebabkan kedekatan khusus antara Beliau dengan Indonesia sehingga Beliau rela menempuh perjalanan jauh setiap tahun dari kediaman Beliau di Prancis demi mengajarkan Dharma di Nusantara.

“Anda adalah Bapak Buddhisme di Indonesia. Anda harus mengurus anak anda yang tercerai berai,” demikian kata Y. M. Biksu Girirakkhito Mahathera, biksu senior asal Bali, kepada Dagpo Rinpoche saat bertemu pertama kali.

 

Pada akhirnya, dengan kemampuan kita sekarang, mungkin kita belum mampu bertemu langsung dengan Buddha atau Arya Bodhisatwa dengan dalam wujud makhluk tercerahkan lengkap dengan semua tanda utama dan tanda tambahan. Namun, setiap hari-hari kita dikelilingi oleh orang-orang yang begitu baik kepada kita. Ada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Ada saudara-saudara kita, juga teman-teman yang siap menghibur dan membantu. Ada orang-orang yang bekerja setiap hari menghasilkan barang-barang yang menunjang hidup kita. Lebih penting lagi, kita mungkin cukup beruntung untuk bertemu guru-guru Dharma yang mengambil peran Sang Buddha untuk membimbing kita di jalan Dharma hingga bisa terbebas dari samsara seperti Beliau. Jika dilihat dengan mata keyakinan, mungkin mereka semua adalah Bodhisatwa-Bodhisatwa yang bekerja untuk menolong kita, memudahkan hidup kita dan mengajarkan banyak hal sehingga kita bisa melatih batin dan berjuang untuk mengurangi klesha dan mengembangkan sifat bajik dalam diri kita.

 

 

Artikel ditulis oleh Karina Chandra

Sumber:

Directing Rebirth: The Tibetan Tulku System (studybuddhism.com)

The Prajna Paramita Sutra on the Buddha-Mother’s Producing the Three Dharma Treasures, Spoken by the Buddha (http://www.fodian.net/world/0228_30.html)

Lama dari Tibet

Perihal Guruku, oleh Biksu Bhadra Ruci

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *