Tentang

Perjalanan Hidup Sang Guru


Pada Februari 1932, Dagpo Rinpoche Losang Jampel Jampa Gyatso dilahirkan di Distrik Kongpo, sebelah Tenggara Tibet. Beliau berumur satu tahun ketika Yang Maha Suci Dalai Lama XIII, Thubten Gyatso (1876-1933), mengenalinya sebagai reinkarnasi dari seorang mendiang guru abad ke-19, Dagpo Lama Rinpoche Jamphel Lhundrup Gyatso (1845-1919), yang juga dikenal dengan nama Bamchoe Rinpoche. Guru ini berperan penting dalam menghidupkan kembali ajaran Lamrim di Tibet tengah dan selatan, kepala untuk tiga biara: Dagpo Shedrup Ling, Bamchoe, dan Dungkar. Murid Beliau yang paling terkenal adalah Pabongkha Dorje Chang, yang menulis Lamrim berjudul ‘Pembebasan Di Tangan Kita,’ sosok yang pada gilirannya mempunyai murid utama Kyabje Ling Rinpoche dan Kyabje Trijang Rinpoche, kelak adalah guru dari Yang Mulia Dalai Lama Keempatbelas.

Inkarnasi utama Dagpo Rinpoche lainnya adalah guru berkebangsaan Indonesia, Suwarnadwipa Dharmakirti, sosok yang mana Guru Atisha melakukan perjalanan ke Indonesia untuk bertemu dengannya dan dari Beliau-lah Atisha menerima instruksi tentang batin pencerahan; Marpa Sang penerjemah (1012-1097) yang mendirikan Silsilah Kagyu Buddhisme Tibet; dan Longdrol Lama Rinpoche Ngawang Losang (1719-1805), seoarang sarjana Tibet, guru dan yogi agung.

Pada usia enam tahun, Dagpo Rinpoche yang sekarang memasuki Biara Bamchoe. Beliau belajar membaca dan menulis, benar-benar mempelajari dasar-dasar Sutra dan Tantra. Pada usia tiga belas tahun, Beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup Ling (juga dikenal sebagai Dagpo Dratsang) yang terkenal dengan standar pendidikan yang tinggi dan ketaatan yang keras terhadap disiplin biara. Biara ini didedikasikan untuk aktivitas belajar dan mempraktikkan filsafat buddhis (dratsang), terhitung sejak paruh kedua abad kelimabelas ketika didirikan oleh Je Lotro Tenpa (1404-1478), murid dari Je Tsongkhapa (1357-1419), pendiri silsilah Geluk dalam Buddhisme Tibet.

Ketika Je Lotro Tenpa bertemu Je Tsongkhapa untuk terakhir kalinya, Je Tsongkhapa memberinya sebuah salinan Lamrim Chenmo dan menasihatinya untuk mendirikan sebuah biara di Distrik Selatan Dagpo di mana Lamrim akan dipelajari. Je Lotro menaati nasihat ini dan mengajarkan Lamrim Chenmo secara ekstensif berdasarkan ingatan kepada sejumlah besar pengikut yang bisa dianggap sebagai ‘Penegak Ajaran Lamrim.’

Di dalam biara, kelas diberikan pada lima topik utama filsafat Buddhis—Logika, Paramita, Madhyamika, Abhidharma, dan Vinaya–dengan penekanan khusus pada Lamrim, Tahapan Jalan Menuju Pencerahan. Setiap tahun di bulan April, sebuah sesi penuh dicurahkan untuk mempelajari Lamrim dan setiap tiga tahun kepala biara diminta untuk mengajarkan karya Lamrim yang lengkap. Dikarenakan hal ini, Lamrim secara luas dipraktikkan di sini dan biara ini sendiri juga menjadi terkenal dengan sebutan Lamrim Dratsang (Biara Lamrim).

Di Biara Dagpo, kedisiplinan diterapkan dengan ketat untuk semua, tanpa memandang peringkat kelas. Pada awalnya, Rinpoche muda lebih tertarik bermain daripada belajar, mengakibatkan kesedihan pada guru dan murid-murid pendahulunya. Suatu hari, sadar akan kekecewaan mereka dan tersentuh karenanya, Rinpoche memutuskan untuk mencoba memenuhi harapan orang-orang. Setelah itu, Beliau mengejutkan para kumpulan komunitas dengan menghafal sejumlah kitab dalam waktu yang tergolong rekor. Bersamaan dengan itu, mendadak Beliau mulai menghargai pelajaran debat dialektika ketika suatu hari Beliau berhasil dengan cepat membantah argumen lawan dan memenangkan pertandingan dengan mengutip sebuah karya yang baru saja dihafalkan.

Teksnya tidak lain adalah Untaian Ajaran yang Berharga (Ing. Precious Garland of Tenets) oleh Konchog Jigme Wangpo (1728-1791), reinkarnasi dari Kunkhyen Jamyang Shepa yang Agung (1648-1722), murid dari Dalai Lama Kelima. Bagi Rinpoche, risalah ini sangat meyakinkan untuk beberapa alasan. Bukan hanya membangkitkan keinginan yang sangat besar untuk mengembangkan pengetahuannya secara umum, teks tersebut juga membuatnya sangat tertarik pada karya-karya penulis ini, hingga pada titik Beliau mulai berencana untuk pindah ke tempat di mana ia bisa mempelajarinya secara mendalam.

Pada tahun 1956, saat membaca karya Kunkhyen Jamyang Shepa lainnya dan mengalami kesulitan dalam memahaminya, Rinpoche memutuskan untuk mengakhiri masa tinggal sebelas tahunnya di Dagpo Dratsang dan melakukan perjalanan ke Tibet Tengah. Dengan demikian, pada usia dua puluh empat tahun Beliau bergabung dengan Gomang Dratsang, salah satu dari empat kampus biara besar Universitas Drepung, yang mengajarkan filsafat buddhis menggunakan risalah dari guru ini dan penerusnya. Di Drepung, Rinpoche belajar terutama di bawah bimbingan guru besar Mongolia, Geshe Ngawang Nyima Rinpoche. Karena Gomang Dratsang dekat dengan Lhasa dan dua biara Geluk yang utama di Tibet tengah, Sera dan Ganden, Rinpoche bisa belajar dan menerima transmisi dari banyak guru lainnya juga.

Beliau tinggal di Drepung Gomang hingga terjadinya peristiwa tahun 1959. Dikarenakan penindasan yang meningkat oleh pasukan pendudukan Cina, Rinpoche memutuskan untuk mengikuti gurunya dan mencari pengasingan di sebuah negara bebas. Untuk menghindari penangkapan massal, dengan penuh kesukaran Beliau menyeberangi Himalaya bersama sahabat dharmanya, Geshe Thubten Phuntsog, yang telah mendampingi Rinpoche sejak di Dagpo Dratsang.

Segera setelah tiba di India, Beliau bertemu dengan praktisi akademik dari Ecole Pratique des Hautes Erudes Paris. Terkesan dengan pengetahuan dan pemikiran Beliau yang terbuka, mereka mengundangnya ke Perancis untuk bekerjasama dalam karya penelitian dan penerjemahan. Dengan berkah Yang Mulia Dalai Lama serta ditemani oleh Geshe Thubten Phuntsog, pada tahun 1960 Rinpoche menjadi Lama Tibet pertama yang tiba di Perancis. Pertama-tama Beliau bekerja di Paris dengan berbagai praktisi akademik, kemudian di I.Na.L.C.O, sebuah sekolah tinggi untuk studi timur, mengajar bahasa dan budaya Tibet serta melatih banyak penerjemah hingga tahun 1993.

Pada 1977 akhirnya Rinpoche pasrah pada permohonan terus-menerus dari murid-muridnya, berikut desakan dari gurunya untuk mengajar Buddhisme. Sekali telah memulai, Rinpoche tidak pernah berhenti. Pada tahun 1978, Rinpoche mendirikan pusat Buddhisme Tibet Guépèle Tchantchoup Ling di L’Haẏ-les-Roses, dekat Paris. Pada tahun 1995, itu adalah kumpulan buddhis silsilah Geluk resmi pertama di Perancis. Ketika itu juga namanya diganti menjadi Institut Ganden Ling. Institut Ganden Ling bekerjasama dengan Institut Guépèle, sebuah organisasi kebudayaan, beserta Entraide Franco-Tibetaine (Bantuan Orang-orang Perancis untuk Tibet), sebuah organisasi kemanusiaan, yang mendukung orang tua, anak-anak dan biksu di komunitas Buddhis di India.

Dagpo Rinpoche telah mendirikan beberapa pusat buddhis lainnya, baik di dalam maupun luar Perancis: Belanda, Swiss dan Asia Tenggara, yang sering dikunjunginya dalam rangka memberikan ajaran. Bermukim di Perancis selama lebih kurang 50 tahun, Beliau sangat terbiasa dengan pemikiran orang Barat dan fasih berbahasa Perancis dan Inggris. Beliau telah menyusun banyak buku dan artikel tentang Tibet dan Buddhisme serta sering diundang sebagai narasumber di media-media, seperti radio dan acara televisi.

Rinpoche rutin mengunjungi India untuk mengajar di Biara Dagpo Shedrup Ling sekaligus lanjut menerima petunjuk dari guru-gurunya. Rinpoche memiliki lebih dari 40 guru, termasuk kedua guru Yang Mulia Dalai Lama, Kyabje Ling Rinpoche dan Kyabje Trijang Rinpoche, termasuk Yang Mulia Dalai Lama sendiri. Di bawah bimbingan mereka, Rinpoche mempelajari Sutra dan Tantra, menerima sejumlah inisiasi Tantra, dan menjalani retret. Di antara guru-guru segenerasinya yang masih ada hingga saat ini, Rinpoche adalah salah satu dari sedikit yang memegang sejumlah transmisi ajaran yang silsilahnya tak terputus hingga sumbernya, Buddha Sakyamuni. Selain itu, Beliau juga mempelajari puisi, tata bahasa, sejarah, dan astrologi.

Tentang Dagpo Rinpoche